[RESENSI] : AIR MATA SANG GARUDA (AG Litera, 2013)
May 22, 2014
Judul Buku : AIR MATA
SANG GARUDA
Kategori
Buku : Kumpulan Cerpen.
Penulis : Ade Ubaidil
Penerbit : Alif Gemilang Pressindo (AG Litera)
ISBN : 978-602-7692-69-5
Tahun
Terbit : Cetakan
I Oktober 2013
Jumlah
Halaman : 264 Halaman
Harga :
53.000,-
“Kulihat ibu pertiwi,
sedang bersusah hati, airmatanya berlinang, mas intannya terkenang...”
Masih
adakah yang ingat akan lirik lagu di atas? Rasanya anak-anak sekolah sekarang sedikit
sekali yang tahu bahkan mungkin tidak mengenal sama sekali lagu tersebut. Mereka
kini lebih menyukai lagu-lagi easy listening yang minim makna. Bahkan
tak sedikit, sekarang ini remaja yang lebih menggandrungi lagu-lagu
berlirik bahasa asing ditambah penampilan gaya berbusana penyanyinya yang sama
sekali tidak mencerminkan kultur ketimuran. Tidak salah memang jika kita menguasai
dan menyukai bahasa dan budaya asing, tetapi kalau sampai menggerus apalagi hingga
menghilangkan jati diri bangsa, tentu hal itu menjadi sebuah hal serius yang musti mendapat
perhatian banyak pihak.
Jangan
tanyakan apa yang sudah kita dapat dari negara ini, tapi tanyakanlah apa yang
sudah kita berikan kepada negara ini. Begitu kira-kira kalimat yang sering saya
dengar tatkala masih duduk di bangku sekolah dari guru-guru. Mereka memberikan
wejangan agar kita selalu semangat dalam berjuang demi mengisi kemerdekaan
bangsa ini, demi kemajauan negara yang terkenal dengan slogan gemah ripah loh jinawi.
Memang
benar bahwasanya negara ini sangat merindukan pemimpin yang berakhlakul
karimah, pemimpin yang benar-benar mampu mewujudkan negeri ini menjadi sebuah
negara yang serba maju, paling tidak rakyatnya makmur dan sejahtera. Bangsa ini
begitu mendambakan sosok negarawan yang benar-benar mampu menyentuh hati
rakyatnya yang sekian lamanya masih saja terpuruk ‘tak ubahnya tikus mati di
lumbung padi.
Jamrud Khatulistiwa
begitulah istilah lain yang sering kita
dengar pada negeri kepulauan ini. Bahkan menurut lagu pun negara ini tak ubahya
sebuah kolam susu yang identik dengan sesuatu yang menggiurkan. Namun alih-alih
mendambakan sebuah kemakmuran dan kejayaan, pada kenyatannya masih sangat
banyak ketimpangan di sana-sini. Tidak terhitung jumlah kaum marjinal yang kesehariannya
sangat jauh dari kehidupan layak. Padahal seyogianya kesejahteraan adalah hak
setiap warga negara.
Belum
lagi masalah sosial yang begitu banyak menghiasi pemandangan wajah renta negeri
ini. Mulai dari penyakit birokrasi di kalangan elit. Mereka begitu piawai
menyajikan dagelan tak lucu. Roda pemerintahan yang sarat dengan KKN hingga
penyakit-penyakit masyarakat yang menjadi pekerjaan rumah tak pernah
terselesaikan dan tak berkesudahan.
Masyarakat
tentu sudah tidak aneh lagi dengan pemberitaan maraknya penyebaran obat-obat
terlarang di kalangan remaja dan anak muda yang sungguh sulit diberantas,
prostitusi dan perdangan manusia, carut marut masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Semua itu tentu banyak sekali faktor yang melatarbelakangi kelahirannya. Namun
di antara banyak faktor itu tentu ada faktor utamanya yang nyata menjadi
pemicunya. Apa lagi kalau bukan kemiskinan dan kemunduran akhlak.
Bila
rakyatnya sejahtera alias tidak miskin, mana mungkin terjadi berbagai tindak
kejahatan dan kriminalitas yang terus meningkat jumlahnya. Belum lagi soal pengiriman
TKI yang setiap tahunnya selalu menyumbangkan berita memilukan walau mereka
berlindung di balik kedok penyumbang devisa negara.
Bila
bukan kehilangan jati diri, manalah mungkin para pemimpinnya selalu saja tanpa
malu merampas hak milik rakyatnya. Mereka dengan pongah dan gagah menjarah uang
negara milyaran hingga trilyunan rupiah. Sungguh sebuah konflik yang teramat pelik
untuk dijadikan santapan sehari-hari rakyatnya.
Hingga
di antara kita banyak yang tidak sadar, bahwa di luar sana ada pihak-pihak yang
ingin memecah belah negeri ini. Rasa kebangsaan dan cinta terhadap budaya
bangsanya sendiri sepertinya kian memudar dan tenggelam di tengah kemajuan
teknologi dan pembangunan infrastruktur serta gedung-gedung pencakar langit.
Kita
masih ingat betapa heboh dan membuat panas telinga ini, saat pemberitaan di
beberapa media bahwa negara tetangga kita yang serumpun dengan terang-terangan tanpa
malu mengakui kebudayaan kita. Mereka mengklaim bahwa lagu “Rasa Sayange” dari Maluku, “Reog Ponorogo”, dan sebuah tarian dari
Bali adalah miliknya. Heh, sungguh
lucu bukan?!
Betapa
darah ini bergejolak dan amarah menyala. Namun bila kita berpikir lagi,
bagaimana kita tidak akan diinjak-injak bangsa lain? Jika kenyataannya saja dalam
kehidupan sehari-hari, kita memang menjauhi bahkan seolah-olah malu dan gengsi
untuk mengakui adat dan budayanya sendiri.
Tak
sedikit anak-anak muda kita lebih menyukai dan bangga dengan kebudayaan asing,
karena orang tuanya sendiri tidak pernah mengenalkan dan mengajarkan kebudayaan
nenek moyangnya yang nota bene merupakan warisan leluhur yang patut dijaga. Ditambah
dengan minimnya perhatian pemerintah dalam hal melestarikan budaya negeri ini. Mereka
seolah memandang sebelah mata para pelaku seni yang berusaha menghidupkan
kembali dan memertahankannya untuk terus dicintai oleh bangsanya sendiri.
Barulah
kita merasa kebakaran jenggot saat hal itu muncul ke permukaan. Semua berteriak
seolah-olah paling cinta pada negerinya. Halah.....,
aneh bukan? Sungguh ironis!
Lalu,
apa hubungannya pemaparan di atas dengan sebuah buku? Kiranya dua poin penting
yang dipaparkan tadi (kemiskinan dan kehilangan jati diri) yang dijadikan fokus
utama serta menjadi benang merah kisah-kisah dalam buku bernas ini. Ade Ubaidil, penulis muda penuh talenta
mampu menghadirkan dan menyuguhkan sajian apik dan enerjik dalam merangkai kata
dan kalimat indah. Dia begitu lugas mengangkat berbagai masalah yang berlatar
belakang kemiskinan dan kemunduran akhlak bangsa ini dengan bumbu-bumbu konflik
yang mudah dicerna.
Kita
akan tersentak setelah membaca Buku “Air Mata sang Garuda” ini. Buku ini
saya kira berhasil membuka mata hati setiap pembacanya. Penulisnya berhasil
menyintir telinga sekaligus menyindir para pemilik negeri ini. Ade Ubaidil bisa
jadi sebagai seorang pemuda yang memiliki jiwa peka terhadap berbagai realitas
sosial di negeri yang kaya dan melimpah akan sumber daya alamnya. Di usia belianya,
dia mampu memotret berbagai kisah yang menggugah pembacanya untuk tercenung dan
merenung, sejauh mana kita mencintai negeri yang sepertiganya adalah lautan,
serta elok akan berbagai wisata alamnya.
Buku
sastra yang berisi duapuluh cerpen ini teramat sayang untuk dilewatkan. Bila
lebih jauh lagi, buku ini sarat dengan kepiawaian penulis dalam menyajikan tema
yang beragam. Mulai dari ketulusan persahabatan (Laut Senja), keteguhan meraih ilmu dan cita-cita (Wisudawan), cinta yang tulus (Rinai di Bawah Halte Bus, Terima Kasih Monita), eksploitasi
keindalan (Undian Cinta di Pulau Dewata),
dan tentu saja kisah yang sangat mengispirasi tentang kaum marjinal serta
menumbuhkan rasa cinta pada sesama, terhadap kebudayaan dan tanah air dalam “Air Mata sang Garuda”.
Serta
kisah-kisah menarik lainnya yang disajikan dalam berbagai alur serta ending
kisah mengejutkan serta memikat dalam kisah-kisah memukau lainnya, yaitu: Hikmah, Aku Mencintaimu Karena Allah, Cahaya Permata, Aku Dilema, Tuhan!
Haruskah Aku Bahagia? Dusta 02 Oktober, Kecil-kecil si Cabe Rawit, Lambaian
Kerudung Ibu, Ketika Pagi dan Petang Dia Menghilang, Sepenggal Kisah Sang
Pewarta, Gadis Berparas Sendu, Letupan Jiwa, Kado Terindah, Aku Pantas Menjadi
Penghuni NerkaMu, Ya Allah.
Terlepas
dari berbagai kekurangan dan kelebihannya, buku ini menjadi sebuah alternatif
bacaan yang mampu menjadi warna bagi pelangi sastra serta dunia literasi negeri
ini. Ade
Ubaidil telah ikut serta menyumbangkan sesuatu yang penuh arti bagi
bangsa ini. Semoga penulis enerjik ini akan selalu mampu menyajikan berbagai
kisah menarik lainnya yang menjadi bahan perenungan para pembacanya.
Lebih
jauh lagi, semoga negeri ini akan terus melahirkan penulis-penulis handal yang mampu
membangkitkan harapan demi kemajuan dan kejayaan bangsa besar ini. Semoga Ibu
Pertiwi tidak akan lagi bersusah hati dan sang Garuda tidak ‘kan pernah menangis
kembali.
Wallahu a’lam bishawab[]
Cianjur, 15-4-2014
Peresensi: Dedi Saeful Anwar
source by: http://dedisanwar.blogspot.com
2 komentar
ternyata udah banyak juga yah bukunya, kereeen..
ReplyDeletehahah.. ini cuma buku antologi :D
Delete