Sepeda Keranjang dan Pohon Kersen (Majalah FEMINA edisi 14, 04-10 April 2015)
April 13, 2015
Kakiku mulai lelah melangkah. Hampir setengah jam aku melalui jalan
setapak ini. Namun sepertinya tujuanku belum segera menemui titik temu.
Kampung Cibeber. Di tanah inilah aku dilahirkan. Tiga tahun adalah waktu
yang lama bagiku. Setidaknya ceruk kerinduan di hati ini kian terisi penuh
ibarat air di dalam gelas yang terus mengalir. Luber. Meluap ke segala arah.
Aku tak mau terus-menerus menyiksa diri.
Seturunnya aku dari kendaraan umum angkutan kota di persimpangan tadi,
pemandangan yang disuguhkan masih sama seperti saat aku merelakan diri untuk
meninggalkan kampung halaman ini. Aroma asri nan perawan masih bisa kuhirup
hingga ke rongga dada. Bahkan sengaja aku menolak tawaran tukang ojek di
pangkalan depan gapura masuk tadi, hanya untuk menapak tilas kenanganku dengan
berjalan kaki. Kampung ini sulit untuk dilupakan.
Sawah-sawah luas terbentang di kanan-kiri bahu jalan. Lenggok padi lincah
bergurau dengan angin. Burung-burung fasih bersenandung menyambut wajah penuh
keramahan warga kampung. Aliran sungai yang deras membentur bebatuan.
O, janjiku pada Abah sudah terpatri di relung hatiku terdalam. Aku
mendeklarasikan bahwa sekalipun aku berangkat ke Kota, namun jiwa, raga dan
pikiranku tetap akan hidup dalam dekapan kampung halaman. Dan sekarang segera
akan terbukti. Selama tiga tahun mengais ilmu di perkotaan, rindu itu akan lekas
terbayar. Ingin rasanya segera menjabat telapak tangan Abah yang sejuk akibat
kebiasaannya menjaga wudhu. Serta menyatu dalam tubuh Emak yang hangat penuh
kasih sayang.
Sengaja kepulanganku ini tanpa terlebih dahulu mewartakan pada orang
rumah. Aku ingin memberikan mereka kejutan dengan pakaian kebanggaan yang masih
melekat di tubuhku ini. Inilah hasilku selama hidup di Kota. Bergumul dengan ilmu
pengetahuan yang sekarang hasilnya berada dalam genggamanku berupa secarik
kertas. Aku tetap melangkah yakin sambil sesekali menyembulkan senyuman saat
orang-orang menyapa penuh ramah. Meski tak sedikit yang menumbukkan pandangan
sinisnya ke wajahku. Terserahlah. Inilah aku dan cita-cita masa kecilku yang
tercapai.
Mengingat masa kecil, kedua bola mataku kini terhenti pada sebuah pohon
Kersen— atau yang memiliki nama ilmiah Muntingia Calabura L—yang berada di sekitar
lapangan bola. Pohon berusia lebih tua 8 tahun dariku itu seolah menarik benakku pada
masa lalu. Masa di mana aku dan Abah menghabiskan waktu seharian di bawah
naungannya. Di kampungku zaman dulu, anak-anak seusiaku memanggilnya buah Seri.
Bila matang buah kecil ini akan berwarna merah cerah serta memberikan rasa
manis yang sulit aku lupakan saat pecah di lidah.
“Abah, aku tak sampai meraihnya,” rengekku saat berusia tujuh tahun. Kaki
kecilku melompat-lompat berusaha menggapai tangkai yang tingginya dua kali dari
tubuhku.
“Kemari, biar Abah ambilkan, Rahayu.”
“Tidak mau, Abah. Aku mau mengambilnya sendiri.” Wajah senja Abah selalu
tampak teduh menghadapi tingkah anak semata wayangnya ini.
“Kalau begitu sini Abah gendong,” ucap Abah sambil membungkukkan
punggungnya yang padahal sudah tidak tegak lagi. Aku tetap bersikeras ingin
mengumpulkan buah manis ini dengan tanganku sendiri. Tanpa berpikir panjang,
kakiku segera melangkah di antara leher Abah. Orang-orang memang biasa
menyebutku perempuan tomboy. Jadi tak heran saat sore itu aku mengenakan topi
berwarna merah, kaos bergambar tengkorak dan celana pendek. Serta ciri khas
wajah kecilku adalah potongan rambut yang selalu cepak. Lebih mirip dengan anak
laki-laki kebanyakan.
Abah tetaplah pria tua yang penyabar. Dia pun selalu menuruti permintaanku.
Seperti sehari sebelumnya saat aku bermain
di pohon Seri itu, aku cemburu dengan teman-temanku saat mereka memiliki sepeda
baru untuk ke sekolah.
Sepulang dari
sekolah, rengekanku tak henti-henti sampai larut malam. Sebelum aku mendengar
kata ‘ya’, atau anggukan dari Abah, biasanya aku tak mau makan dan akan terus
menangis. Emak hanya geleng-geleng dan selalu mencoba menenangkanku, tetapi
mungkin beginilah diriku. Selalu melawan dan memaksa kemampuan mereka. Padahal
aku tahu, abah hanya seorang guru ngaji dan emak seorang pedagang pisang
goreng. Hasil dari pekerjaan mereka tak menentu.
Keesokannya
rengekanku mereda. Abah mengajak aku ke sebuah pasar loak—aku tahu setelah
usiaku kian remaja. Tak masalah ke mana pun abah mengajakku. Satu hal yang
pasti, di hari libur itu abah membelikan sepeda berwarna merah muda dengan
keranjang di bagian depannya. Aku melonjak kegirangan, sepeda itu persis
seperti yang teman-temanku miliki.
Aku menaiki
sepeda itu, sementara abah mendorongnya sambil menjaga keseimbanganku dari
belakang. Maklum, aku belum bisa mengayuhnya sendiri. Tetapi saat itu ada
sebuah pertanyaan yang mengganjal. setiap pagi, aku biasanya melihat abah
mencuci dan mengelap sepeda ontelnya di depan halaman rumah. Namun tidak pada
hari itu.
“Abah sepeda Ontel
Abah mana?” tanyaku
penasaran. Abah hanya tersenyum menjawabi pertanyaanku. Abah menghela napasnya
sesaat kemudian memberikan sebuah jawaban yang mampu mengusir rasa penasaranku.
“Abah titipkan
di rumah Pak Lurah, mungkin satu bulan atau dua bulan lagi Abah ambil.” Aku manggut
saja mendapati jawaban abah saat itu. Setelah dewasa aku baru menyadarinya,
ternyata abah menggadaikan sepeda kesayangannya demi untuk menuruti
permintaanku—dan sampai aku meninggalkan kampung, seingatku abah belum
menebusnya.
Teh Jujun juga
sering bercerita saat aku bermain dengan anaknya, Indah—yang juga sahabatku.
Konon, abah begitu menyayangiku sebab kelahiranku sungguh sangat dinantikannya.
Abah dan Emak menikah sudah hampir sepuluh tahun katanya. Saat Abah menikahi Emak,
usianya hampir empat puluh, berjarak dua belas tahun dengan Emak. Aku yang
masih kecil hanya menyimak ucapan Teh Jujun. Jadi saat ‘Mak Lastri—nama Emakku—
hamil, Abah begitu gembira dan benar-benar menunggu kelahiranku di dunia. Dan
sampai sebesar ini, aku terlahir di antara senyum dan tawa mereka.
Aku masih
semringah sepulang dari pasar pagi menjelang siang itu. Ingin rasanya segera
memamerkan sepeda baruku—padahal kini aku sadar rupanya sepeda itu bekas namun
memang tampak seperti baru. Tetapi saat melewati pohon seri kesukaanku, aku
memilih untuk berhenti sejenak.
“Abah, kita ke
gubuk itu dulu. Aku mau makan Seri,” pintaku manja. Dan kemudian aku larut
hingga sore menjelang. Keranjang sepeda baruku terisi seperempatnya dengan buah
Seri yang aku dan abah kumpulkan. Begitu banyak. Kejadian itu terus berulang
hingga hari- hari berikutnya. Sampai aku beranjak remaja dan menemukan sesuatu
hal yang baru. Kenangan masa kecilku dengan abah saat itulah yang tak bisa
dilupakan.
Aku mulai
beranjak dari gubuk dan pohon seri yang sekarang kutemukan menua ini. Daunnya
kering dan tak menjadi minat anak-anak kecil di kampungku lagi. Kulihat saat di
pertigaan tadi, anak-anak mulai disibukkan dengan permainan di rental komputer
yang ada di salah satu rumah warga. Memang ada baiknya mereka mengenal perkembangan
zaman, tetapi miris apabila mereka tak dikenalkan dengan permainan tradisional
serta melewati masa kecilnya hanya dengan duduk-duduk menatap layar monitor.
Sepanjang aku memandang pesawahan serta sungai di hadapanku pun, tak terlalu
banyak anak-anak yang mengisi harinya di sana. Bersatu dengan alam atau sekadar
berbincang dengan semesta. Ah, padahal itu hal yang mengasyikkan bagiku dan
teman-teman sebayaku saat kecil dahulu.
Matahari baru
saja tumbang. Kakiku segera bergegas melangkah pulang. Lagi pula, bila terlalu
malam, jalanan di kampung ini belum rata di singgahi lampu nan terang.
Seseorang sedang
mengayuh sepeda. Dia berhenti tak jauh dari jarakku berdiri. Aku pun terhenti saat suara
seraknya memanggil namaku, “Rahayu....” Dia menyandarkan sepeda—yang keranjang
di depannya terisi sesuatu—pada sebuah tiang. Lamat-lamat mataku berusaha
menduganya. Temaram sorot rembulan membuat padanganku sedikit remang.
Kupandangi cara dia berjalan. Wajahnya semakin mendekat. Tahi lalat di sebelah
hidungnya serupa dengan orang yang sangat aku kenali. Rambut putihnya yang
ditutupi kain kerudung menyembul sedikit di bagian depan menghalangi dahinya
yang keriput. Kini dia tersenyum dan aku melihat binar di matanya yang sayu.
Aku tahu dia.
“Emaaakkk!” Aku
berlari kecil menghampirinya. Kudekap tubuhnya yang ringkih. Aku begitu yakin
dialah orang yang dua puluh dua tahun lalu telah melahirkanku, merawatku serta
membesarkanku.
“Kau, Rahayu?”
“Enggih, Emak. Kule Rahayu, pecil Emak[1],”
balasku sigap menggunakan bahasa bebasan—bahasa
Jawa
halus Banten. Tak terasa air bening mengalir dari ekor mataku.
“Gusti Pengeran![2]”
Celotehnya tak menyangka. Matanya terbelalak memandangi sekujur tubuhku, “Emak boten nyangke Rahayu. Ayu pisan pecil wadon
Emak seniki.[3]”
“Cantik seperti
Emak, kan?” candaku. Emak turut terkekeh.
“Tapi, apa yang
kau kenakan, Rahayu?” Emak tampak bingung menerka apa yang melekat di tubuhku.
“Ini Toga, Mak.
Toga! Anakmu ini sudah jadi Sarjana. Aku lulus dengan nilai terbaik di kampus.
Lihat ini!” kubuka tali yang melingkar di secarik kertas nilaiku. Aku tunjukkan
kepadanya bahwa aku lulus menyandang predikat Cum Laude. (Sengaja aku tidak meminta orangtuaku menghadiri acara
yang sakral itu. Tersebab satu dan lain hal). Ada bulir haru di wajah emak yang
keriput. Air matanya menguar. Suaranya kian parau.
“Emak bangga
sama kamu, Nong[4].”
Kedua tangannya yang gemetar melingkar lembut di tubuhku. Kehangatannya
menjalar ke seluruh tubuhku yang disekap lama oleh kerinduan.
“Hmm..., Emak
dari mana?”
“Ini baru pulang
jualan pisang goreng.” Air mukanya memancarkan ketulusan. Sudah hampir tiga
tahun aku tinggalkan, Emak masih saja mencari uang. Aku yang kuliah sambil
bekerja, gajinya tak cukup untuk mengirim setiap bulan kepada emak dan abah.
Hanya bisa menutupi biaya kuliahku dan hidupku di sana.
“Padahal aku mau
ngasih kejutan ke Emak sama Abah. Eh, malah aku yang terkejut duluan ketemu
emak di jalan ini,” ucapku berusaha menahan kesedihan. Aku tak mau terlalu
larut dalam kepiluan. Emak hanya tersenyum menanggapiku.
“Eh, sepeda
zaman aku kecil masih terlihat bagus saja, Mak. Pasti Abah rajin sekali
merawatnya.” Ada rasa yang tiba-tiba timbul lagi. Emak kembali tersenyum. Kali
ini kulihat ada jeda di sana. Senyum emak berubah terlihat getir.
Aku menghampiri
sepedaku itu. Aku hanya membawa dan mendorongnya berjalan bersama emak yang
terlihat kelelahan.
“Hmm.... Abah
lagi apa, ya, Mak?”
Kepalanya
merunduk dalam. Aku tak segera menangkap maksud tingkah emak. Kukira emak tak
mendengar tanyaku. Jadi sengaja aku ulangi melontarkan kalimat itu, “Abah lagi
apa, ya, Mak?”
“Abahmu....” Emak
menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Aku menantikan
lanjutan suaranya tetapi tak segera aku dapatkan. Di perlintasan gang, beberapa
lagi sampai di depan rumah, seseorang menyahutiku.
“Rahayu!”
“Indah?!” Kupastikan
dugaanku beberapa detik, kemudian memeluknya erat. Sahabat kecilku itu begitu
tampak elok. Dia memuji keberhasilanku saat melihat pakaian Toga yang menyangga
di tubuhku.
“Hebat kau,
Rahayu! Bahkan aku tak melihat lagi sifat tomboymu. Kau terlihat begitu feminin.
Cantik. Abahmu pasti bangga kalau melihat keberhasilan anaknya.”
“Ya, Indah. Aku
tak sabar ingin bertemu Abah. Sengaja aku tak mengabarinya lewat surat. Aku
ingin membuat kejutan untuk Abah.”
Indah tercenung.
Ekor matanya beralih ke wajah emak. Aku celingukan apa yang sedang mereka
maksudkan.
“Abah ada di
rumah, kan, Mak?” kembali aku memastikan. Ada perasaan yang tak enak di dalam
rongga hatiku ini.
“Emak belum
cerita, Rahayu?” kedua tangan indah mendekap bahuku. Suaranya terdengar berat.
“Tentang apa?”
“Abahmu dua hari
yang lalu—”
“Kenapa Abah,
Mak?” aku tak kuasa mendengar ucapan emak yang terputus-putus. Aku butuh
jawaban yang pasti. Ada apa ini?
“Abah sudah tiada,
Rahayu.”
Deg.
Napasku tertahan
seketika. Jantungku berdegup kian kencang. Darah yang mendesir seolah
mengerumun di ubun-ubun. Seketika aku mematung. Tak kuasa memercayai itu.
Kusingsat baju
Toga yang menghalangi langkahku. Aku berlari sekuat tenaga menuju ke dalam
rumah. Aku menuju satu ruang kamar tempat biasa abah beristirahat. Tak
kutemukan wajah teduh abah. Aku bersimpuh di dalam kamar. Emak dan Indah
menyusulku. Memelukku erat dari belakang.
Dalam hati aku
menyesal sebab merahasiakan perihal kelulusanku kepada emak dan abah. Abah
lebih dahulu memberikan kejutan kepadaku. Aku kalah abah. Aku kalah! Kejutan
yang selama ini aku susun, seketika sia-sia. Aku ingin membahagiakan abah. Aku
ingin menebus sepeda ontel abah. Tapi abah lebih dahulu pergi dariku. Tak ada
lagi telapak tangan abah yang akan aku cium. Telapak tangan yang sejuk akibat
kebiasaan abah menjaga wudhunya.
Gayung tak
bersambut. Rinduku tak terbayarkan, Abah. Padahal aku ingin sekali lagi saja,
memetik buah Seri di temani Abah. Mengendarai sepeda kita masing-masing Abah. Namun
semuanya terasa percuma sekarang. Aku sakit menahan rindu ini, Abah.[]
Cilegon, 10 September
2014
11 komentar
Semakin bernas tulisan Ade. Semangat!
ReplyDeleteAlhamdulillah, terima kasih apresiasinya, abang. Berkat suntikan motivasi dan dukungan dari abang pula ade bisa terus berkarya :)
DeleteKisah bagus itu yang berhasil mengaduk perasaan. Dan, hal itu berhasil Ade buktikan. Ade berhasil menunjukkan karakter tulisannya. I proud of you!
ReplyDeleteI proud of you too, Bang. Mudah-mudahan ini baru langkah awal abang, mohon doa dan dukungannya selalu. terima kasih bang dedi :) *bighug*
Deleteaduh komen apa yah??? udah masuk femina mah udah bagus lah. gak usah di komen lagi. hehe .Smangat Bro!!!
ReplyDeletewih, selalu ada kritikan bro. sekaliber penulis kompas aja selalu dihujani kritikan, apalagi ane yg masih pemula. selama itu kritik yg membangun ane bakalan seneng banget bro :D thx udah baca!
DeleteJadi ini toh, cerpennya :D
ReplyDeleteHmm... Nice. Saya patut memuji keberhasilan Ade dalam membangun memori indah suasana kampung dan masa kecil Rahayu. Ini yang membuat ending cerpen terasa cukup menyentuh.
Terima kasih atas apresiasinya kawan :-)
Deletesaya paling suka bagian ini: Kusingsat baju Toga yang menghalangi langkahku.
ReplyDeletejarang banget penulis yang pake diksi "singsat" itu. jadi terasa keren ternyata kalo dipake. :D
hahaha, makasih teh, tapi di majalahnya nggak dimuat. diedit tanpa sepengetahuan ade. Padahal ada alasan tersendiri: Pertama: ingin membuat kelokalan dan ke-khasan dalam narasi. Kedua: memperkenalkan bahasa yg dianggap tidak baku, padahal baku karena ada di KBBI :D
DeleteMungkin karena editornya belum pernah denger diksi itu. :D
Delete