Haruskah Aku Bahagia? (Kumcer: Air Mata Sang Garuda, AG Litera 2013)
April 05, 2013image by : google |
Aku mengambil kain lap
yang bermotif garis-garis berwarna biru di atas meja makan itu. Sementara
tangan kiriku menggenggam bingkai foto yang terbuat dari kayu jati.
Ujung-ujungnya sudah terlihat rapuh, dengan perekat yang melingkar di
sekelilingnya. Namun di balik kaca bingkai itu masih tersimpan dengan rapih, sebuah potret wajahku bersama seorang mantan
pacarku,yang kini menjadi bidadari dalam hidupku. Kegiatan membersihkan serta
merapikan rumah, adalah hal wajib yang sering dilakukan istriku. Namun berbeda
kali ini, karena entah mengapa aku serasa ingin sekali melakukan semua ini
sendiri, seolah karena ada sebuah keterpaksaan. Perjalanan kami bermula dari
sebuah pertemuan yang tidak disangka.
***
“Segera hubungi dokter, dia
butuh pengobatan yang serius. Kakinya sudah terlalu banyak mengeluarkan darah!”
Seru Seorang Pria yang terengah-engah. Kawannya datang bersama seorang wanita
berpakaian suster.
“Suster, tolong bantu dia!
aku harus melanjutkan pertempuran ini. Aku percayakan dia kepadamu!” Ujarnya
sembari berlari dengan membawa senjata api di tangannya.
“Pak apakah anda baik-baik
saja?” tanya suster itu sigap.
“Kakiku terasa sakit dan
kaku. Sulit untuk di gerakkan.” Jawabku menahan rasa sakit. suster muda segera
membantuku, yang saat itu aku adalah seorang prajurit perang. Aku gantungkan
tanganku di leher suster muda itu. Entah tidak seperti biasanya, aku merasakan
hal yang tidak aku duga sebelumnya. Hatiku terasa bergetar dahsyat saat
berdekatan dengan suster yang membantuku kali ini. Padahal di hari-hari
sebelumnya aku merasa biasa saja dengan suster yang sering membantuku, namun
berbeda dengan kejadian di siang yang gersang itu.
“Sudah Pak, kaki anda
sudah saya perban dengan baik.”
“Terima kasih yah suster.
Anda baru yah di sini?” Tanyaku menyelidiki
“Iya,benar Pak. Saya baru
kemarin di tugaskan untuk membantu para prajurit perang yang sedang berjuang di
daerah sini.” Dia menjelaskan.
“Oh,pantas saja. Kenalkan,
saya Roni! Bolehkah saya tahu siapa nama suster?”
“Nama saya Nita, salam
kenal juga.” Jawabnya santun. Kami berpisah di siang itu juga. Aku yang harus
melanjutkan kembali berjuang melawan pejajah, sementara Nita juga masih
memiliki tanggung jawab untuk membantu Prajurit lain yang mungkin juga sedang terluka
dan membutuhkan bantuannya sepertiku.
***
Beberapa hari kemudian, kita
saling berpapasan muka, di sebuah rumah yang hanya bersisakan puing-puing
berserakan, sebab bom para penjajah telah menghancurkannya.
“Pak Roni, bagaimana keadaan
kakinya, apa sudah membaik?” Sapa Nita.
“Hai Mbak Nita,
Al-hamdulillah sudah membaik! Berkat bantuan mba saat itu.” Pujiku.
“Syukurlah, jika memang
bisa membantu Bapak. Senang rasanya.”
“Mbak Nita, jangan panggil
Bapak lah. Terkesan sudah tua. Saya kan masih muda,dan belum beristri pula.”
Candaku memecah kebisingan diantara sahutan bom serta senjata api di sekitar
wilayah itu.
“Baiklah. Lalu, saya
harusnya memanggil apa ya?”
“Mas Roni saja, agar
terkesan tidak kaku.” Tawaku lepas.
“Oke,Mas Roni. Sudah dulu
yah, saya takut mengganggu waktu Bapak, eh maksud saya Mas Roni.” Nita
terlihat tersipu malu.
“Tidak kok Mbak. Oh iya, Ada
yang ingin saya katakan pada Mbak Nita, sebelum kita mengakhiri perjumpaan kali
ini. Bolehkah?” ucapku dengan paras berubah menjadi terlihat gugup.
“Tentu, apa yang ingin mas
katakan pada saya?”
“Mbak Nita, sebenarnya ada
sesuatu hal yang saya rasakan semenjak pertemuan pertama kita di hari yang
lalu...” Ucapku terputus. Sembari mengernyitkan dahi, Nita memotong perkataan
yang Aku sampaikan.
“Maksudnya, Mas? saya
kurang paham dengan apa yang Mas katakan.” Nita kebingungan.
“Saya... Saya jatuh cinta
kepadamu Nita. Entah mengapa rasa itu timbul tiba-tiba. Beberapa hari ini saya
sering murung dan tak tahu apa yang harus saya lakukan. Namun pada akhirnya
saya mencoba untuk mengutarakan ini semua padamu. Maukah kamu menjadi kekasih
hatiku, Nita?” Ucapku terbata-bata. Keringat menumpuk di dahiku. Di tambah
cuaca yang begitu panas di siang itu. Suasana terasa hening sesaat, hingga
setelah saling diam, Nita bersiap menjawab tanyaku.
“Mas Roni,dengan sangat
bahagia saya juga mencintai mas.” Jawabnya malu-malu.
“Berarti kamu mau jadi
kekasih Mas?” tanyaku girang. Tanpa menjawab lagi, Nita hanya mengisyaratkan
jawabannya melalui kepala yang mengangguk. Hari itu menjadi hari bersejarah kita
berdua. Keluargaku menyambangi kediaman Nita setelah selang berberapa minggu kita
menjalin cinta. Dalam waktu yang lumayan singkat, penikahan pun di gelar dengat
amat sederhana. Di antara letupan senjata, dan bunyi menggelegar meriam perang,
kami saling mengukuhkan niat serta mengikat janji suci di sebuah masjid yang
menjadi salah satu tempat pengungsian para warga yang rumahnya sudah hancur
karena pemberontakan penjajah frontal.
***
Waktu pun terasa cepat
berlalu. Sudah hampir dua bulan aku dan Nita menjalani mahligai pernikahan.
Meski dalam keadaan yang sulit untuk memejamkan mata karena suasana perang
belumlah usai, Namun Tuhan menitipkan calon anak manusia yang terkandung di
rahim Nita. Dia hamil, dalam kesibukan suaminya yang siap merelakan nyawanya
dalam medan peperangan, dialah Aku. Suatu ketika, Nita sedang membawakan
masakan kesukaanku yang ingin dia berikan langsung di tempat aku berperang.
Karena setelah perutnya mulai membuncit,Nita sedikit mengurangi aktivitas kesukarelawanannya
sebagai seorang perawat para prajurit. Suara bising letupan mengalun bersahutan
terngiang di telinganya. Tetapi semangat untuk bertemu sang suami tidak
menyurutkan langkahnya. Karena semua itu dia anggap biasa dalam kesehariannya.
“Mas Roni! Ini saya
bawakan makanan kesukaanmu!” Sahutnya dari kejauhan sembari melambaikan tangan
kirinya. Sekilat matanya menangkap sesuatu hal yang tidak di inginkan. Nita
segera berlari menuju ke arahku. Aku segera mengisyaratkan melalui lambaian
tangan yang ku maksudkan agar Nita berhenti berlari, tetapi Nita tetap berkukuh
untuk tidak menghentikan lajunya. Dia menghiraukan apa yang di maksudkan olehku.
“Daaarr!!!” Suara peluru
melesat keras dari pelatuk yang di tembakkan oleh seorang penjajah perang,
peluru itu mendarat tepat mengenai dada Nita. Tepat saat dia sedang menghalangi
tembakan yang akan mengenaiku. Aku teriak semampuku, tetapi tidak mampu
menghentikan laju peluru sang penjajah yang durjana itu. Darah segar berjujuran
mengalir deras di sekujur tubuh Nita. Aku segera memeluknya erat, bersama air
matanya yang tak mampuku bendung lagi. Helaan napas tersengal, terdengar dirongga
tenggorokan Nita. Lalu terselip kata dari mulutnya.
“Mas, maafkan Nita. Hanya
ini yang mampu saya lakukan untukmu.” Nadanya pelan.
“Tidak Nita, tidak. Saya
yang harusnya meminta maaf padamu. Karena mas tidak bisa menjaga kamu serta
calon anak kita dengan baik.” Air mataku yang terus berderai.
“Tak apa Mas, saya ikhlas
dengan semua ini. Lebih baik saya yang mati daripada Mas. Karena masih banyak
tanggung jawab mas kepada negara ini. Kita harus merdeka Mas, buat Nita bangga
dengan perjuangan yang Mas berikan untuk bangsa ini.” Jawabnya tulus, di sertai
napas yang semakin terputus.
“Tidak Nita, Mas masih
ingin hidup lebih lama lagi denganmu, mas ingin menjadi seorang Ayah dari anak
yang sedang kamu kandung di rahimmu. Jangan tinggalkan Mas, Nita!” Tubuhku
gemetar sambil memeluk Nita dengan amat erat.
“Terima kasih Mas, sudah
menjadi suami yang baik selama ini. Lakukan yang terbaik untuk Nita,dan Bangsa ini...” Ucapnya
terputus,bersama helaan napas terakhirnya. Matanya tertutup namun senyum masih
melingkar di wajah cantiknya. Aku menjerit sekuat tenagaku, memanggil namanya.
Namun apalah daya mungkin semua adalah kehendak sang Maha Kuasa. Aku menciumi
wajah Nita sembari menangis tersedu-sedu. Air mataku terkuras habis. Selang
beberapa lama, bala bantuan pun datang mendekat. Aku menyerahkan Nita kepada
para perawat yang menghampiriku. Tanpa membuang waktu, Aku segera menjalankan
apa yang telah di sampaikan pujaan hatiku. Aku berlari dengan senapan
menggantung di leherku. Segera Aku kejar orang yang berani menembak Nita, semampuku.
***
“Kini Mas sudah
mengabulkan keinginanmu, Mas mendengar kata merdeka dari semua warga negara.
Hati mas gemetar saat melihat bendera negara kita berkibar, menindas segala
pemberontakan selama ini. Mas harusnya senang. Mas harusnya gembira. Tetapi, air
mata mas mengalir saat mendengar itu. Mas teringat pada wajah manismu Nita. Mas
teringat saat terakhir kali Mas melihatmu di medan pertempuran. Aku teringat
ketika kamu membawakan makanan kesukaanku. Namun kenapa kamu harus pergi lebih
dulu meninggalkan mas sendiri, di rumah ini, di Negara yang baru saja
menggaungkan kemerdekaannya di seantero jagat dunia ini. Mas harusnya bangga, Mas
harusnya senang, karena semua ini berkat perjuangan mas dan kawan-kawan yang
tidak sia-sia. Namun kenapa, air mata Mas terus mengalir saat memandang
wajahmu, yang hanya melalui secarik kertas foto ini.” Gerutuku dalam sepi. Aku
terus memandangi foto yang ada di dalam bingkai itu. Air mataku kembali menetes
membasahi kaca di bingkai itu. Aku menciumi wajah Nita, meski hanya melalui
secarik kertas foto yang terpasang indah di dalam bingkai penyimpan sejarah.[]
0 komentar