Dari Sebuah Lembar Koran (Banten Raya, 19 April 2014)
April 19, 2014
Alhamdulillahsatu
kejutan lagi, cerpenku yang berjudul
"Dari Sebuah Lembar Koran" dimuat di koran BANTEN RAYA kolom
SASTRA & BUDAYA Hal. 07 edisi hari ini sabtu (19/04). Cerpen
perdanaku yang dimuat di koran lokal :)
Terima kasih juga buat teman-teman yang selalu memotivasi. Semoga ini langkah awal, dan nanti bisa tembus juga di koran nasional sekaliber [KOMPAS] Aamiin *terus berharap^^
#KadoUltah^^
Terima kasih juga buat teman-teman yang selalu memotivasi. Semoga ini langkah awal, dan nanti bisa tembus juga di koran nasional sekaliber [KOMPAS] Aamiin *terus berharap^^
#KadoUltah^^
Cerpen Dari Sebuah Lembar Koran dimuat di koran Banten Raya (19/04). |
Matanya
berkobar. Ia beranjak dari kursi tua berwarna cokelat yang berada di ruang tamu
itu. Gerak kakinya seperti mengarah ke sebuah tempat. Koran yang menemaninya di
siang hari itu, ia lipat lalu dibentuk sebuah gulungan. Genggaman tangan
kanannya siap meluapkan emosi yang sudah tak bisa disembunyikannya lagi dari
wajah berkerut dengan kumis dan rambut yang berwarna putih menyala.
Buk! Buk!
Buk! Buk!
Ia
pukulkan gulungan koran itu berkali-kali pada tubuh seseorang yang tengah asyik
dalam dekapan mimpi-mimpinya. Entah gebukan yang ke berapa menyentuh badan
kekar berkulit hitam legam itu baru bisa membangkitkannya. Rambut kritingnya
yang tak diurus melambai-lambai tersapu angin yang masuk melalui celah jendela
yang sebelumnya dibuka oleh pria yang berusia lanjut tersebut.
“Bangun
kamu, hah! Masih mau begini terus!!!” nadanya meninggi.
Kasur
lapuk yang ditiduri pria yang tengah terlelap itu, pun memandangnya tanpa
tanya. Hal tersebut sepertinya lumrah bagi segala isi ruangan kamar pria yang
hanya mengenakan kaos dalam dan celana pendek itu.
“BANGUUUNNN!!!”
Pentungan keras mendarat tepat pada kepalanya.
“Apa
sih, Pak?” kedua tangannya menyela kotoran di sepasang sudut bola matanya yang
memiliki kantung mata yang gelap.
“Jam
segini masih tidur saja! Sana keluar cari kerja, aku bosan melihat tingkahmu
yang hanya menyusahkan saja!”
“Kerja
apa, Pak?!” jawabnya tanpa beban.
“Kerja
apa kamu bilang???” bola matanya hampir keluar dari cangkangnya menanggapi
tanya anaknya yang berusia dua puluh sembilan itu. “Kamu mestinya malu, Hendraaa!!!
Kamu itu seorang sarjana, mau ditaruh di mana muka bapak memiliki anak
pengangguran sepertimu,”
“Belum
dapat kesempatan saja, kok,” bibirnya menepis. Sesaat ia bangkit dari tidurnya.
“Bukan
belum dapat, tapi kamu tidak berusaha dengan sungguh-sungguh! Sia-sia aku
menyekolahkanmu, hanya buang-buang uang saja,”
Hati
Hendra berdesir menangkap ucapan terakhir Bapaknya. Kali ini ia menyumpal
bibirnya erat. Tak ada jawaban, ia melangkah ke kamar mandi, membiarkan Bapaknya
mematung di sudut kamar.
***
“Apa yang harus aku lakukan...,”
Hendra
membujurkan kedua kakinya di jembatan yang ramai dengan pedagang angkringan di
sepanjang jalan. Benaknya mulai berputar. Dokumen berisi lamaran kerja yang ada
di genggamannya belum juga berhasil menarik hati perusahaan yang ia kunjungi
sejak berangkat dari rumahnya pukul 11.00 siang tadi.
sejak berangkat dari rumahnya pukul 11.00 siang tadi.
Wajahnya
kusut seperti benang layangan yang tengah dimainkan oleh anak-anak kampung yang
ada di sekeliling jembatan.
Sepertinya
ia mulai ingin merubah diri. Ia tidak ingin selamanya hanya dicap sebagai anak
yang tidak berguna bagi keluarganya. Setidaknya ia ingin menunjukkan kepada
Bapaknya kalau ia pantas untuk dibanggakan sebagai anak tunggal.
Disaat
pikirannya lincah mencari kerjaan apa yang pantas baginya, seseorang datang
menghampiri.
“Koran,
Mas!” tawar remaja loper koran yang bertopi klub Barcelona itu.
“Sudah
sore masih jual koran, Dek?!”
“Ya,
Mas. Sejak subuh belum laku banyak,”
Hendra
memotret penampilan anak remaja yang ia taksir berusia delapan belas itu.
Sedikit kekaguman menyergah dirinya. Betapa tidak, ia merasa tersinggung dengan
semangat anak itu yang masih menggebu.
“Aku
beli satu, deh.”
Si
loper koran itu semringah. Ia menerima uang dari Hendra dan menukarnya dengan
koran yang harganya hanya dua lembar uang kertas bergambar Pattimura itu.
Sejurus kemudian, ia berlalu meninggalkan Hendra kembali sendiri di sudut
jembatan tempat andalannya ketika butuh menenangkan diri.
“Apa
aku coba ini saja, ya!” ucapnya saat membuka bagian tengah lembar koran yang
sepertinya ada sesuatu yang ia minati.
***
Pukul 08.30.
Hendra
dengan rambut yang masih keritingnya itu telah selesai berpakaian. Bapaknya
terheran-heran menyaksikan keadaan yang di luar kewajaran baginya.
“Mau
ke mana, Dra?” tanya Ibunya yang baru keluar dari dapur.
“Melamar
kerja, Bu!” jawabnya pasti.
Bapaknya
tersenyum melihat sedikit atau mungkin banyak perubahan dari anaknya. Hendra
melangkah dengan sigap. Lembar kertas putih yang sebaliknya telah penuh dengan
coretan itu ia jepit dengan jari-jarinya. Semalaman ia mengerjakan itu, namun
masih abu-abu apa yang akan dikerjakannya.
Pagi
itu, ia tidak beranjak ke sebuah kantor seperti yang dibayangkan kedua orang
tuanya. ia malah memasuki sebuah rental komputer yang jaraknya tak jauh dari
kediamannya tinggal.
Pukul 13.30.
Hendra
yang notabene lulusan sarjana komputer, telah selesai mengetik coretannya di
kertas yang tadi dibawanya dari rumah. Komputer miliknya rusak dan sampai saat
ia berada di rental komputer pun belum juga dibawa ke tempat reparasi elektronik.
Andai saja saat kuliah dahulu ia tidak sering absen, tentu ia akan bisa
membetulkan sendiri kerusakan yang diderita komputernya itu.
“Bismillah!”
ucapnya yakin dalam hati. Ia mengirim sebuah tulisan pada sebuah email yang ia
temukan dari koran yang ia beli kemarin.
***
“Kamu
mau ke mana lagi?”
“Keluar
sebentar, Bu!”
“Lamaran
kamu sudah diterima belum?! Kan, sudah satu Minggu! Kamu tidak membohongi Ibu
dan Bapak, kan?”
“Tenang
saja, Bu!”
Setelah
memberikan senyum bulan sabit, ia keluar rumah. Kembali rental komputer yang jadi
prioritasnya. Segera ia login ke akun email-nya sesampainya di sana, dan
sesuatu mengejutkan matanya.
Terima kasih telah mengirimkan
cerpennya kepada kami, setelah melalui beberapa tahap dan seleksi, akhirnya
kami memutuskan untuk memuat cerpen Anda pada edisi 30 Maret 2014! Selamat, ya!
Salam.
Hatinya
melonjak kegirangan. Suara beratnya berteriak hingga terdengar keras
mengelilingi ruangan rental komputer. Tak ayal orang yang berada di sana
memerhatikannya dengan tatapan aneh.
Senyumnya
bertebaran kembali di sepanjang jalan pulang. Satu buah email balasan itu
benar-benar masih membuatnya tak percaya.
“Untung
aku membeli koran itu kemarin,” ucapnya sendiri sambil mengingat-ingat hobinya
di zaman SMA.
Flashback...
Di
masa SMA, Hendra memang termasuk anak yang rajin, tak heran makanya bila orangtuanya
yang hidup serba pas-pasan rela menyekolahkannya hinggs ke tingkat perguruan
tinggi. Di SMA ia adalah ketua mading sekolah, dan ia sering mengisinya dengan
tulisan-tulisan tangannya. Mulai dari puisi, prosa, cerpen dan gambar manga
buatannya.
Sesuatu
yang membuat Bapaknya heran, entah kenapa saat dikuliahkan, predikat sebagai
anak baik-baiknya hilang. Faktor lingkungan mungkin salah satu penyebabnya. Ia
tinggal di sebuah kost-an yang memang didiami bersama teman-temannya yang rada
nyeleneh prilakunya. Ia tidak bisa mempertahankan diri, hingga akhirnya terbawa
arus kenakalan dan kebiasaan menulis di masa SMA pun terpendam, tak heran bila
nilai IPK-nya di semester dua hingga semester akhir menurun saat kuliah dahulu.
“Terima
kasih, Tuhan. Masih kau beri kesempatan ini, aku akan membuat orangtuaku
bangga,” ia optimis.
***
Satu
gelas kopi menemani Bapaknya di pagi hari. Seorang loper koran langganannya
yang dikenal baik dengan Bapaknya memasang ekspresi wajah yang tak biasa.
“Kenapa
kamu, kok, mukanya seneng betul?!”
“Ini, Pakde..., Ini,
lho!” ia tergesa-gesa membuka lembar koran bagian kolom sastra. “Ini Hendra,
kan?!” ia mengarahkan telunjuknya pada sepotong foto kecil di sudut kanan
bagian tengah koran.
“Wah,
sudah terbit, ya?!” Hendra keluar menuju pelataran yang didiami Bapaknya.
“Ini
benar kamu yang nulis, Dra?!” tanyanya tak percaya.
Hendra
hanya menganggukkan kepala. Si pedagang koran itu menjabat tangannya, sedangkan
binar di mata Bapaknya tertangkap jelas dalam pandangan Hendra. Hatinya
gemetar, seraya berkata, “hanya ini yang bisa aku lakukan, Pak. Maaf, aku tak
seperti yang Bapak harapkan menjadi seorang pegawai perusahaan...”
Akhirnya
sebuah senyuman bangga terlukis di wajah Bapaknya yang senja. Pagi itu, menjadi
awal kebangkitan Hendra dari mimpi buruknya yang terlanjur ia dekap selama
empat tahun di bangku kuliah. Hidup adalah pilihan, dan Hendra memilih untuk
mengikuti passion-nya bukan ijazah
kelulusan di masa kuliahnya yang kelam.[]
Jogjakarta, 30 Maret 2014
0 komentar