[RESENSI] NOVEL: PASUKAN MATAHARI (Penerbit Indiva, 2014)
December 01, 2014
"Pasukan Peraih Impian"
Judul Buku :
Pasukan Matahari
Jenis Buku :
Novel
Penulis : Gol A Gong
Penerbit : Penerbit Indiva (Indiva Media Kreasi)
Tahun Terbit : Cetakan I, September 2014
Tahun Terbit : Cetakan I, September 2014
ISBN : 978-602-1614-43-3
Tebal : 368 halaman
Harga : Rp. 69.000,-
Tebal : 368 halaman
Harga : Rp. 69.000,-
Apa cita-citamu di masa
kecil? Adakah sebuah cita-cita yang pernah kamu coba wujudkan bersama
teman-teman terbaikmu? Bila ada, segera capailah sekalipun butuh perjuangan serta
pengorbanan yang tak semudah membalik telapak tangan.
Begitu kiranya yang ingin
disampaikan oleh penulis Gol A Gong dalam novel terbarunya, “Pasukan Matahari”. Menceritakan tokoh
sentral bernama Doni yang digambarkan sebagai seorang bocah yang masih bersekolah
kelas 5 Sekolah Dasar Negeri Purwaraja Menes, Pandeglang. Doni adalah anak yang
periang, memiliki semangat menggebu dan selalu dijadikan ketua atau pemimpin
dalam lingkup teman-temannya. Layaknya anak kecil di masanya, sifat penasaran
yang dimiliki Doni begitu tinggi. Tercermin ketika dia tengah menyaksikan
sebuah helikopter yang mendarat di sekitar alun-alun Menes. Seorang Tentara
usai terjun payung menghampiri Doni dan bertanya apa cita-citanya. Dengan
lantang Doni menjawab, “Jadi pilot om!”
(hal.148).
Doni benar-benar terkesan
dengan tentara itu sewaktu melompat dari helikopter dan mendarat dengan
mengembangkan parasut di punggungnya.
Sepulang dari alun-alun, Doni ingin mencoba seperti apa yang
dilakukan para tentara itu. Dia mengambil payung dari dalam rumah, kemudian
menaiki pohon Seri (Kersen). Dia kembangkan payungnya lalu bersiap melompat.
Teman-temannya mencoba mengingatkan kalau apa yang akan dilakukannya berbahaya, tetapi Doni tetap bersikeras dan
akhirnya dia melompat dari ketinggian 3 meter. Naas, dia terjatuh dengan sangat
keras. Teman-temannya berteriak dan segera menghampirinya. Tangan kiri Doni
terluka. Mang hendi, Asisten Rumah Tangga di rumahnya, datang menolong.
Kemudian dia mengabari Pak Akbar, ayahnya Doni, yang masih berada di sekolah.
Pak Akbar berprofesi sebagai guru olahraga.
Sungguh malang, tangan kiri
Doni mengalami patah tulang. Berbagai usaha telah ditempuh. Baik melalui pengobatan
alternatif (Dukun urut), hingga ke rumah sakit. Tetapi Dokter menyarankan bahwa
tangannya harus di amputasi kalau tidak nyawa taruhannya. Sebab setelah melalui
pemeriksaan, ada bisa ular yang menjalar di tangan kiri Doni. Akhirnya di usia
11 tahun Doni terpaksa melanjutkan hidup dengan satu tangan. Dan itu
benar-benar membuat psikisnya terpuruk.
Sewaktu di rumah sakit, Doni
dipertemukan dengan: Yayat, Ujer, dan Herman. Ketiganya bernasib serupa dengannya:
Yayat kaki kanannya buntung di bawah lutut; Ujer hanya memiliki tangan kiri,
dan Herman kehilangan lima jari tangan kirinya tersebab bermain petasan. Sejak saat
itu semangat Doni kembali bangkit. Dia tersadar bahwa beruntung masih diberi kehidupan
dan sanggup mengambil hikmah dari kejadian yang menimpanya. Mereka akhirnya
bersahabat, tersebab merasa senasib dan sepenanggungan, kemudian membentuk
kelompok yang diberi nama Pasukan Matahari.
Pembaca dibawa dengan cerita
masa sekarang pada bab pertama. Di mana tokoh Doni sudah berkeluarga dan
berprofesi sebagai penulis dan wartawan profesional di salah satu media cetak.
Pada bab pertama: “Pulang ke Kampung Halaman”,
menceritakan kisah hidup Doni—dengan memakai sudut pandang orang pertama (aku)—yang
mulai dihinggapi kegamangan dalam menentukan keputusan.
Pertama: Doni sudah bekerja hampir
12 tahun di media cetak—yang konon berjasa pula membesarkan namanya.
Kepercayaan perusahaan pada kinerjanya membuat dia diminta untuk meliput
kegiatan pada hari kemerdekaan di Jogjakarta. Namun yang Kedua: Doni sudah
membuat janji dengan teman-temannya dari Pasukan Semut dan Empat Matahari—sebutan
untuk grup masa kecilnya—untuk bersilaturahim setelah puluhan tahun tidak
saling berjumpa. Dia benar-benar tengah dihadapkan pada keputusan tersulit. Keduanya
datang di saat yang bersamaan. Akan tetapi setelah mendapatkan masukan dari
Pratiwi, istrinya dan berbagai pertimbangan, Doni memilih untuk mengundurkan
diri. Keputusan itu dia ambil demi menepati janjinya pada teman-teman masa
kecilnya untuk berjumpa di Gunung Anak Krakatau, Selat Sunda. Ya, janji itu
sudah dia ikrarkan sewaktu masa SD dulu bersama Pasukan Semut bahwa: “29 tahun yang akan datang, saat kita
berumur 40 tahun, kita harus berkumpul lagi.” (Hal.128). Maka mereka
memproklamirkan akan bertemu lagi di Gunung Anak Krakatau, dengan membawa kisah
keberhasilan mewujudkan cita-cita dan kesuksesannya masing-masing.
Memasuki bab kedua hingga
bab keempat, suara narator berganti menjadi sudut pandang orang ketiga serba
tahu. Mengisahkan lika-liku perjalanan Doni sejak kecil. Mulai dari cerita
pembentukan nama Pasukan Semut yang beranggotakan: Doni, Yusuf, Nurdin, Wahyu, Iroh,
Nani, Fitri dan Irma, hingga perjalanan menggapai cita-cita Doni yang beralih
dari pilot menjadi penulis dan atlet bulutangkis setelah kehilangan sebelah tangannya.
Cerita semakin seru dan pembaca dibawa dalam nuansa lokalitas wilayah Menes, Pandeglang
yang begitu khas dan kental.
Jangan salahkan penulis
kalau ketika membaca buku Pasukan
Matahari kita akan dibuat penasaran dengan segala tempat wisata yang ada di
kota Menes dan wilayah Banten. Sebut saja seperti: bermain di jembatan gantung,
berlibur ke pantai Anyer, menyeberangi pulau Sebesi hingga finalnya pendakian
ke gunung Anak Krakatau. Penggambaran setting
tempat yang detail hingga penokohan yang berkarakter khas, membuat cerita dalam
buku ini terasa hidup. Tentu semuanya tak lepas dari kelihaian penulis dalam merangkai
kata dan riset lapangan yang sangat mendalam.
Cerita sederhana yang mudah
dicerna oleh segala kalangan; baik anak kecil, remaja hingga orang tua membuat
kita nyaman dalam membacanya. lengkap sudah segala keindahan provinsi Banten
tercurah dalam buku ini. Setidaknya, kehadiran buku Pasukan Matahari sanggup mengubah persepsi negatif seperti: Jawara,
Dinasti dan Perdukunan di Banten menjadi provinsi yang dikenal banyak sekali
destinasi wisata liburannya dan membangun kegiatan literasi. Satu hal, “Inilah saatnya otak, bukan otot. Banten
harus dilepaskan dari budaya otot” (Hal. 349). Kalimat itu yang melekat
pada buku ini.
Di bagian akhir saya
kutipkan sebuah kalimat Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu buku, bahwa: “Menulis
bukanlah satu-satunya cara untuk menikmati untaian kata, karena masih ada cara
lain untuk merayakannya, yakni membacanya.”
Hadiahkanlah buku ini pada
orang-orang yang kita cintai dan sayangi. Atau panggillah anak-anak untuk
berkumpul. Kisahkan pada mereka bahwa cita-cita wajib dimiliki oleh setiap
insan. Wujudkan impianmu, raihlah dengan semangat menggebu seperti yang akan
dan telah buku ini tularkan pada pembaca sekalian.[]
Cilegon, 01 Desember 2014
________________________________________________
Baca juga di: http://rumahdunia.com/isi/pasukan-peraih-impian/
0 komentar