[ESAI] ANDAI SEMUA PEJABAT MENULIS (Biem.co, 20 Desember 2015)
September 10, 2016(Ilustrasi: Lukisan karya Ivan Kulikov via commons.wikimedia.org) |
Menulis adalah sebuah aktivitas yang memerlukan kecakapan berpikir dalam menilai suatu hal. Maka kegiatan menulis tidak bisa semena-mena dianggap hal yang sepele dan kurang penting. Karena untuk membiasakan menulis yang baik, diperlukan pula meningkatkan kegemaran membaca berbagai medium; baik kitab suci, buku, film, dan media digital. Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, dalam wawancaranya dengan okezone.com (27/8), mengatakan bahwa ia tengah menggalakkan program membaca buku selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Tujuannya agar para siswa terbiasa membaca dan mendorong imajinasinya untuk menulis. Ini adalah langkah awal yang baik. Memang mesti dibimbing sejak usia dini. Tentu program semacam ini patut diapresiasi dan terus dikawal agar kontinu-berkesinambungan dan tidak berhenti di tengah jalan—setidaknya selama beliau masih menjabat. Apalagi bila berbanding lurus dengan tenaga pengajar yang manguasai bidang tulis-menulis dan telah menelurkan karya berupa buku.
PEJABAT SEBAGAI WAKIL RAKYAT
Dalam sebuah kesempatan, saya sempat menyinggung topik tersebut ketika berjumpa dengan salah seorang DPRD Cilegon Komisi III, Babay Suhemi, di Rumah Dunia, Serang. Beliau bersetuju dengan gagasan yang saya sampaikan, bahkan beliau juga tak ragu untuk meminta pengarahan atau setidaknya sharing dan brainstorming ketika melakukan kegiatan menulis nantinya. Karena menyampaikan opini, pendapat atau gagasan tidak melulu dengan berbicara yang penuh emosi—dalam sebuah rapat, misal—apalagi bila tak berisi, hanya pepesan kosong belaka. Menurut penyair sufi kelahiran Balkh (sekarang Afganistan), Jalaluddin Rumi, yang seharusnya dilakukan adalah; Tingkatkanlah kualitas kata-katamu, bukan meningkatkan nada suaramu. Adalah air hujan yang mampu membuat bunga-bunga tumbuh bermekaran, bukan keras dan dahsyatnya suara petir & halilintar. Seseorang dinilai ‘berisi’ atau tinggi tidaknya tingkat intelegensianya, selain public speaking, ialah dari kelihaiannya dalam menuangkan gagasannya melalui tulisan.
Aktivitas menulis juga bagian atau cara lain dari menyuarakan gagasan dan ide-ide yang bisa disampaikan—sebagai alternatif—kepada masyarakat. Terlebih, dewasa ini, sudah cukup banyak media cetak maupun elektronik yang kian menjamur di negara ini. Kolom gagasan yang disediakan koran-koran lokal maupun nasional—bahkan kini sudah ada media online—untuk warga sipil adalah sebuah peluang yang tidak boleh disia-siakan. Itu pun kalau pejabat tersebut belum sanggup merampungkan gagasannya dalam sebuah buku. Tetapi yang dikhawatirkan, alih-alih memanfaatkan media tersebut, kita malah terjebak dengan stigma bahwa masyarakat modern lebih memilih media digital tinimbang media cetak. Baiknya alasan macam itu jauhkan dulu dalam cara berpikir kita. Apa pun medianya, menulis dan membaca harus terus digalakkan dan dibudayakan.
Kendati demikian, kegiatan menulis (dalam tulisan ini) sebenarnya yang berusaha ditekankan bukan hanya pada kalangan pejabat saja. Penyebutan ‘Pejabat’ dalam hal ini hanya sebagai wakil dari berbagai kalangan atau lapisan masyarakat. Sebab, sebagaimana kita ketahui, pejabat adalah penyambung lidah rakyat. Segala keluh-kesah dan keresahan yang dirasakan masyarakat sudah seharusnya ditampung oleh para pejabat yang menjadi bagian dari wakil rakyat itu sendiri, untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah tertinggi. Sudah semestinya pulalah menghilangkan sekat antara warga dan pejabat pemerintahan, agar tak ada lagi jarak yang memisahkan. Karena keduanya sama-sama bagian dari masyarakat di wilayah tersebut, dan bagian penting yang saling membutuhkan.
MEMBAGI WAKTU
Dalam percakapan kita berdua saat itu, sempat terlontar pula bahwa kesibukan menjalankan tugas dan kewajiban (rutinitas pekerjaan) adalah salah satu faktor utamanya. Menulis sulit dijadikan prioritas karena tidak akan mendapatkan takaran waktu yang proporsional, katanya. Padahal, dalam profesi apa pun, sekalipun ia seorang pengangguran, kita dianugerahkan waktu yang sama rata; yakni 24 jam. Tetapi, apa yang membedakan dari itu semua? Adalah cara mengatur waktunya yang sebaik dan sebisa mungkin. Time management kita akan diuji pada bagian ini. Banyak kisah dari orang-orang berpengaruh di dunia yang hanya memakai waktu tidur atau istirahatnya tak lebih dari 3 jam. Sebagai menyebut beberapa nama semisal; Thomas Alva Edison, Leonardo da Vinci, Donald Trump—yang sedang jadi hot issue di Indonesia dengan DPR—ilmuwan terbesar dunia Nikola Tesla juga hanya tidur sekira dua jam per malam. Hal inilah yang mungkin menjadi rahasia sukses mereka. Bahkan Edison, si penemu lampu pijar, menganggap kalau tidur itu salah satu hal yang membuang-buang waktu.
Sisanya, dari waktu yang sebegitu pas-pasan, mereka melakukan sesuatu, yakni pengabdian kepada masyarakat dan kehidupan. Maka semesta pun tak ingkar. Ia akan mendukung sepenuh hati bagi mereka yang tulus dan ikhlas menjalankannya.
Sekarang hanya kembali kepada diri kita masing-masing. Tulisan ini tentu tak sedikit pun berusaha mendiskreditkan profesi tertentu saja. Tulisan ini bagian dari renungan dan teguran diri, demi menuju masyarakat yang kritis dan berintelektual dalam menanggapi hal apa pun. Dengan membiasakan membaca dan menulis sudah pasti menjadi aktivitas yang memperkaya pandangan, perspektif, dan penalaran. Mampu memakai sudut pandang yang semestinya dan bisa menempatkan diri pada masalah tertentu. Walaupun mungkin kita belum bisa menjadi bijaksana dan arif secara drastis, sebab dibutuhkan pengalaman dan pengamalan yang sebanding.
Bila sampai hal tersebut tercapai hingga berkelanjutan, kita bisa menciptakan trendsetter sendiri, meskipun di beberapa daerah hal ini sudah lebih dulu dicanangkan, tetapi tidak ada istilahnya terlambat untuk belajar. Tentu yang saya harapkan juga, siapa pun Anda, berprofesi apa saja; Pejabat, Rektor, Dosen, Guru, Pelajar, Polisi, Politikus, Tukang Ojek, Pedagang Nasi Goreng, Penjaja Mainan Anak, apa pun itu, mari gemari menulis dan membaca. Kita bantu pemerintah untuk mencapai masyarakat yang mandiri, cerdas dan berwawasan luas. Toh, itu untuk kebaikan kita sendiri. Yang diperlukan adalah berjalan beriringan, bukan hadap-hadapan. Bukan saatnya lagi mencegah seseorang untuk bangkit dan melaju di garda depan. Justru kita harus saling mendukung. Melalui gerakan hestek-hestekan seperti #IndonesiaMembaca, #IndonesiaMengajar dan #IndonesiaMenulis kita sama-sama menuju negara yang bermartabat dan berbudaya.
Mengutip kalimat yang ditulis oleh sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Anak Semua Bangsa, bila ingin selalu dikenang khalayak, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis,” tulis Pram. Dan kutipan dalam buku Rumah Kaca, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Maka marilah menulis, bekerja untuk keabadian; memerdekakan pikiran, menyampaikan gagasan dan mengguratkan pesan, baik tersirat maupun tersurat. [*]
PEJABAT SEBAGAI WAKIL RAKYAT
Dalam sebuah kesempatan, saya sempat menyinggung topik tersebut ketika berjumpa dengan salah seorang DPRD Cilegon Komisi III, Babay Suhemi, di Rumah Dunia, Serang. Beliau bersetuju dengan gagasan yang saya sampaikan, bahkan beliau juga tak ragu untuk meminta pengarahan atau setidaknya sharing dan brainstorming ketika melakukan kegiatan menulis nantinya. Karena menyampaikan opini, pendapat atau gagasan tidak melulu dengan berbicara yang penuh emosi—dalam sebuah rapat, misal—apalagi bila tak berisi, hanya pepesan kosong belaka. Menurut penyair sufi kelahiran Balkh (sekarang Afganistan), Jalaluddin Rumi, yang seharusnya dilakukan adalah; Tingkatkanlah kualitas kata-katamu, bukan meningkatkan nada suaramu. Adalah air hujan yang mampu membuat bunga-bunga tumbuh bermekaran, bukan keras dan dahsyatnya suara petir & halilintar. Seseorang dinilai ‘berisi’ atau tinggi tidaknya tingkat intelegensianya, selain public speaking, ialah dari kelihaiannya dalam menuangkan gagasannya melalui tulisan.
Aktivitas menulis juga bagian atau cara lain dari menyuarakan gagasan dan ide-ide yang bisa disampaikan—sebagai alternatif—kepada masyarakat. Terlebih, dewasa ini, sudah cukup banyak media cetak maupun elektronik yang kian menjamur di negara ini. Kolom gagasan yang disediakan koran-koran lokal maupun nasional—bahkan kini sudah ada media online—untuk warga sipil adalah sebuah peluang yang tidak boleh disia-siakan. Itu pun kalau pejabat tersebut belum sanggup merampungkan gagasannya dalam sebuah buku. Tetapi yang dikhawatirkan, alih-alih memanfaatkan media tersebut, kita malah terjebak dengan stigma bahwa masyarakat modern lebih memilih media digital tinimbang media cetak. Baiknya alasan macam itu jauhkan dulu dalam cara berpikir kita. Apa pun medianya, menulis dan membaca harus terus digalakkan dan dibudayakan.
Kendati demikian, kegiatan menulis (dalam tulisan ini) sebenarnya yang berusaha ditekankan bukan hanya pada kalangan pejabat saja. Penyebutan ‘Pejabat’ dalam hal ini hanya sebagai wakil dari berbagai kalangan atau lapisan masyarakat. Sebab, sebagaimana kita ketahui, pejabat adalah penyambung lidah rakyat. Segala keluh-kesah dan keresahan yang dirasakan masyarakat sudah seharusnya ditampung oleh para pejabat yang menjadi bagian dari wakil rakyat itu sendiri, untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah tertinggi. Sudah semestinya pulalah menghilangkan sekat antara warga dan pejabat pemerintahan, agar tak ada lagi jarak yang memisahkan. Karena keduanya sama-sama bagian dari masyarakat di wilayah tersebut, dan bagian penting yang saling membutuhkan.
MEMBAGI WAKTU
Dalam percakapan kita berdua saat itu, sempat terlontar pula bahwa kesibukan menjalankan tugas dan kewajiban (rutinitas pekerjaan) adalah salah satu faktor utamanya. Menulis sulit dijadikan prioritas karena tidak akan mendapatkan takaran waktu yang proporsional, katanya. Padahal, dalam profesi apa pun, sekalipun ia seorang pengangguran, kita dianugerahkan waktu yang sama rata; yakni 24 jam. Tetapi, apa yang membedakan dari itu semua? Adalah cara mengatur waktunya yang sebaik dan sebisa mungkin. Time management kita akan diuji pada bagian ini. Banyak kisah dari orang-orang berpengaruh di dunia yang hanya memakai waktu tidur atau istirahatnya tak lebih dari 3 jam. Sebagai menyebut beberapa nama semisal; Thomas Alva Edison, Leonardo da Vinci, Donald Trump—yang sedang jadi hot issue di Indonesia dengan DPR—ilmuwan terbesar dunia Nikola Tesla juga hanya tidur sekira dua jam per malam. Hal inilah yang mungkin menjadi rahasia sukses mereka. Bahkan Edison, si penemu lampu pijar, menganggap kalau tidur itu salah satu hal yang membuang-buang waktu.
Sisanya, dari waktu yang sebegitu pas-pasan, mereka melakukan sesuatu, yakni pengabdian kepada masyarakat dan kehidupan. Maka semesta pun tak ingkar. Ia akan mendukung sepenuh hati bagi mereka yang tulus dan ikhlas menjalankannya.
Sekarang hanya kembali kepada diri kita masing-masing. Tulisan ini tentu tak sedikit pun berusaha mendiskreditkan profesi tertentu saja. Tulisan ini bagian dari renungan dan teguran diri, demi menuju masyarakat yang kritis dan berintelektual dalam menanggapi hal apa pun. Dengan membiasakan membaca dan menulis sudah pasti menjadi aktivitas yang memperkaya pandangan, perspektif, dan penalaran. Mampu memakai sudut pandang yang semestinya dan bisa menempatkan diri pada masalah tertentu. Walaupun mungkin kita belum bisa menjadi bijaksana dan arif secara drastis, sebab dibutuhkan pengalaman dan pengamalan yang sebanding.
Bila sampai hal tersebut tercapai hingga berkelanjutan, kita bisa menciptakan trendsetter sendiri, meskipun di beberapa daerah hal ini sudah lebih dulu dicanangkan, tetapi tidak ada istilahnya terlambat untuk belajar. Tentu yang saya harapkan juga, siapa pun Anda, berprofesi apa saja; Pejabat, Rektor, Dosen, Guru, Pelajar, Polisi, Politikus, Tukang Ojek, Pedagang Nasi Goreng, Penjaja Mainan Anak, apa pun itu, mari gemari menulis dan membaca. Kita bantu pemerintah untuk mencapai masyarakat yang mandiri, cerdas dan berwawasan luas. Toh, itu untuk kebaikan kita sendiri. Yang diperlukan adalah berjalan beriringan, bukan hadap-hadapan. Bukan saatnya lagi mencegah seseorang untuk bangkit dan melaju di garda depan. Justru kita harus saling mendukung. Melalui gerakan hestek-hestekan seperti #IndonesiaMembaca, #IndonesiaMengajar dan #IndonesiaMenulis kita sama-sama menuju negara yang bermartabat dan berbudaya.
Mengutip kalimat yang ditulis oleh sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Anak Semua Bangsa, bila ingin selalu dikenang khalayak, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis,” tulis Pram. Dan kutipan dalam buku Rumah Kaca, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Maka marilah menulis, bekerja untuk keabadian; memerdekakan pikiran, menyampaikan gagasan dan mengguratkan pesan, baik tersirat maupun tersurat. [*]
Cilegon, 15 Oktober 2015
*) pernah tersiar di web online biem.co (20/12/15)
2 komentar
Mantaf,,, udah lama gak mampir ke sini #iseng
ReplyDeletesaya juga jarang soalnya tiap cek blog sepi mulu. nuhun om rud udah mampir :D *sering2 yaaa
Delete