[ESAI] KKM BUKAN AJANG PENCITRAAN (Biem.co, 04 September 2016)
September 10, 2016image by: biem.co |
Kuliah Kerja Mahasiswa, atau yang biasa kita kenal dan ringkas menjadi KKM, adalah output dan produk atas konsep Tridarma Perguruan Tinggi. Pertama, pendidikan dan pengajaran; kedua, penelitian dan pengembangan; ketiga, pengabdian kepada masyarakat. KKM adalah gabungan dari ketiga poin mendasar tersebut yang menjadi tanggung jawab mahasiswa sebagai agent of (social) change—meski dalam porsi tertentu, bentuk pengabdian bukan hanya dibebankan kepada mahasiswa saja, tetapi seluruh kalangan akademik atau civitas yang terlibat dalam proses pembelajaran. Pengaplikasiannya tentu saja kepada seluruh masyarakat yang berada di negara Indonesia ini.
Biasanya, mahasiswa akan mendapati SKS mata kuliah KKM ketika menginjak semester 6 ataupun di beberapa kampus menerapkannya di semester 8. Dari seluruh fakultas pada semester yang sama akan dipertemukan, untuk kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil. Jumlah per kelompok bervariatif. Bila dilihat dalam skala khusus, di Perguruan Tinggi yang berada di Provinsi Banten, satu kelompok terdiri atas 15 sampai 25 mahasiswa. Kemudian masing-masing kelompok akan ditempatkan atau mencari lokasi sendiri yang berada di sekitaran lingkup Provinsi untuk dijadikan tempat pelaksanaan KKM. Ini hanya satu bagian dari banyaknya bentuk pelaksanaan dan ketentuan KKM tematik; ada KKM lintas kampus, KKM lintas provinsi—yang berarti akan ditempatkan di luar wilayah ia menimba ilmu—, dan sejenisnya. Tetapi intinya sama, pengabdian kepada masyarakat.
Setiap memasuki semester genap, seperti yang sudah disebutkan di atas, mahasiswa pasti akan melewati fase ini. Nahasnya, pengetahuan mahasiswa soal KKM tersebut kurang mumpuni. Ditambah lagi, sebagian mahasiswa dewasa ini, asosial terhadap keorganisasian yang berada di lingkup kampus. Kurangnya minat mahasiswa dalam belajar berorganisasi menjadi faktor penghambat yang paling utama dalam pelaksanaan KKM. Karena seperti yang kita ketahui, untuk berbaur pada masyarakat, kita harus lebih dahulu menjadi masyarakat (setempat). Andai setiap mahasiswa sebelumnya memiliki bekal dan pengalaman yang cukup dalam organisasi, tentu menjalin komunikasi dengan masyarakat tidak akan begitu sulit.
Tahun lalu, saya juga menjalani fase tersebut. Saya berbicara atas dasar pengalaman terjun ke masyarakat secara langsung. Lokasi pelaksanaan tidak terlalu jauh, yakni di Desa Tamansari, Kecamatan Baros, Serang. Saya ditunjuk sebagai ketua kelompok. Meski semula merasa kurang mumpuni dan berpikir ada yang bisa lebih baik dari saya, tetapi karena kesepakatan suara kelompok, maka saya ambil tawaran itu. Pengalaman saya dalam berorganisasi cukup terpakai saat harus memulai mediasi dengan masyarakat. Dukungan dan kesolidan teman satu kelompok tentu menjadi motivasi tersendiri bagi saya. Dan syukurlah beberapa program kerja terlaksana dengan baik atas dasar musyawarah bersama para tetua desa dan para pemudanya. Program yang berhasil adalah kegiatan yang terus berlangsung sampai pelaksanaan KKM tersebut usai. Sebut saja semisal kegiatan Pengajaran Anak Usia Dini (PAUD) yang berkelanjutan. Titik poinnya pada masalah apa saja yang belum ada di lokasi tersebut. Rangkum, rumuskan, kemudian buat konsep—tentu atas dasar observasi dan penelitian terlebih dahulu.
Contoh lainnya bisa juga membekali pengetahuan tentang tata cara berwirausaha. Lihat potensi apa saja yang berada di desa tersebut, semisal banyak pohon melinjo, coba buat penganan emping dengan dikreasikan rasanya dan diberi kemasan yang menarik—meski tak perlu seekstrem desain visual Bihun Bikini yang sedang ramai jadi perbincangan belakangan ini. Atau bila ada tanaman bambu bisa pula kita carikan wirausahawan yang sudah sukses dalam bidang kerajinan berbahan dasar bambu, kemudian buat seminar kecil di balai desa. Lalu setelah semuanya terlaksana, kita bisa membantu membangun jaringan sebagai pengepul barang hasil jadi atas produk yang dihasilkan. Bisa dengan mengedukasi masyarakat dan pemudanya pengenalan cara membuat blog dan media sosial—ini bagian dari teknologi dan pengembangan—kemudian mengikuti perkembangan zaman, berjualan melalui toko online.
Namun kenyataannya, yang saya dapatkan sedikit banyak mengecewakan. Sebut saja, desa Cibeber kota Cilegon tempat saya tinggal. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di tahun ini ada sekelompok mahasiswa dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri memilih menjadikan desa kami ini sebagai lokasi pelaksanaan KKM. Menurut hemat saya, penetapan lokasi ini kurang tepat sasaran. Sebab, terlampau banyak kampung-kampung dan desa tertinggal yang lebih membutuhkan pengabdian para mahasiswa di provinsi Banten ini dibanding desa kami.
Saya, khususnya, tak hendak pongah atau berbesar kepala atas inisiatif para mahasiswa tersebut. Hanya saja, saya akhirnya menaruh sangka bahwa pelaksanaan KKM sekarang ini hanya dianggap sebagai ajang pencitraan saja, formalitas belaka, sebagai pelunasan mata kuliah ala kadarnya. Silakan bisa dicek sendiri, desa kami termasuk desa yang cukup maju baik dalam bidang pendidikan maupun kewirausahaan. Untuk membuktikannya bisa dilihat dari cara masyarakat merespons para mahasiswa itu. Alangkah lebih baiknya kalau tenaga, waktu, dan biaya mereka disalurkan kepada daerah terpencil yang jauh sangat membutuhkan. Tanpa maksud mendisktreditkan, coba pusatkan para mahasiswa itu di daerah Lebak, Padarincang, atau yang lebih jauh lagi dari jangkauan pusat pemerintahan. Lebih-lebih, yang membuat saya semakin sedih adalah program-program yang dicanangkan mereka. Terakhir, yang terdengar dari toa masjid adalah ajakan untuk kerja bakti membersihkan got dan jalan desa. Astaga, untuk hal seremeh itu, kami tak perlu pendidikan yang tinggi-tinggi untuk sekadar memungut sampah, menyiangi rumput, lalu membuangnya di tempat yang disediakan. Anak SD saja bisa jauh lebih pintar soal itu. Kenapa tak sekalian canangkan program mencetuti kuku setiap hari secara berjamaah.
Tentu saja saya sangat berharap bahwa sangkaan saya tersebut salah. Tetapi, kalaupun sampai benar, semoga hanya satu kelompok ini saja dari sekian banyaknya kelompok KKM di masing-masing Perguruan Tinggi yang salah sasaran dan kurang memiliki etos kerja ditambah program kerjanya yang terlampau basi.[]
Cilegon, 12 Agustus 2016
Ade Ubaidil, mahasiswa semester akhir di Universitas Serang Raya (UNSERA). Pernah menjabat ketua KKM kelompok 18 tahun 2015. Bila jenuh dengan skripsinya, ia bersenang-senang dengan cara mengomentari banyak hal lewat tulisan-tulisannya; baik fiksi maupun nofiksi.
0 komentar