Bertandang ke Jogjakarta (Sebuah Catatan Perjalanan)
February 08, 2015
Setiap
hendak bepergian, hal yang kudu dilakukan adalah prepare barang bawaan. Ya, biasanya itu yang emak ajarkan kepada
setiap anak-anaknya. Bila saya tak menanggapinya, emak akan terus-menerus rewel
hingga saya akhirnya menyerah dan mengiyakan ucapannya. Karena sejak kecil
sudah diajarkan berlaku disiplin, jadilah ketika saya akan berangkat ke
Jogjakarta
(27-28 Maret 2014) begitu heboh
dan sibuk sendiri. Tiket sudah dipesan tiga hari sebelum keberangkatan. Saya
saat itu memilih menaiki kereta api. Barang-barang dalam tas dicek hingga lebih
dari tiga kali untuk sekadar memastikan tidak ada barang bawaan yang
tertinggal.
Waktu
keberangkatan tiba. Saya berangkat seorang diri ke Jogjakarta untuk mengikuti
pelatihan menulis bersama teman-teman dari berbagai kota. Tepatnya di #KampusFiksi yang digadang oleh sebuah penerbitan asal Jogja, DIVA Press group. Acara yang diselenggarakan tiap dua bulan dan para peserta terpilih sebelumnya pernah melalui tahap kompetisi. Yakni berupa cerpen yang kemudian diseleksi dan dinyatakan lolos untuk mengikuti pelatihan bersama pebimbing salah satunya Pak Edi Mulyono atau lebih dikenal Edi Akhiles, merangkap sebagai CEO Penerbit tersebut.
Pukul
09.00 pagi Bapak mengantar saya menaiki sepeda motor sampai ke Stasiun Seruni
Cilegon dekat masjid Agung dan Kantor Walikota Cilegon. Saya pamit dan
menyalami tangan bapak. Bapak tidak menunggu menemani hingga kereta datang,
sebab ada pekerjaan yang harus diselesaikan, katanya. Tas ransel penuh berisi
barang bawaan plus laptop lengkap
sudah menambah beban di punggung saya.
Saya
menunggu bersama calon penumpang lainnya. Kereta Krakatau nama dari lokomotif
yang nanti akan saya tumpangi. Lima belas menit berikutnya kereta pun tiba. Saya
segera mencari nomor gerbong dan kursi sesuai yang tertera pada tiket. Pagi itu
suasana masih lengang. Belum banyak penumpang sebab stasiun Seruni adalah
transit kedua setelah stasiun Merak. Kursi di hadapan saya masih kosong pun
dengan yang berada di samping saya. Saya sangat leluasa dengan gaya duduk
sesuka hati sambil membaca buku yang sengaja saya bawa dari rumah.
Kereta
melewati beberapa stasiun seperti Tanah Abang, Gambir dan Stasiun Cikini.
Selama perjalanan dan transit kursi kosong dalam kereta mulai terisi. Penumpang
terbanyak biasanya datang dari stasiun Rangkas Bitung. Sebab, warga Rangkas
banyak yang mencari rezeki di luar kota, begitu yang saya tahu dari teman.
Kereta
kembali melaju dan transit di Stasiun Pasar Senen. Seorang perempuan cantik
masuk ke gerbong yang sedang saya tempati. Dia tengah mencocokkan nomor kursi
dengan tiket yang sedang digenggamnya. Saya berharap dia akan duduk di kursi
yang berhadapan dengan saya. Dan benar saja, langkahnya terhenti di kursi kosong
depan saya. Setelah dia telah yakin itu kursinya, dia malah kembali pergi. Saya
sempat heran. Lekas saja saya memutar kepala mengikuti langkahnya. Ternyata dia
tidak keluar gerbong. Dia malah menyusul dua orang; kakek dan nenek, lalu
mengarahkannya untuk duduk pada kursi kosong di hadapan saya.
Sempurna
sudah kini di hadapan saya ada sepasang suami istri yang setibanya langsung
banyak bercakap. Tak lama di pemberhentian selanjutnya seorang pria duduk di
kursi kosong sebelah saya. Sang nenek saya perhatikan tengah sibuk membuka-buka
isi dalam tas dan kantong keresek/plastik
yang tadi dibawakan oleh perempuan cantik di Stasiun Pasar Senen yang kuduga
cucunya. Usia perempuan itu mungkin lebih dewasa delapan tahun dari saya. Ini
hanya dugaan.
Nenek
itu telah mendapatkan yang dia cari. Sebuah koran nasional yang diberikan
kepada sang kakek di sebelahnya. Kemudian dia mengambil sebuah bungkusan yang
ketika dibuka ternyata nasi dan lauk yang mungkin dibawanya dari rumah. Dia
tidak segera melahapnya. Kini dia disibukkan lagi dengan sesuatu yang masih
dicarinya dalam kantong keresek. Kaki
saya yang terjepit karena bawaannya yang banyak terpaksa harus maju-mundur dan
bergeser supaya dia bisa leluasa membungkukkan tubuhnya.
Tak
lama dia mengeluarkan sendok. Membuka air mineral dan menyiramkan pada bibir
sendok itu. Pada bagian ini yang masih membuat saya terenyuh/entah apa kata
yang tepat. Sang kakek yang sejak tadi sibuk membaca koran menoleh ke istrinya
yang sedang makan. Istrinya menyadari itu kemudian menawari suaminya—tentu
sebelum itu sang nenek menawari saya namun saya menolak dengan halus. Sang
suami mengangguk. Terlihat wajah yang senang istrinya itu menyuapi sang suami.
Oh, ini pemandangan yang langka saya temui di tempat saya tinggal. Sang kakek
tersenyum sambil mengunyah pelan sekali. Di suapan berikutnya saya tidak
terlalu memerhatikan. Mata saya malah terkunci pada pemandangan persawahan yang
berada di luar jendela.
Pria
di samping saya berdiri dan berjalan entah menuju gerbong restorasi atau ke
toilet saya tak begitu mengikutinya. Selagi saya lengah dengan pasangan
kakek-nenek di hadapan saya, si nenek ber-oh. Kembali saya perhatikan wajahnya
yang kaget. Kedua bola matanya lekat memerhatikan raut keriput suaminya. Saya
pun mengikuti. Astaga! Kedua tangan kakek melepaskan gigi palsunya—dan saya
baru menyadari kalau dia pakai gigi palsu—lalu menyentuh bagian gusinya. Saya
jelas melihat darah keluar dari sana. maaf, maaf ketika itu saya merasa jijik
dan sedikit mual melihat lendir air liur bercampur darah di tangannya. Sang
nenek tampak panik. Dibukanya lagi tas keresek tadi, kali ini lebih
terburu-buru dari sebelumnya. Terpaksa kedua kaki saya tekuk dan masukkan ke
kolong kursi sendiri. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. tangan sang kakek
menopang dagu seperti menghadang kalau-kalau darah itu menetes dan keluar dari
mulutnya.
Saya
tidak tahu tersebab apa darah itu bisa keluar, yang saya ingat mereka tengah
suap-suapan. Melihat isi kertas nasinya pun hanya ada dadar, nasi tentunya dan
tempe oreg. Selebihnya tak saya lihat. Atau jangan-jangan di nasi bungkus
biasanya ada kerikil dan tanpa sepengetahuan keduanya sang kakek menggigitnya.
Entahlah. Sang nenek sudah mengeluarkan tisu dan kapas. Segera memberikan pada
suaminya dan meminta untuk menggigitnya. Saya malah masih memerhatikan dengan
wajah risih.
Bersyukur
darah dari mulutnya tidak keluar lagi. Saya malah tiba-tiba fokus ke gigi
palsunya yang berada di genggaman si kakek. Hiii... saya jadi merasa geli
melihatnya.
Suasana
sudah kembali tenang, pria yang tadi pergi pun sudah kembali ke kursi sebelah
saya. Si kakek kembali membaca korannya, sesekali tangannya menyentuh bibir
dengan ekspresi yang sedikit ngilu. Saya yang duduk di pojok dekat jendela bisa
leluasa memerhatikan tingkahnya. Nenek yang ada di depan saya bertanya hendak
ke mana tujuan saya.
“Ke
Jogja,” kata saya. “Nenek sendiri mau ke mana?” tanya saya balik.
Saya
lupa tujuan mereka, nenek itu entah menjawab ke Madiun/Gresik. Antara kedua
tempat itu yang pasti.
Waktu
semakin malam. Sudah pukul 20.00 dan saya tidak tahu sudah sampai mana. Saya
tidak begitu mendengarkan apa yang disebutkan ketika berhenti di stasiun. Saya
malah bertanya pada pria di samping saya.
“Sudah
lewat stasiun Lempuyangan, Mas?”
“Belum.
Masih lama,” jawabnya singkat. Mendengar itu saya memutuskan untuk tidur
sebentar. Buku yang sejak tadi saya baca, saya taruh pada meja kecil yang
terpasang di dinding kereta. Bersama dengan ponsel yang masih saya charge.
Pukul
23.30 saya terjaga dari tidur. Pria di samping saya sudah tidak ada, entah
turun di stasiun mana. Sementara sepasang kakek-nenek itu masih tertidur pulas.
Laju kereta melambat, terdengar dari pengeras suara menyebutkan: “Stasiun
Lempuyangan” saya bergegas turun. Buku yang tadi tergeletak di meja segera saya
raih bersama ponselnya, tas ransel di bagian atas penyimpanan barang-barang
saya tarik dan menyangganya. Sekali lagi memastikan tidak ada yang tertinggal,
setelah itu saya beranjak. Saya tak pamit dengan sepasang suami-istri yang
tengah bermimpi itu.
Stasiun
ini begitu sepi. Saya menuju jalan keluar, sampai di sana beberapa ojek yang
sedang mangkal menawari tumpangan. Saya menolak. Taksi yang melintas pun
melakukan hal serupa dengan para pengendara ojek tersebut, tetapi saya
menjawabi bahwa akan ada teman yang menjemput. Akhirnya mereka berlalu.
Perjalanan
kali ini memang sangat melelahkan. Di dalam kereta dalam posisi duduk, sesekali
berdiri untuk ke toilet, dengan menghabiskan waktu sekitar 15 jam. Bokong saya
terasa tepos alias menipis. Tak menunggu waktu lama, teman saya yang kebetulan
sudah tiba sejak kemarin di Jogja membalas pesan saya. Katanya dia tinggal
bersama saudaranya dan saya ditawari untuk sekedar bermalam di kos-kosannya. Saya
diminta menunggu di pintu keluar stasiun. sejurus kemudian seseorang
mengendarai motor matik berhenti di hadapan saya sembari menyebutkan nama saya.
Pun saya menyebutkan nama dia seperti yang tadi sudah diberitahukan oleh kawan
saya. Setelah yakin tidak salah orang, kami berjabat tangan. Usai itu tanpa
basa-basi saya segera duduk di bagian jok belakang motornya.
Esoknya,
setelah saya bertemu dengan teman yang selama ini hanya mengobrol melalui dunia
maya, kami beranjak ke tempat pelatihan. Banyak sekali wajah-wajah baru yang
saya temui. Karena sudah sering berbincang di media sosial, kami tidak begitu
canggung dan seperti sudah sering bertemu. Selama dua hari kami tinggal dan
tidur di tempat pelatihan menulis semacam mes/kontrakkan. Ketika malam hari,
ada gerobak angkringan khas Jogja. Tentunya kami tak boleh ketinggalan menyicip
nasi kucing dan bandrek hangatnya. Baru pertama kali saya melihat langsung nasi
kucing. Ternyata nasi kucing itu serupa nasi biasa/nasi uduk, hanya saja
porsinya lebih sedikit. Dan memaksa saya melahap dua bungkus sekaligus. Tak
lupa dengan lauknya ikan teri dan tempe oreg. Juga gorengan dan sate ati ayam.
Nikmat sekali apalagi disantap bersama-sama.
Singkatnya,
pelatihan menulis berakhir. Keesokan harinya sebagian teman memilih langsung
pulang karena sudah memesan tiket dari rumah. Tetapi beberapa lainnya tidak
langsung memilih pulang. Mereka mengajak saya untuk bertandang dulu ke tempat
wisata seperti Candi Prambanan. Tentu saya setuju dan tanpa cingcong, dari pihak panitia menemani
perjalanan kami ke sana.
Antrian
cukup padat. Ketika itu di dominasi dengan wisatawan mancanegara. Tubuh mereka
tinggi besar dan kulitnya jauh lebih putih dari saya. Kami turut mengantri.
Harga tiketnya kalau tak salah ingat Rp35.000. Kalau mau sekaligus menaiki
mobil wisata di dalam lingkungan candi, tarifnya Rp75.000. Kami memilih yang
pertama. Alasannya karena ingin berjalan-jalan supaya bisa lebih leluasa menikmati
pemandangan sekaligus berfoto-foto. Satu lagi, sebab mengirit biaya untuk
ongkos pulang.
Kami
sudah memasuki kawasan Candi Prambanan yang begitu luas. Terlihat di ujung
sana, di hadapan kami beberapa candi megah, besar menjulang. Tetapi untuk
memasuki dalam Candi Prambanannya langsung, sebelum ke sana di depan pintu
masuk kami di berhentikan. Kami diminta mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah
saja untuk membayar kain batik warna putih bermotif candi. Saya kira kain itu
nantinya boleh dibawa pulang, ternyata hanya dipinjamkan saja. Sebab, di pintu
keluar pada arah lainnya kain itu diminta untuk diletakkan dalam sebuah wadah
seperti di pintu masuk tadi. Di dalam wadah itu, semua kain-kain terkumpul.
Saya tidak sempat menanyakan filosofi atau sekadar apa maksudnya mengenakan
kain tersebut ketika akan memasuki wilayah candi Prambanan.
Usai
berselfie-selfie ria, kami pun
memutuskan untuk segera ke tempat berikutnya yakni Malioboro, sekadar
berbelanja dan makan di sana. kalau saya selain itu karena ingin pernah dan
tahu saja seperti apa Malioboro. Ternyata tak lebih seperti pasar di tempat
saya, hanya saja di sana lebih rapi dan banyak pedagang barang-barang ciri khas
daerah Jogja. Seperti: Blankon, Batik, Keris, Baju-baju bertuliskan Jogja dls.
Kami pun menaiki Delman dan Becak.
Setelah
dari Malioboro, berbelanja oleh-oleh untuk orang rumah dan teman-teman, kami
sudah merasa lelah dan memutuskan untuk segera pulang. Salah seorang teman
menghubungi panitia yang mengantar kami tadi. Tak lama mobil Avanza hitam itu
datang di depan pintu masuk di luar kawasan candi, seperti kesepakatan
sebelumnya. Kami di antar ke stasiun atau terminal masing-masing. Saya sendiri
memilih pulang menumpang bus. Alasannya karena mau tahu saja apakah berbeda
tarif dengan tujuan yang sama: ke Cilegon. Dan satu lagi karena saya belum
pernah pula menaiki bus dalam perjalanan yang menempuh waktu berjam-jam.
Ternyata harga tiket tidak terlalu jauh perbedaannya. Bahkan lebih mahal naik
bus. Tekorlah saya!
Pulang
dari Jogja sekitar pukul 17.30. Kami berpisah dan berpamitan dengan teman-teman
lainnya di terminal.
Sepanjang
perjalanan pulang, saya tersenyum-senyum sendiri. Sambil sesekali memandangi
foto yang tadi sempat diambil dari kamera ponsel saya. Pertemuan singkat
tersebut meninggalkan kesan yang luar biasa hingga sekarang.
Dan
perjalanan ke Jogjakarta adalah perjalanan terjauh selama ini yang pernah saya
kunjungi seorang diri. Mudah-mudahan di hari-hari atau bulan-bulan atau
tahun-tahun berikutnya, saya bisa pergi lebih jauh lagi hingga ke luar negeri
dan menikmati sisi lain dari dunia yang selama ini saya tempati. Dan bisa lebih
mensyukuri lagi akan luasnya semesta yang telah Tuhan ciptakan.
Cilegon,
13 November 2014
1 komentar
tempat tujuan yang ngga pernah bosen untuk di datengin. Mari mensyukuri alam semesta :)
ReplyDelete