Kisah Pemenggal Kepala (Kumcer: Mayat dalam Lumbung, FAM Publishing 2014)
November 06, 2014illustration by: www.google.com |
Tubuhnya
bergetar hebat. Di sela-sela banyaknya orang yang berkerumun, kakinya perlahan
melangkah pergi. Satu... dua... tiga... seketika ia sudah berada di tempat yang
berbeda. Ia bertamu di rumah Tuhan.
***
Dunia
tak ubahnya hanya sekumpulan budak dan raja. Begitu aku menganalogikannya. Kenapa
tidak? Untuk bergerak saja, harus diatur sedemikian rupa. Siapa pun jangan
bicara keadilan denganku. Aku takut belatiku semakin tumpul bila terlalu banyak
bersimbah darah segar.
Tiga
orang yang pernah memimpin negeri ini, baru saja menjadi buah bibir di seantero pelosok nusantara
karena dibunuh dengan sangat tragis. Salah satu organ vital ketiganya hilang, hingga
saat aku duduk di sini, kepala mereka yang terpenggal belum juga ditemukan.
Tunggu dulu, jangan terburu-buru menuduhku. Aku paling tidak suka berteman
dengan orang yang tergesa-gesa. Apalagi mereka yang senang mempergunjing
kehidupan orang lain tanpa di dasari data dan fakta.
Ah,
bicara apa aku barusan?!
Maukah
kau sedikit lebih lama mendengarkan ceritaku? Ya, di sini. Di gubuk tua ini.
Tempat ini memang favoritku untuk mencari inspirasi. Tenang saja, prolog di
awal tadi bukan sungguhan. Tapi kalau kau mau mendengarkan kisahku, mungkin kau
akan berubah pikiran.
Bagaimana? Kamu mau
menyimaknya?
Tak perlu bergidik
melihat aku memainkan belati ini di lehermu. Lagi pula aku sudah bosan
mengganggu kehidupan orang lain. Sudah ada malaikat yang bertugas mencabut
nyawamu, bukan aku.
Minumlah
dahulu kopi hitamku ini, kita bersantai saja di sini. Bersama kicauan burung
gereja, alunan angin perawan juga desahan padi-padi serta tanaman jagung yang
sudah masak dan siap panen.
Kejadiannya
tiga belas tahun lalu. Saat tubuhku masih kekar dan ditakuti banyak orang. Aku
sedang singgah di salah satu gerbong yang tak terpakai di sebuah Stasiun.
Sekiranya pukul 01.33 dini hari. Jangan kau kira aku memakai jam tangan malam
itu. Cih, daripada membelinya aku
lebih baik mempergunakan uangku untuk membeli makan pada waktu itu. Aku mengetahuinya
saat melihat jam besar yang berbentuk bulat mengawasiku dari sebuah dinding
peron yang kusam tak terurus lagi. Kuatur napasku yang berat. Aku
terengah-engah di sepertiga malam yang pekat itu. Sekelilingku tak begitu
terang. Hanya ditemani lampu-lampu yang menyala tak kurang dari 5 watt, remang-remang
dan samar. Bahkan bayanganku tak terlalu tampak.
Mungkin,
tahun itu kau belum lahir, ya?! Tetapi, orang tuamu mungkin mengenaliku. Bahkan
turut mengejarku malam itu. Beruntung, aku pandai dalam meloloskan diri. Kalau
kau tak percaya, belati ini bisa kau tanyakan langsung. Sebab, hanya belati ini
yang setia mengikuti langkahku ke manapun aku pergi.
“Kejaaarr!!! Bakaaarrr!!!”
Teriakan-teriakan
warga menggema di gendang telingaku. Jantungku memompa lebih cepat lagi.
Tubuhku sudah tak bisa diajak berlari. Saat tegang seperti itu terdengar suara
lelaki menyeru ke arahku.
“Kemarilah!
Di sini pasti kamu aman denganku.”
Begitu
kiranya. Kau tak perlu mengerjap begitu, santai saja. Anggaplah aku sedang
mendongeng untukmu. Aku lanjutkan kisahku. Dengarkan baik-baik, ya.
Ketika
terdengar suara berat itu, aku mencarinya. Belati di tangan kananku aku angkat.
Hanya sebagai jaga-jaga, kalau-kalau dia salah satu warga yang sedang menyamar.
Seseorang tengah duduk di salah satu gerbong lainnya.
Seseorang tengah duduk di salah satu gerbong lainnya.
“Percayalah
padaku. Aku dipihakmu.” Wajahnya tak terlukis jelas. Rembulan malam itu tampak
malu-malu menjatuhkan cahayanya ke arah kami.
“Siapa,
kau?!” Dengusku bengis. Kusodorkan belatiku ke arahnya. Namun, dia tak bergeser
satu inci pun dari tempatnya saat mendapatkan gertakan dariku. Aku semakin
penasaran. Ini kali pertama ada orang yang tak takut dengan belatiku.
“Berapa
nyawakah yang terbunuh oleh ujung belatimu itu?” Ia malah balik menyodorkan
pertanyaan tanpa menjawab ucapanku sebelumnya. Pria tua itu berdiri. Aku menduganya
yakin usianya sekitar kepala tujuh, sebab dia sudah bungkuk dan sesekali
melempar batuk yang mengganggu indera pendengaranku.
Sebelum
aku lanjutkan, apa kau ingin bertanya? Sudah kubilang, santai saja bicara
denganku.
Yakin,
kau tidak mau bertanya? Baiklah akan aku lanjutkan.
Aku
terkesiap mendapatkan tanya yang tidak biasa dari pria berumur itu. Rona
keriput di wajahnya perlahan terlihat, setelah kutatap lamat-lamat.
“Baru tiga belas kepala saja. Dan mungkin tak lama lagi akan bertambah menjadi empat belas.”
Hey,
kamu kenapa menelan ludah? Apa tenggorokanmu tercekat? Minumlah dahulu,
ceritaku tak lama, kok. Sebentar lagi akan usai. Ambil posisi dudukmu senyaman
mungkin.
Pria
tua itu mengangguk pelan. Kemudian berkata, “Apa hanya memenggal kepala saja
yang kau lakukan?” dia menyentuh pundakku. Belum sempat aku mengelaknya dia
menambahkan lagi, “untuk apa kau lakukan hal itu?”
“Tak
perlu kau tahu alasanku. Apa kau ingin juga darahmu menyatu di belati ini?!” Aku kembali
menakutinya. Namun, ekspresinya tetap stabil dan datar. Ia malah berjalan
mendekati kursi tunggu yang diterangi lampu Stasiun.
Raut
wajahnya semakin jelas. Aku tak tahu apa maksudnya, tetapi mungkin dia ingin
menunjukkan parasnya padaku. Rahangnya tegas dan lebar. Kumis serta rambutnya
berwarna putih merata—beruban. Jenggotnya panjang hingga hampir menyentuh dada
pun putih pekat warnanya. Aku pun mendekatinya. Tak rela bila dia kabur dan
memberitahukan tempat persembunyianku dari warga yang sedang memburuku.
“Kalau
kau merasa berani, mengapa tak kau hadapi warga kampung itu?!”
“Banyak
bicara, kau. Apa kau sudah bosan hidup, Pak Tua?!” Aku semakin geram. Seketika kucengkeram
kerah jubah putih yang panjangnya hingga mencium tumit itu. “Sepertinya kau tak
takut mati, hah!” Kepalanya terangkat, napasnya cepat. Namun ia tetap tenang
mendapati perlakuanku dan tak melawan.
“Hidup
bukan tentang bosan atau tidak. Bukan pula kematian
yang aku takuti, tapi menyia-nyiakan waktu yang aku takuti. Karena kematian
hanya memisahkanku dari dunia. Tetapi, menyia-nyiakan waktu akan memutuskanku
dari Allah dan surga[1].”
“Ah, aku tak butuh ceramah darimu!” Jemariku semakin
kuat mencengkeram. Sekaligus bertambah geram melihat perangainya yang tetap
tenang.
“Aku tahu, kau bukanlah orang jahat. Kau hanya
terjebak.”
Aku terdiam sejenak. Mengurangi kadar kekuatan
genggamanku di kerah bajunya. “Apa maksudmu?”
“Kau terlahir dari keluarga miskin. Kau mengalami
serba kekurangan dalam ekonomi. Kau anggap pemimpinmu kala itu tak adil
mengayomi rakyatnya. Titik puncaknya, ayahmu meninggalkanmu dan ibumu yang sedang
jatuh sakit. Kau menjadi anak yang pendendam. Membunuh setiap kepala keluarga
yang sedang meluangkan waktu bersama anaknya. Kau pencemburu, bahkan kau tak
bisa mengontrol dirimu sendiri. Setiap kali telingamu mendengar seorang
pemimpin yang berbuat curang, kau mengejarnya hingga dia mati di tanganmu.”
“Siapa kau sebenarnya?!” Aku berteriak di depan
wajahnya yang perlahan seperti memancarkan cahaya. Begitu teduh dan
menenangkan.
“Kau tahu? Tuhanmu masih sayang dan peduli terhadapmu.
Sengaja Dia lambatkan waktu matimu untuk mengubah dirimu. Harusnya kau bisa
pergunakan itu dengan baik. Kemiskinan jangan kau jadikan alasan untuk berlaku
kriminal. Sudah terlalu banyak orang gila di bumi ini. Bertobatlah!”
Kau percaya? Tubuhku yang kekar lunglai seketika
mendengar petuah darinya. Jemariku tak berdaya lagi dan melonggarkan
cengkeraman dari kerah jubahnya hingga terlepas. Bahkan sebelumnya aku tak
mengenal air mata. Namun malam itu, benda yang bernama air mata itu menerjang
wajahku. Membanjiri hampir seluruh wajah hingga tak terbendung lagi. Aku
berlutut di hadapan Pak Tua itu.
Seketika di saat aku tersadar, hari sudah pagi, aku masih bertanya-tanya apakah semuanya hanya mimpi?
Seketika di saat aku tersadar, hari sudah pagi, aku masih bertanya-tanya apakah semuanya hanya mimpi?
Fajar telah menjelang dan cahayanya jatuh
menggerayangi tubuhku yang bersimbah darah kering hasil perbuatan semalam.
Sejurus kemudian aku kembali di buat terperanjat. Di
depan Stasiun yang bersebelahan dengan jalan raya orang-orang ramai berkumpul.
Aku ingin berlari pergi menjauh dari mereka, namun hatiku turut dikerumuni rasa
penasaran. Sepertinya orang-orang di sana tidak sedang mengincarku lagi. Mereka
berkerumun membuat setengah lingkaran kecil. Akhirnya kuputuskan untuk
menghampirinya.
Deg!
Hatiku
bergeletar saat sudah berjarak dekat dengan mereka. Seorang pria beruban
mengenakan jubah putih dengan jenggot yang panjangnya hampir menyentuh dada
tergeletak di jalanan beraspal. Kepalanya berlumuran darah yang masih mengalir
segar. Lidahku tercekik tak sanggup berkata apa-apa. Perlahan aku menjauh,
mencari tempat untuk menenangkan diri. Untuk bertanya kepada Tuhan siapa pria
tua itu?!
Aku
mengenal Tuhan darinya. Aku singgah di sebuah tempat suci yang belum pernah
sekali pun aku menginjakkan kaki di dalamnya. Aku bertamu di rumah Tuhan.
Petuah pria tua itu masih aku ingat sampai sekarang aku sudah berusia lima
puluh tiga tahun. Dan aku menyadari makna kehidupan yang sebenarnya.
Lalu,
bagaimana denganmu? Apa kau masih ingin mencuri jagung di ladangku ini?[]
Cilegon,
17 Juni 2014
0 komentar