[CERPEN] JEJALON IBU (Republika, 12 Juni 2016)
June 15, 2016Cerpen, "Jejalon Ibu" dimuat Koran Republika, (12/06/16) |
Itu irisannya yang kesepuluh setelah aku mulai
mengajaknya bicara, tetapi belum juga ada tanggapan. Kembali aku menghitung
sampai ke angka duapuluh tiga, dan Ibu masih diam. Seperempat lagi menjelang
irisan ke duapuluh empat jari telunjuk kiri Ibu berdarah. Aku menahan untuk
tidak merengek lagi. Air muka ibu pias, dan menatapku dengan pandangan menuduh.
Ada apa? Bukankah pisau itu Ibu yang pegang?
Ibu masih saja bungkam. Belum mau menanggapi
kecemasanku. Ia berdiri dan menggamit kain mori di atas meja. Tidak seperti
biasanya, untuk hal-hal sepele dan tanggung ditinggali, ibu selalu meminta
bantuanku, namun tidak kali ini. Kenapa ibu tampak marah padaku? Bukankah ini
hal biasa?
“Kata Pak Ishaq, besok hari terakhir melunasi
tunggakannya, Bu.” Dengan hati-hati akhirnya mulutku bicara lagi. Kali ini
dengan suara yang teramat rendah dan hampir tidak terdengar.
Ibu berhenti mengiris-iris singkong rebusnya, entah
diirisan ke berapa, aku sudah tak memedulikannya lagi.
“Selagi cuaca masih terik, jemurkan ini di atas
genting kandang ayam itu.” Seolah tak mendengar keluhanku, Ibu menyodorkan tetampah yang di atasnya sudah terisi
banyak irisan-irisan singkong yang dipotong-potong secara vertikal; bentuknya
memanjang seruas jari tengah, tidak beraturan dan tipis-tipis—tampaknya ibu
lebih senang memotong dengan bentuk begitu tinimbang
melingkar pada umumnya. Di salah satu sudut tetampah
masih ada kain mori bekas mengelap luka ibu. Cukup banyak jejak bercak darah
yang merembas, apa jemarinya baik-baik saja?
Aku agak kesulitan ketika harus menaruh tetampah yang berbentuk bundar sekitar
satu meter ini di atas kandang ayam. Di tambah aku masih mengenakan rok rampel
abu-abu yang panjangnya semata kaki. Merepotkan sekali! Juga tinggi kandang
ayam piaraan bapak ini lebih dari dua meter melewati tinggiku yang hanya 140
sentimeter.
Aku mencari pijakan. Di sebelah kaki kandang aku
menemukan dingklik—kursi kayu kecil
buah tangan bapak. Lekas saja kugeser dengan kaki kananku.
Hap!
Sedikit perlahan melemparnya agak ke tengah genting,
wadah berisi irisan singkong itu sudah bertengger di atasnya. Sekarang matahari
yang bertugas mengeringkannya. Aku berjalan melewati pohon singkong yang
ditanam bapak—dari sana muasal ibu berdagang jejalon—, lalu kembali ke dalam, mengharap anggukan dari Ibu lekas
kudapat.
“Sudah kamu jemur Jejalonnya?”
ibu benar-benar tak memberi waktu aku bernapas, atau minimal menanyakan lagi
hal yang tadi masih ia gantung. Aku mengangguk malas dan kembali mengambil
posisi di sebelah ibu.
Bukan karena ini bulan Ramadhan Ibu menjelma pedagang.
Akan tetapi kesehariannya memang menjadi penjaja jejalon—sebutan untuk keripik singkong yang sudah kujelaskan tadi.
Ia memutar badan dan tak sedikit pun ia mau memalingkan wajahnya ke arahku. Aku
makin kesal dibuatnya. Kalau terus-terusan begini, dan ibu tak lekas memberiku
uang iuran sekolah, bisa-bisa besok aku tak akan boleh masuk kelas dan
mengikuti Ujian Akhir Nasional.
“Ibu...,” aku menahan ucapanku. Tepat ketika jemarinya
mengusap keringat di dahinya yang mulai keriput. Tunggu..., ibu menangis? Aku
mendengar sesenggukan dari balik punggungnya dan memastikan kalau ia
benar-benar mengelap sesuatu dari matanya. Atau mungkin ia mengeluarkan airmata
sebab ibu masih serius menggoreng jejalon—yang
sudah kering sisa kemarin—dan asap yang keluar dari tungku memedihkan matanya?
Aku juga merasakannya, tetapi tak sampai mengundang airmata. Aku melihat ibu
berkali-kali mengelap sesuatu dari wajahnya, kali ini ia menggunakan lengan
baju yang dikenakannya.
“Ibu kenapa?”
“Kamu sudah makan belum?” ia masih masyuk membalikkan jejalon di atas wajan dengan kodek di tangan kanannya. Belum aku
jawab, ia melanjutkan, “ada dadar di meja. Makan dulu sana, usai itu bantu Ibu
membungkusi keripik singkongnya.” Ibu bertanya begitu sebab tahu betul kalau
hari ini aku sedang haid. Sungguh ibu membuatku terenyuh, harusnya aku
menghormati ia yang sedang berpuasa, bukan sebaliknya.
Kali ini kekhawatiran yang menjalar di dadaku terasa
berbeda. Apa aku melukai perasaannya? Maaf
Ibu. Aku melangkah menuju kamar, gegas berganti pakaian dan melupakan
sejenak apa yang membuatku resah sejak pelajaran sekolah berakhir.
***
Semua bermula ketika bapak sedang berada di sawah.
Bukan sawah miliknya, ia hanya buruh tani di lahan milik pak Lurah. Saat itu
aku masih kelas 3 SMP. Sepulang sekolah, bersama ibu aku bermaksud mengunjungi Bapak—untuk
menunjukkan sesuatu padanya. Tentu dengan membawa rantang berisi makanan untuk
kami makan bersama.
Aku merajuk pada ibu agar aku saja yang membawa sepeda
ontel bapak, tetapi tak digubrisnya. Dengan wajah ditekuk, aku menuruti ibu dan
membonceng di kursi belakang. Namun ibu paling bisa membuat aku kembali
tersenyum. Seperti saat siang menjelang sore itu, ia mengkelok-kelokkan sepeda
padahal jelas-jelas jalanan berkerikil di depannya lurus saja. Tubuhku
berguncang-guncang. Lalu ibu mengundang tawa dan tentu saja aku berbaur
dengannya.
Sepanjang jalan setapak yang kami lewati, anak-anak
riuh bermain air, memecah deras sungai dengan terwengkal—lempengan genting-genting—yang dilempari, sambil
berlomba dan adu ketangkasan, siapa yang bisa membuat terwengkal itu melompat lebih dari tiga kali di atas permukaan air,
dialah pemenangnya. Mereka bertelanjang dada; sebagian lainnya tanpa memakai
busana. Pernah suatu waktu, sekira usia delapan tahun, aku melakukan hal yang
sama. Tetapi ibu menjemputku dan meminta aku segera memakai kembali pakaianku.
Karena saat itu aku mandi bersama dengan teman laki-laki di kampung. Dulu aku
tak mengerti kenapa ibu harus membeda-bedakan seperti itu, tetapi aku paham
setelah usiaku kian bertambah.
Di sebuah gubuk, bapak sedang duduk dan
mengipas-kipaskan caping ke wajahnya. Keringat bercucuran di keningnya yang
hitam. Ibu memelankan kayuhan sepedanya dan aku melompat sebelum sepeda
berhenti sempurna.
“Hati-hati, Ganis!” ibu berteriak tetapi aku tak acuh.
Kaki-kaki kecilku membawa ke pelukan bapak. “Awas tumpah rantangnya!”
Aku tertawa-tawa lepas bersama
bapak, sedang ibu bersungut-sungut sembari mempercepat laju kakinya dengan
menyingsat kain sarungnya. Dan barangkali, itu menjadi tawa terakhir bapak yang
kami dengar bersama.
***
Tepat pada suapan terakhir seekor
burung gagak bertengger di atap gubuk. Ia berkoak-koak entah membawa kabar apa.
Yang jelas, setelah itu, dari kejauhan banyak orang-orang berlarian ke arah kami.
Angin kencang berembus bermain-main dengan rambutku. Ibu dan bapak bertukar
tatap, tampak sepasang mata dari masing-masing mereka melempar tanya.
“Kang Badruuun! Kang Badruuun!” Bapak
menautkan kedua alisnya. Barangkali kekhawatiran bercampur kebingungan
menerjang perasaannya. Terlebih sekitar delapan orang saling dan terus-menerus berteriak.
Entah apa yang dari jauh diucapkannya, hanya terdengar seperti dengung para lebah.
“Ada apa?”
“Rumahmu, Kang, rumahmu...,” Mang
Ripin tergeragap. Apa yang hendak disampaikannya?
“Geni, Kang. Anu...,” Bi Ranah mengambil alih. “Umahe keobongan. Gede murab-murab. Gage balik, Kang, Bu Ros!”[1]
“Allaaaaah!” aku tersengat
mendengarnya. Ibu begitu syok. Matanya terbelalak dan bibirnya tampak kelu.
Bapak gegas berlari disusul warga lainnya. Para buruh tani tak mau ketinggalan,
dengan ember di tangan, mereka mengekor. Juga diikuti anak-anak yang bermain di
sungai tadi. Bi Ranah memeluk ibu. Aku tak buang kesempatan, lekas mengayuh
sepeda ontel bapak, sekalipun kesulitan dan pantatku tak sampai duduk ke joknya.
***
Langkah bapak bersama warga cepat
sekali. Bahkan dengan menggunakan sepeda aku tak bisa mengejarnya. Apalagi
setiap belokan aku harus turun dan memutar-menggeser roda belakangnya.
Mengarahkan agar lurus dengan gang kecil yang hendak kulewati.
Setibanya di sana, mataku hanya
dapat menjangkau orang-orang yang berkerumun. Mereka riuh berlarian membawa
ember, bak, baskom, segala wadah yang bisa menampung air dari sungai di samping
rumah.
“Ganis, mana Ibumu?”
“Masih di sawah dengan Bi Ranah,
Mang,” kepalaku masih kuputar berkeliling, tak menatap Mang Ripin, pamanku.
“Bapakku mana, Mang?”
“Ke dalam.”
“Ke dalam?”
“Iya, sudah kami cegah tapi masih
terus saja berlari. Kami khawatir. Ia sudah lama di sana dan belum juga kembali.”
“Bapaaakkk!!!”
Tak banyak yang bisa kulakukan.
Api melahap sebagian besar sisi depan rumah kami. sulit melihat ke dalam, sebab
asap hitam membumbung pekat. Kulihat langit tampak mendung, entah mendung
sebenarnya atau efek dari kobaran api. Aku hanya bisa berzikir dan memohon
pertolongan Allah.
Lalu tak lama bapak keluar dengan
membawa seragam sekolah juga buku-buku pelajaran milikku. Untuk apa, Pak?
Belum berhasil kudekap, bapak
limbung dan ambruk. Paru-parunya kehabisan oksigen. Dan luka bakar menjalar di
beberapa bagian tubuhnya.
***
“Semua gara-gara, Ibu.”
“Sudahlah, Bu. Ikhlaskan saja.”
Aku berusaha kuat di depan ibu. Usai menyalakan lilin, aku mulai memasukkan
keripik-keripik singkong ke dalam plastik putih ukuran perempatan itu. Untuk membungkusnya, aku melipat ujung plastik dan
mendekatkannya ke sisi api pada lilin, lalu merekatkan masing-masing sisi
plastik dengan ibu jari dan telunjuk, sebelum ia benar-benar mengering. “Andai
Ibu ingat memadamkan api di tungku saat itu,” kami memang sangat gembira hingga
lupa mengecek apakah api sehabis memasak air sudah dimatikan atau belum. Ibu
teramat bangga dengan hasil ujian sekolahku, dan ia ingin lekas menunjukkannya
pada Bapak—bahwa anaknya cerdas, juara pertama sejak di kelas satu. Namun, ini
juga keteledoranku, harusnya aku juga membantunya mengecek sesuatu sebelum
pergi meninggalkan rumah.
“Harusnya Bapak bersama kita,
Nis.” Tangis ibu pecah tak terbendung. Ia mendekapku erat sekali. Sungguh aku
tak bisa menahan semuanya lebih lama lagi. Ibu terus-menerus sesenggukan.
Airmatanya adalah kesalahanku. Seharusnya aku sudah tidak meminta uang iuran
lagi pada ibu; dan sekolah selalu mengingatkan ibu pada Bapak, membangkitkan
memori lamanya. Betapa bapak bangga sekali anaknya bisa bersekolah. Hingga
dalam pikirannya, dalam keadaan segenting apa pun, ia tetap memikirkan itu,
menyelamatkan buku-buku dan seragam sekolahku, di banding nyawanya. Setelah kepergian
bapak, biaya sekolahku sepenuhnya ditanggung dari hasil jualan jejalon yang dibuat ibu. Pulang sekolah
selalu aku berkeliling menawarkannya ke rumah-rumah warga.
Tepat saat azan magrib
berkumandang, tiba waktunya berbuka puasa, Ibu berbisik padaku, katanya, besok
ia akan menjual ayam-ayam juga sepeda ontel milik mendiang Bapak untuk melunasi
tunggakan iuran sekolahku.[]
Cilegon, 08 Juni 2016/
03 Ramadhan 1437 H.
4 komentar
miris....bikin gerimis...
ReplyDelete#kereeen Brader!
Hehehe, nuhun abang Dedi =D
DeleteBikin ngilu
ReplyDeletengilu-ngilu enak =D *eh
Delete