CONGK(L)AK
March 12, 2015
Udin merengek. Air mata dan ingusnya meleleh-menyatu. Suaranya sember tak
ketulungan. Kalau sudah begini, teman-temannya akan segera membubarkan diri.
Atau paling tidak, mereka akan masuk ke dalam rumah Santi. Tentu saja tanpa
mengajak Udin. Ya, setiap sore, mereka menghabiskan waktu di rumah Santi untuk
bermain Congklak. Alatnya sederhana. Hanya berupa papan seukuran kurang lebih setengah
meter. Biasanya papan itu terbuat dari kayu jati ataupun plastik. Namun yang
dimiliki Santi adalah yang disebutkan pertama. Pemberian dari almarhum bapak. Ada
beberapa lubang di bagian badan itu pada dua sisinya. Masing-masing terdiri
atas 7 lubang berukuran kecil dan termasuk di dalamnya 7 biji cangkang kerang.
Sementara di dua bagian paling ujungnya ada 1 lubang berukuran lebih besar.
Lubang itu dianggap lumbung atau tempat penyimpanan biji-bijian (bisa pula
berupa cangkang kerang, kelereng, atau batu-batu kecil) yang diperolah si
pemain.
Seperti tadi, Udin sedang beradu tangkas dengan Wawan. Namun siapa sangka,
gerakan tangan Wawan sangat cepat dan lihai. Dengan mudahnya ia melintasi
setiap lubang; mengisinya satu biji hingga habis lalu menyambung ke lubang
berikutnya. Dan biji yang ada dalam genggaman tangan besarnya tak kunjung kosong.
Sedangkan Udin, ia kalah strategi. Ia memulainya dari lubang ketiga sebelah
kanan. Kontan saja langkahnya terputus di dua putaran awal sebab ia kehabisan
biji-bijian. Semua lubang dibuat kosong seketika karena sudah dilalui Wawan,
dan lumbung miliknya terisi hingga menggunung.
Udin kesal. Kedua tangannya menopang papan congklak lalu membalikkannya.
Serupa perahu yang diombang-ambingkan ombak dahsyat. Jelas saja semua biji
dalam lumbung termuntahkan dan terserak berantakan. Santi juga sempat menangis,
tetapi ditahan. Ia memilih untuk meninggalkan Udin. Di dalam rumah, mereka
berbisik tetapi sepertinya sengaja volume suaranya agak dikeraskan. Katanya,
“Biarin aja Udin main sendirian di luar. Besok-besok jangan ajak dia lagi.”
Mendengar itu Udin semakin kejer meraung-raung. Ia berlari terbirit
menuju rumahnya. Mungkin akan melapor pada bapak dan ibunya. Atau bisa jadi
kepada abangnya yang baru pulang dari Jakarta setelah merantau lebih dari 5
tahun. Entahlah, rumah kami atau rumah para warga sudah biasa bila mendapati oncogan[1] dari Mang Sarmin,
bapaknya Udin. Ia pasti akan bersikukuh kalau anaknyalah yang benar. Selalu
benar dan benar-benar tak pernah bersalah.
Melihat pola-tingkah mereka, aku jadi teringat kejadian zaman dahulu
ketika usiaku sama dengan Santi. Kala itu usiaku terpaut satu tahun lebih muda
dari Roji. Ia kakak kelasku di sekolah. Meski masih duduk di bangku kelas 2 SD tetapi
usianya sudah menginjak 9 tahun. Konon, kata ibu ia tidak naik kelas. Karena
satu kampung, kami sering bermain bersama. Aku belum mengerti siapa lebih tua
dan siapa lebih muda. Kami berbaur saja bersama teman-teman lainnya. Di suatu
kesempatan, aku sedang bermain Dampu dengan teman-teman. Permainannya mudah,
hanya menaruh bebatuan sejenis granit di atas jemari kaki, kemudian
mengayunkannya ke depan hingga mengenai target—yang tak lain adalah batu yang
sudah disusun bertingkat. Tak lama setelah aku nyimbar[2],
Roji datang dengan muka sangarnya. Ia membawa batu granit berukuran lebih
besar dari yang kami miliki. Tanpa berkata, ‘ikut’ atau permisi, ia segera saja
mendahului teman-temanku yang lain. Jelas saja mereka semua tersungut-sungut,
meski tak berani melawan si Roji Buto (begitu sebutannya karena ia memiliki
perawakan yang tinggi besar dan berkulit hitam).
Daun-daun saling bergesekan. Satu persatu gugur dan jatuh di tempat kami
bermain. Teman-teman perempuan pun sedang asyik bermain Congklak di sudut paling
kanan. Tepatnya di bawah pohon Beringin. Sementara yang lainnya sedang bermain
petak umpet dan lompat karet. Di kampungku zaman dahulu, ketika hari libur
tiba, lapangan hijau yang biasa untuk bermain bola ini selalu ramai dengan
anak-anak dan permainannya masing-masing. Sayangnya di masa adikku sekarang,
semua itu perlahan mulai hilang. Anak-anak disibukkan dengan alat canggih. Yang
cara kerjanya hanya tinggal disentuh dan permainan pun berjalan. Sama sekali
tidak menguras keringat.
Ketika Roji melompat dan mengambil ancang-ancang, lantas saja kakinya
mengayun ke belakang. Kemudian melontarkan batu dampunya jauh sekali melampaui
target. Nahas, batu besar itu mendarat di Congklak para anak perempuan. Mereka
menjerit kaget. Beruntung tak ada yang terkena hantaman benda keras itu. Yang
tak habis pikir, Roji malah memaki mereka. Ia mengambil batu dampunya sambil
menghentak-hentakkan kakinya di atas Congklak itu. Kami tidak terima andai ia
melukai para perempuan yang jelas tak bersalah. Namun, sebelum kami berhasil mencegah
Roji, tiba-tiba saja bapaknya datang. Ia memang memiliki sawah yang jaraknya
tak jauh dari lapangan. Serupa dengan yang Udin lakukan sore ini, Roji merengek
sejadi-jadinya di hadapan bapaknya kala itu. Ia menyalahkan kami dan para anak
perempuan. Si tua berkumis daplang[3] itu mengiyakan
rengekan si anak.
“Sudah, makanya jangan main dengan mereka lagi. Nanti Bapak belikan
mainan yang lebih bagus yang tidak mereka punya.” Setelah ucapan yang menghunjam
ulu hati itu, keduanya berlalu seperti pejabat dan pengawalnya yang habis
berpidato perkara kenaikan sembako. Namun seperti anak-anak kebanyakan,
keesokannya Roji datang lagi kepada kami dan turut nimbrung bermain tanpa
merasa bersalah.
Sore ini aku sedang menghangatkan tubuh di bawah sinar mentari. Kenangan
itu berhasil mengusikku. Meski malu untuk kuakui, tetapi aku akan mengatakannya
bahwa air mataku tiba-tiba saja merembas. Entah tersebab apa. Mungkin aku
merindukan suasana masa kecil itu? Masa di mana aku bisa berlari kencang
mengalahkan anak-anak sekampung. Berjalan mengelilingi lapangan dan persawahan
tanpa mengenakan sandal. Atau mungkin adu tinju dengan teman-teman tanpa jelas
apa perkaranya. Di sela kesedihanku, Udin datang beserta pengawalnya. Dugaanku
benar, ia tak membawa bapaknya. Mungkin sudah terlalu tua untuk memarahi Santi.
Sekarang di hadapanku, ada dua orang yang memiliki watak tak jauh berbeda.
Keduanya pandai mengadu dan memutarbalikkan fakta seperti pembawa acara berita
ketika berlangsungnya pemilihan presiden tiba.
“Mana adikmu?” begitu kalimat yang pertama kali mencuat dari si Buto.
“Roji sahabatku. Kemarilah duduk di sampingku. Jangan tergesa-gesa
seperti itu. Istirahatlah. Atau coba kisahkan bagaimana serunya tinggal di
Jakarta?” aku memberikan senyum terbaikku untuknya. Aku melambaikan tangan
padanya.
“Sudahlah, Mad. Aku tak punya waktu banyak untuk itu. Segera panggilkan
adikmu,” jawabnya angkuh. Ia masih bersikukuh serupa bapaknya dahulu.
“Ada perlu apa, Ji? Mereka hanya anak-anak. Esok juga akan bermain lagi
serupa kita zaman kecil dulu.”
“Ahmad…, Ahmad. Jangan samakan antara aku dan kamu. Sekarang kita jauh
beda. Berjalan saja kau tak sanggup,” tawanya meremehkan. Seketika saja seperti
jutaan peluru menembus tulang-belulang di tubuhku. Ucapannya berhasil mengoyak
hatiku dan rasa sakit yang ditimbulkannya sepuluh kali lebih perih dibanding
saat kedua kakiku harus diamputasi karena terlindas kereta.
Aku menangis sejadi-jadinya. Selama ini, aku merindukan teman masa
kecilku. Menghabiskan waktu bersama dan bertukar tawa. Namun saat semua sudah
beranjak dewasa, tak ada satu pun yang peduli atau sekadar mampir untuk
menemaniku menyesap kopi di teras rumah. Roji yang kukenal sejak kecil, kupikir
sore ini akan sedikit lebih baik saat menyapaku. Namun ternyata tidak. Ia
beserta adiknya malah berteriak memanggil Santi seperti orang kerasukan. Papan
congklak yang masih tergeletak di teras, lantas saja menjadi pelampiasan amarah
mereka. Udin mengacak-acak biji-bijian tersebut dan melemparkannya sesuka hati,
sementara Roji yang sudah berusia 25 tahun itu menendang papan congklak ke
sembarang tempat. Andai aku mendekat, sepertinya ia pun akan melemparku dari
kursi roda ini dan kemudian merusakkannya.
Di antara kumandang azan magrib, aku merasa hancur-sehancur-hancurnya. Mulai
dari hati, pikiran, mental maupun fisik. Santi keluar dari dalam rumah setelah
memastikan dua orang itu telah pergi. Sementara teman-temannya membaur pulang menuju
dekapan induknya masing-masing. Kami berpesta air mata yang mungkin siapa pun
tak akan turut serta. Aku tak bisa banyak bicara kepada adikku ini. Satu hal lagi
yang harus kuakui. Aku tak bisa menjadi kakak yang baik untuk Santi di saat
kami kehilangan sosok ibu dan bapak. Aku berhutang banyak kepada mereka.
Andai saja saat itu aku tak memaksa bapak pulang dari pasar (tempatnya
berdagang sayuran), mungkin kami masih diberi kesempatan untuk berkumpul
bersama. Menaiki sepeda motor lagi bertiga, atau mungkin berempat dengan Santi.
Sayangnya semua itu tak akan mungkin terulang. Terlebih lagi, setelah tahu
bapak wafat dan kakiku harus diamputasi, ibu memilih meninggalkan kami di bulan
berikutnya. Tiada yang bisa aku lakukan untuk bertahan hidup selain membantu paman
membuat congklak dan menjualkannya. Meski zaman sekarang kurang banyak kanak-kanak
yang meminatinya. Ah, merindukan segala kenangan dan hal-hal di masa lalu memang
senantiasa menyakitkan.[]
Cilegon,
12 Maret 2015
*Cerpen ini dimuat di website Biem[dot]co >>> "Cerpen Ade Ubaidil-Congk(l)ak"
2 komentar
Ringan tapi asyik. Karakternya digarap lagi deh De. Jadi yang baca ga ngrasa aneh saat ada tokoh yang tiba-tiba nangis. Tantangan tersendiri menulis cerita dari sudut pandang anak-anak kecil. Jadi inget novelnya Harper Lee: To kill a mocking bird. naratornya anak kecil perempuan dan cerita di novel itu di diceritakan juga dari sudut pandang anak kecil. Udah baca?
ReplyDeletesebenernya ini gak full sudut pandang anak-anak, kak. coba baca lagi, kan cerita si aku itu. Anw, aku belum baca nopelnya :v heheh.... makasih untuk masukan dan sarannya^^
Delete