Hiduplah Bahagia Denganku (Kumcer: Jomblo Istiqamah, de TEENS, 2014)
December 20, 2013
“Hiduplah Bahagia Denganku”
“Bisakah
kau diam?! Aku tidak dapat menyelesaikan tugas skripsi ini. Harusnya kamu bantu
memikirkannya, bukan bicara yang lain!”
“Aku
sedang membantumu, harusnya bibirmu itu ucapkan terima kasih, bukan malah menggerutu,”
“Aku
tanya sekarang, siapa bosnya di sini, hah?!” nadanya semakin meninggi. Lawan
bicaranya dibuat tak berkutik mendapat pertanyaan darinya. Itu adalah kalimat
penutup di setiap mereka sedang berdebat.
Mendengar
omelan dari orang yang mengaku ‘BOS’ itu ia hanya bisa berdiam diri lalu pergi.
Kembali ia bergelayut di helai-helai rambut yang ikal. Tanpa ada seorang pun
yang menemaninya. Ia termenung. Sesekali mencuri pandang ‘BOS’-nya dari cermin
yang ada di hadapannya. Ia tidak berani lagi mendekat sebelum orang yang akrab
dengannya itu memulai pembicaraan. Ia benar-benar takut jikalau kejadian minggu
lalu terulang kembali.
Di
suatu malam yang pekat, karena sebuah masalah yang entah, ia diusir pergi oleh
sang ‘BOS’nya. Untungnya setelah dua hari kehadirannya kembali dirindukan,
sebab sang BOS konon tidak memiliki teman yang pengertian seperti dirinya, itu
yang membuat ia terharu.
Layar
monitor terus menyala sejak malam tadi. Sedang si pembuat skripsi terlelap
bersama pelukan keyboard yang ditindih pipinya. Kuti sebenarnya belum berani
membangunkan majikannya, tetapi ia mulai merasa kesepian, di gigitlah kulit
kepala tuannya, seketika tubuhnya bergelinjat sambil mengeluarkan kata ‘AWW’
dari mulutnya.
“Hei,
apa yang kamu lakukan?! Kau pikir tak sakit!” Ucapnya mengentak sambil terus
menggaruk-garuk kulit kepalanya.
“Maaf,
tuan, tapi aku hanya mencoba membantumu. Bukannya kau punya janji dengan klienmu
pagi ini?”
Tuannya
diam sesaat, kemudian melompat berlari dengan berteriak, “Astagaaa, kenapa baru
kamu bilangggg!!!” suaranya menggema seantero ruang kamarnya. Kuti hanya
menutup telinganya yang tidak memiliki cuping (daun telinga). Ia berpegang erat
pada helaian rambut yang lebat ikal itu karena guncangan yang sangat dahsyat.
Kuti
bersembunyi pada kulit kepala yang keriput dan menjorok ke dalam saat tuannya
mengenakan shampo di kepalanya.
“Tuan,
pelan-pelan. Nanti aku bisa terbawa dengan busa-busa dari shampomu ituuu!!!”
jerit Kuti tak tahan. Namun tuannya tidak menghiraukannya, fokusnya kini hanya
pada seseorang wanita yang menjadi kliennya dalam tugas skripsinya yang
diselesaikan semalam tadi. Sebenarnya Kuti sudah mengingatkan semalam, tentang
wanita tersebut, tetapi bukan tentang tugasnya, melainkan Kuti mengungkit
tentang kesendirian sang wanita. Ia tahu karena saat bertemu minggu lalu dengan
tuannya, wanita itu bercerita tentang statusnya yang single.
“Dengarkan
Aku! Kali ini saja.”
“Apa?”
jawab tuannya sambil mengenakan jaket kulit berwarna hitam favoritnya.
“Jadikanlah
ia kekasihmu,”
“Apa
alasanmu berkata begitu?” selidiknya yang sedang mengenakan sepatu kets-nya.
“Hmm…,
aku rasa ia memang pantas untukmu…,” jawabnya sedikit mengambang.
“Sudahlah,
aku tahu akal bulusmu. Kamu menginginkan dia menjadi kekasihku karena kamu suka
dengan rambutnya kan? Yang halus serta panjang terurai? Jujur saja, pasti kamu
akan lebih leluasa bergelayut di helai rambutnya, iya kan? kamu berdiam di atas
kepalaku hampir lima tahun, jadi aku tahu bagaimana sifatmu,”
“Jangan
menggoda. Aku berkata begini karena aku sayang denganmu, percayalah!”
Si
tuan kembali menatap cermin sambil memerhatikan sorot mata Kuti yang kecil
namun tajam. Ia melihat kesungguhan di mata makhluk mungil itu.
“Iya,
aku percaya padamu, Kuti si kutu. Tapi ingat cinta itu tanpa alasan. Semakin
kamu mencintainya, semakin tidak ada alasan apa pun untuk membuktikan bahwa
kamu memang benar-benar mencintainya, catat ya!” ia mengangkat jarinya di depan
wajah Kuti yang bersandar di keningnya. “Terima kasih, kamu selalu memberikan
saran itu padaku. Memang benar ucapanmu kemarin, sudah seharusnya aku
memikirkan diriku dan masa depanku, bukan hanya masa depan mahasiswa yang malas
dengan hanya menginginkan enaknya saja, tanpa mau berusaha. Akhirnya orang
sepertiku yang mati-matian mengerjakan tugas skripsi mereka!” ia mulai
menggerutu.
“Tapi
kan ada duitnya?!” Kuti berbalik menggoda.
“Memangnya
buat aku saja? Kamu juga merasakan, bukan?” mereka saling tertawa lepas.
Pertengkaran semalam terberai dengan keakraban.
“Kut,
aku berdoa dan selalu berharap pada Tuhan. Bahkan setiap malam tanpa kamu
ketahui, sebab hanya aku ucapkan dalam hati saja,”
“Oh,
ya? Apa itu? Bolehkah binatang mungil ini mengetahuinya?”
“Tentu
boleh, kamu kan sahabat sejatiku,” timpal sang tuan. “Aku berdoa semoga Tuhan
mengirimkan seorang wanita yang mau menjadi istriku dan diajak hidup selalu
dalam keadaan senang di segala hal, itu saja,”
“Siapa
yang menolak, semua orang juga mau hidup begitu,” protes Kuti.
“Senangnya
ya hidupmu memotong ucapan lawan bicara, aku gintes kamu dengan kuku perkasaku,”
“Ampun
tuan, lalu apa lanjutan ucapanmu tadi?”
“Aku
ingin wanita itu mau diajak hidup senang, maksudnya, jika aku ajak makan dengan
tempe saja, dia senang, dengan kerupuk dan kecap saja, dia senang, bahkan
kalaupun makan dengan garam saja, dia senang, dan itu berlaku dalam segala hal,
seperti membeli pakaian yang seadanya, tas, baju, sepatu, pokoknya tidak banyak
protes sepertimu, dia calon istriku harus selalu senang walau dalam keadaan apa
pun,”
“Terserah
katamu sajalah, tuan. Aku ikut!” Kuti berlalu setelah melihat senyum
menyeringai di wajah Tuannya.[]
***TAMAT***
0 komentar