ROSSY
November 06, 2014Illustration by: www.google.com |
***
Sejak
semester awal aku tinggal di tempat ini bersama Lia. Sahabatku di kampung yang
mulai berubah. Kenapa aku katakan berubah? Ya, karena ia sudah tidak lagi
seperti dahulu. Lia yang aku kenal telah menjelma menjadi ‘orang kota baru’
begitu aku menjulukinya. Aku senang Lia sudah tidak lugu lagi, tetapi ada satu
hal yang membuatku sangat membencinya. Ketika dia sedang bersama Rossy.
Pertama
kali aku mengenal Rossy tentu melalui Lia. Ketika bapaknya dari kampung
memberikan Rossy sebagai kado ulang tahunnya. Aku selalu merespons cerita dari
Lia layaknya seorang sahabat. Aku senang ketika dia senang. Namun, lama
kelamaan aku mulai muak dengannya. Rossy-lah dalang dari semua kemuakanku ini. Kedatangannya di
tengah-tengah kita—lebih tepatnya di dekat Lia, aku menjadi sahabat yang entah
di nomor-berapakan oleh Lia?
Tunggu
dulu, apa aku belum bilang ya, rupa dari Rossy itu? Kalian jangan menduga kalau
dia adalah seorang manusia sepertiku. Tetapi, menurutku Lia memang menganggap
Rossy itu manusia. Bagaimana tidak, hampir setiap waktu Rossy tidak pernah
lepas darinya. Aku yang merasakan bagaimana kebahagiaanku—di tempat yang kurang
layak disebut rumah ini— direnggut. Rossy selalu mampu membuat Lia tersenyum
sendiri, menangis, bahkan cekikikan di tengah malam seperti kuntilanak yang nangkring di pohon jengkol—Duh, bulu kudukku merinding, padahal aku
sendiri belum pernah melihatnya. Mungkin tak terhitung lagi sudah berapa banyak
Lia mengabaikanku saat aku mengajaknya berbicara. Dia malah asyik dengan
Rossy—dunianya.
Hampir
saja terlupa. Maaf aku kurang pandai dalam bercerita. Kalian jangan kaget, ya,
kalau aku beri tahu wujud asli Rossy itu seperti apa. Dia hanyalah sebuah telepon
genggam yang di produksi oleh negara Kanada yang Lia beri nama Rossy. Bagiku
itu aneh, bahkan awalnya aku menganggap dia stres. Namun aku adalah sahabatnya
dari kampung. Sejak sekolah dasar hingga kuliah bersama di kota yang besar ini,
makanya aku menghargai apa pun yang dia katakan.
“Apa
yang membuatmu begitu asyik, sih, dengan Rossy-mu itu?” tanyaku suatu ketika.
“Masa
kau tak tahu, kau juga punya kan, May? Ini ponsel pertamaku, dan di sini aku
bisa mengenal banyak orang lewat Facebook, Twitter, BBM dan Path. Pokoknya seru
deh, mereka lebih mengerti aku melebihi siapa pun. Aku bisa curhat apa saja
melalui media sosial itu.” Lia semringah. Kepalanya bergoyang-goyang diikuti
rambut keritingnya yang tergerai sebahu.
Apa
yang dia maksudkan dengan kalimat: “Mereka
lebih mengerti aku melebihi siapa pun. Aku bisa curhat apa saja melalui media
sosial itu.”
Hey,
apa kau tak memandang aku? Jadi selama ini kau anggap aku siapa? Ingin
sekali aku katakan begitu kepadanya, dengan intonasi yang melengking. Namun aku
juga wanita, aku mengerti dia. Aku menganggap dia sahabatku walau aku sekarang meragu
bagaimana pikiran dia terhadapku.
Cukup!
Aku muak dengan semua ini. Aku juga punya telepon genggam seperti dia. Bahkan
lebih dahulu sebelum bapaknya memberikan itu padanya. Aku punya semua media
sosial yang dia sebutkan tadi. Tetapi, aku tidak terlena dengan dunia maya itu.
Aku hidup di dunia nyata, dan aku tahu apa yang lebih pantas untuk aku lakukan.
Akhirnya
aku memutuskan untuk melakukan sesuatu
terhadap Rossy. Tentu tanpa sepengetahuan Lia. Ini jalan satu-satunya yang bisa
aku lakukan. Tujuanku baik, aku hanya ingin sahabatku kembali hidup normal. Aku
bicara begini karena perilakunya seperti orang tidak waras. Rossy selalu
menemaninya di manapun dia berada, bahkan di toilet ketika dia buang air besar.
Segala sesuatu itu ada batas kewajarannya, dan bagiku itu sudah a-b-n-o-r-m-a-l!
Saat
ini kami telah menginjak semester tujuh. Tentu sedang disibukkan dengan
persiapan tugas akhir. Aku berbeda jurusan dengan Lia. Aku lebih tertarik
dengan ekonomi sedangkan Lia menyukai hukum. Terlihat dari cara bicaranya yang
selalu berargumen.
Sejak
pukul tujuh ia tengah sibuk berkemas untuk observasi tempat KKM dengan
teman-temannya ke daerah Bandar Lampung. Lumayan cukup jauh, aku juga sempat
kaget. Karena dari Jakarta ke Bandar Lampung tentu akan memakan waktu yang
tidak sedikit. Terlebih dia harus menaiki kapal untuk menyeberang dari pulau
Jawa ke Sumatera.
Aku
membantu dia mengemasi barang bawaannya. Kalian tentu tahu, aku mengintai Rossy
yang sedang di genggamnya. Ini kali pertama aku melihat wadah imut rajutan dari
benang wol yang entah Lia dapatkan dari mana. Aku juga tertarik melihatnya. Ups! Tidak. Aku harus terfokus dulu
dengan tujuan awalku.
Seusai
Lia menempatkan Rossy secara hati-hati pada wadah rajutan itu—atau lebih tepat
kantong telepon genggamnya. Sejurus kemudian Lia menyimpannya pada tas ransel
besar yang akan dibawanya pergi. Aku perhatikan secara detail, ia menempatkan
Rossy pada bagian depan tas yang berukuran kecil itu. Resleting sudah ia tarik untuk menutup bagian tersebut sekaligus
memastikan Rossy aman di dalam sana.
“Bagus
yang mana, May? Merah atau biru?” Lia beralih ke lemari pakaian.
“Sepertinya
biru, lebih sedap di pandang.”
Selagi
Lia mengenakan baju pilihan dariku, ini kesempatan yang tidak boleh aku
sia-siakan. Aku buka resleting itu
secara pelan-pelan sekali. Jangan sampai rencanaku ini gagal sedikit pun. Rossy
terlihat tenang di dalam kantong rajutan itu. Segera aku mengambilnya dan
menekan tombol off memastikan ia tidak
akan menjerit karena sebuah panggilan atau pesan singkat yang masuk dari teman
Lia.
“Sekarang
kau sudah ada dalam genggamanku!” Aku pandangi Rossy yang berwarna merah maroon itu. Tak lama Lia datang dari
kamarku. Ia memilih berganti pakaian di kamarku karena lemari yang aku miliki
tertata cermin besar di sebelah kanannya. Beruntung Rossy sudah aku sembunyikan
di dalam kantong celana Jeans yang sedang kupakai.
“Sepertinya
aku sudah harus pergi,” ucap Lia sesaat setelah mendengar suara sahutan dari
teman-temannya di teras depan.
***
Plung!!!
Lega
rasanya saat niat yang aku rencanakan berjalan dengan lancar. Aku menjauh dari
bibir sungai. Tak perlu menaiki kendaraan. Cukup di tempuh dengan berjalan
kaki. Anggap saja sedang jalan-jalan sore. Memang ini sudah menjadi rutinitas
kami. Sepulang kuliah, aku dan Lia akan melepas kepenatan di sepanjang sungai
yang jaraknya tidak kurang tiga ratus meter dari tempat yang kami tinggali.
“Tidak
akan ada lagi yang mengganggu kebersamaanku dengan Lia.”
Waktu
telah senja. Aku memilih segera pulang. Aku tidak akan melewatkan pesta kecilku
atas kepergian Rossy untuk selama-lamanya dari sisi Lia dan pandanganku
tentunya. Biar tahu rasa dia sendirian di dasar sungai yang keruh itu. Enak
saja merebut Lia dariku.
Maafkan aku Lia, hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku
tahu ini salah dan kamu akan marah besar terhadapku. Namun, semua ini aku lakukan
karena aku merindukan sosok sahabatku yang seperti dahulu.
***
Maya
masih pulas dalam dekapan mimpi. Ini kali pertama ia melewatkan kesempatan untuk
menyambut terbitnya mentari. Televisi yang dinyalakannya dengan volume keras
sejak pesta semalam, masih menyala. Sangat disayangkan, Maya tidak segera tahu
tentang sebuah berita yang menjadi headline
di televisi pagi itu. Seorang mahasiswi jurusan hukum semester akhir mati
tenggelam dari sebuah kecelakaan kapal menuju Kota Bandar Lampung.[]
Cilegon,
29 April 2014
0 komentar