PIGURA (Majalah UMMI, 30 Agustus 2014)
November 03, 2014Majalah UMMI (Juara 1 Milad UMMI ke-25 Tahun) |
Tubuh
Misni masih meringkuk seusia salat Tahajud. Ia terlelap di atas sajadah
panjangnya dengan kedua tangan yang merangkul sesuatu. Keringat mengucur deras
di keningnya yang keriput. Ia merasakan kobaran api tengah menguliti tubuhnya
yang masih berbalut mukena. Seketika ia terjaga dari tidur. Hanya terdengar
jeritan dari mulutnya yang kering. Lalu gulita, tak lagi ada suara.
***
Apa yang bisa dilakukan seorang
anak untuk membahagiakan kedua orang tuanya?
Pertanyaan
seperti itu yang kerap kali memenuhi pikiranku. Jika ditanya tentang
kebahagiaan, aku selalu kesulitan menggali benakku untuk mencari jawabannya
yang cocok. Sebab, sebelum membahagiakan orang lain, aku selalu mencoba
menciptakan kebahagiaan untuk diriku sendiri terlebih dahulu.
Beberapa
bulan terakhir ini aku selalu resah dengan keinginan ibu dan abah. Aku tahu
mereka tidak mengatakannya langsung kepadaku. Tetapi dari raut wajahnya
terlukis harapan yang begitu besar yang mampu membuatku memutuskan untuk
berhenti kuliah saat menginjak semester lima.
“Ini
sudah keputusan Adzim, Bu.”
“Tapi,
Nak, sayang jika kuliahmu harus terhenti.”
Hatiku
tergetar mendapatkan jawaban dari ibu. Padahal kulakukan ini agar tidak
membebani abah dan ibu lebih lama lagi. Gaji seorang Guru agama tentu tidak
akan selalu cukup untuk membiayaiku kuliah. Apalagi ibu yang hanya seorang
penjahit. Penghasilannya tak menentu. Aku sudah dewasa dan keputusan ada di
tanganku. Abah tak banyak bicara ketika tahu aku memilih berhenti kuliah. Namun
sikapnya yang dingin serta tatapannya yang menohok hingga relung hatiku telah
cukup mewakili apa yang akan dikatakannya.
Aku
mencari informasi dari teman-temanku yang sudah bekerja. Setidaknya kemampuanku
dalam mengoperasikan komputer bisa dijadikan pertimbangan dari perusahaan yang
nantinya menerima lamaran kerjaku.
“Kapan,
ya, Ibu dan Abah bisa berangkat ke Mekah,” ucap ibu suatu malam. Aku
memerhatikan kedua bola matanya yang berbinar. Ya, aku menangkap sebuah harapan
besar di dalam sana. Abah hanya tersenyum menanggapi perkataan ibu. Namun tatapan
yang dalam dari mata Abah jua tak bisa disembunyikan lagi. Aku lelaki pun anak
abah. Aku tahu apa yang sedang ada dalam pikiran abah saat melihat ibu
memegangi pigura berukuran 25 x 38 sentimeter itu yang menyimpan foto sebuah
pusat dari arah kiblat umat muslim sedunia.
Ini
bukan pertama kalinya aku melihat ibu memeluk pigura itu. Pernah suatu waktu,
ibu sampai meneteskan air mata sambil mengumandangkan Talbiah[1]
layaknya orang yang sedang menunaikan haji dan umrah di Mekah.
“Labbaika... Allahumma Labbaik....”
Ayat
itu sudah melekat pada pangkal lidah ibu. Setiap hari setiap waktu. Di saat
sendiri, aku selalu terpikirkan bagaimana caranya memberangkatkan ibu dan abah
ke kota kelahiran Nabi Muhammad Saw itu. Menunaikan rukun Islam yang kelima.
Kota suci yang selalu diidam-idamkan banyak umat muslim untuk bertandang di
sana. Pipiku basah dihujani air mata. Aku ingin sekali membahagiakan mereka.
***
Teriknya
mentari tak sedikit pun menyurutkan langkahku untuk berjalan kaki menuju Bank.
Ya, aku memilih berjalan kaki dari kantorku sampai ke Bank. Kebetulan tempatnya
tidak terlalu jauh. Lebih baik uangnya aku tabung untuk memberangkatkan ibu dan
abah ke tanah suci Mekah.
Aku
melewati kampusku. Delapan tahun lalu tepatnya aku berada dalam ruangan itu
mendengarkan materi perkuliahan yang membosankan. Ya, beginilah kehidupan.
Bersyukur aku tidak menganggur terlalu lama saat memutuskan untuk berhenti
kuliah. Sudah hampir tujuh tahun aku bekerja sebagai Administrator di sebuah
perusahaan sederhana. Aku ingat pesan abah sewaktu kecil. ‘Syukuri apa pun yang
kau dapat, karena belum tentu orang lain merasakan apa yang kita terima dari
Allah.’
Fabiayyi alaa irobbikumaa
tukadzibaan....
Gaji
yang lumayan, sedikit demi sedikit bertambah memenuhi tabungan haji untuk ibu
dan abah. Sengaja aku pisahkan tabungan haji dengan tabungan pribadiku. Aku
masih menyembunyikan tabungan haji ini dari ibu dan abah. Meski sebenarnya aku
sudah tak sabar ingin menceritakannya. Akan tetapi, aku lebih senang bila uang
yang ada sudah mencukupi untuk memberangkatkan haji kedua orangtuaku. Kira-kira
empat sampai lima tahun lagi akan aku ceritakan tentang tabungan haji ini
kepada ibu dan abah.
Aku
pulang larut malam. Hari ini aku mendapatkan jadwal lembur. Tak apalah, uang
lembur bisa aku masukkan dalam tabungan haji. Aku mengetuk pintu pukul 01.30.
Abah datang dan membukakannya. Aku mencium punggung tangan abah. Sejuk sekali.
Aku tahu itu efek dari kebiasaan abah yang menjaga wudhunya. Terkadang aku
rindu masa kecilku. Aku merindukan saat diajari mengaji oleh Abah.
Aku
melintasi kamar ibu dan abah. Terlihat siluet lengkung tubuh ibu. Aku penasaran
dan berjalan mendekat. Aku mengintipnya dari balik tirai. Tubuh ibu yang
dibaluri mukena tengah menggenggam pigura yang tentu tak perlu aku ceritakan
lagi foto apa yang berada di dalamnya. Lagi, ibu melantunkan Talbiah dengan suara seraknya yang
bergetar. Dadaku turut bergeletar. Entah mengapa seakan ada sengatan listrik
yang menjalar di sekujur tubuh ini. Aku terdiam beberapa menit di balik
tirai—yang menjadi pemisah antara ruang kamar ibu dengan ruang tamu— dan ibu
belum menyadari itu, sedang Abah telah membaringkan kembali tubuhnya di atas
kasur. Tanpa menghiraukanku.
Segera
aku putuskan untuk melangkah menuju kamar. Aku tidak ingin air di mataku
menguar terus-menerus. Lagi pula tubuhku rasanya lelah setelah seharian
bekerja. Mungkin malam ini aku absen dari salat tahajudku. Ya, kuakui, aku
tidak serajin ibu dalam melaksanakannya.
***
“Kebakaran!!! Kebakaran!!!
Kebakaran!!!”
Teriakan
demi teriakan menelusup hingga lubang telinga Adzim. Kelopak matanya terbuka.
Tak ada yang dipikirkannya lagi selain menyelamatkan diri ketika melihat ke
arah luar melalui jendela, lidah api menjalar menuju kamarnya. Ia berkelebat
mencari jalan keluar. Beberapa ruangan dalam rumahnya telah dilahap si jago
merah. Disela larinya terdengar kumandang azan. Ia tersadar waktu masih subuh.
Tak kurang kiranya pukul 04.30, pikirnya.
Adzim
selamat. Ia berhasil meloloskan diri dari kepungan api yang merah menyala.
Sekitar tiga rumah telah hangus menjadi abu. Adalah korsleting listrik dari
rumah tetangganya, muara dari kebakaran yang tengah terjadi.
“Ibumu
mana, Dzim? Aku hanya melihat Abahmu tadi berada di surau. Seseorang sedang
menjemputnya untuk mengabari hal ini.”
Adzim
terdiam. Satu persatu ia teliti wajah-wajah yang berada di sana.
“Ibu!
Ibu! Ibu!”
Berulang
kali ia berteriak hingga serak. Tak ada satu orang pun yang menyahutnya.
Jangan-jangan....
Batinnya
tebersit dugaan ibunya masih berada di dalam rumah yang tengah dirangkul api.
Ia berlari, namun kepungan tangan warga berhasil mencegahnya.
“Tunggu
pemadam datang! Kobaran api semakin membesar, bahaya!”
“Tapi
Ibuku di dalam! Lepaskan aku! Lepaskan!”
Lengan
berotot dan tubuh kekarnya tak mampu melawan orang-orang yang mencegahnya.
Wajahnya basah dikerumini peluh dan air mata.
“IBUUUU!!!”
Teriakan
Adzim di sambut kobaran api yang semakin melangit beserta kepulan asap hitam
pekat. Dalam benaknya hanya satu: ingin memberangkatkan ibu dan abah ke Tanah
Suci.
Selang
tiga puluh menit pemadam datang. Salah seorang petugas bersaksi saat berada di
dalam rumah. Ia turut berduka dan menyesal sebab datang terlambat untuk
menolong. Hanya ditemukan sebujur tubuh perempuan yang telah kaku meringkuk di
atas sajadah yang telah hangus. Perempuan itu menggenggam sebuah pigura
berbingkai kayu, samar-samar gambar yang terlukis di sana sebuah Kota tempat
menunaikan haji dan umrah umat muslim sedunia.
Abahnya
mendekap tubuh Adzim yang tersungkur lemas mendengar berita itu. Tangisan demi
tangisan tak terbendung mengiringi kepergian Ibundanya. Satu buah mimpi
terpaksa kandas dengan kejadian yang tidak bisa seorang pun mencegahnya.
Mentari menampakkan wujudnya di antara rumah-rumah keluarga yang sedang
berkabung.[]
Cilegon, 20 Mei 2014
[1] pengucapan kalimat ‘Labbaika Allahumma labbaik’ ‘aku menyerahkan
diri kepadaMu, ya Allah’, diucapkan waktu memulai ihram haji dan/atau umrah
0 komentar