[MOMENT] NYANTRI DI CIBEBER, BISA TERBANG TANPA AMALAN
November 04, 2016
Selagi asyik ngobrol ngarol-ngidul, sampailah kami di sebuah percakapan yang janggal, namun menarik untuk disimak. Tetapi sebelumnya, agar pembaca lebih merasakan dan turut andil dalam cerita, maka setelah kalimat ini, saya akan memosisikan diri sebagai si pemilik cerita, yakni teman saya yang nyantri puluhan tahun di pesantren Cibeber, begini ia berkisah:
Siapa yang tak kenal Desa Cibeber soal pesantrennya yang menjamur? Lebih-lebih mereka yang tinggal di kawasan provinsi Banten. Saya sendiri kelahiran Kolelet, Kec. Mandalawangi, Kab. Pandeglang. Cibeber adalah cita-cita. Siapapun, yang ingin mendalami ilmu agama atau perpesantrenan, Cibeber adalah salah satu pilihan yang terbaik. Ia melahirkan banyak ulama kenamaan, sekadar menyebutkan, satu saja, yakni guru kita, Kiai Haji Abdul Lathif. Beliau lahir pada tahun 1878 M. atau bertepatan tahun 1299 H. ini. Berasal dari keturunan ulama besar, ayahanda beliau Kiai Haji Muhammad Ali adalah ulama yang juga pejuang Geger Cilegon, kakek beliau Kiai Haji Said juga adalah ulama terpandang dan terkenal karena karomahnya, dan juga beliau keturunan ke-10 dari Nakhoda Bergos yang makamnya terletak di kampung Panakodan, Kelurahan Bulakan, kecamatan Cibeber. Juga keturunan ke-11 dari Syeh Mansyur Cikaduen, Pandeglang. Beliau sosok ulama yang karismatik dan sangat disegani oleh beberapa kalangan; mulai dari kalangan pesantren, ulama, pejabat, sampai lapisan masyarakat biasa. Kepribadian beliau yang rendah hati penuh dengan sifat tawaddu dan tidak banyak bicara menambah tinggi simpati masyarakat terhadapnya.
Begitu barangkali pengantar dari saya hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan nyantri di Cibeber. Pilihan saya jatuh di pesantren Darul Ulum yang didirikan oleh mendiang KH. Habibi Aadullah—mugi padang kubure—(alasannya sederhana, di pesantren itu kakak saya lebih dulu nyantri, jadi setidaknya ada satu orang yang saya kenal). Saat itu lumayan banyak santri yang mengaji dan menuntut ilmu pada beliau. Tempatnya masih asri dan sejuk. Belum lagi di depan majelis kami terhampar luas persawahan yang masih hijau, sungguh mengingatkan dengan kampung halaman. Jarak dari asrama ke majelis tidak terlalu jauh, kami hanya perlu melewati beberapa rumah warga dan kali, atau sebatang sungai yang ketika saya tahu kemudian, musiman; seketika asat, tetapi bisa banjir meluap-luap saat musim penghujan datang. Oh, iya, sampai lupa disebutkan, keramahan warga asli Cibeber pun menambah rasa nyaman bagi saya, “ini keputusan yang tepat,” gumam saya saat itu, Alhamdulillah.
Di tahun pertama, saya “terpaksa” harus bangun pagi alias subuh bereret, untuk ngaji sorogan, yakni menyetorkan hasil coretan kitab sehari sebelumnya. Atau di kali lain, kami mengaji Alquran. Bacaan tajwid, kefasihan pelafalan huruf betul-betul poin utama yang ditekankan oleh Abah Bibi, begitu sapaan para santri terhadap KH. Habibi.
Pada satu kesempatan, badan saya benar-benar merasa berat untuk diajak mengaji. Semalam habis ziarah keliling Banten bersama santri dari pesantren lain. Ini sudah masuk tahun kelima di pesantren barangkali, saya lupa. Yang jelas, saat itu di kamar pondok ada saya dan dua kawan lainnya. Kami tidur satu kasur yang ukurannya astagfirullah, tetapi tak selayaknya kami mengeluh, jadi kami syukuri saja. Kami ‘ngeringkel’ seperti trenggiling yang menggulung dirinya saat berlindung dari musuh. Bedanya, malam itu kami melindungi diri dari cuaca dingin yang menusuk hingga ke balik sarung. Apalagi di luar hujan deras tak seperti biasanya, ditambah guntur yang cetar-ceter. Angin semakin tak terkendali menyelinap dari sela-sela jendela dan ventilasi yang ditambal dengan kertas kalender bekas. “Brrrrr!!! Dingin sekali!”
Jadilah kami tidur “mpet-mpetan”. Walau begitu, tidur tetap saja nyaman dan mudah terlelap.
Namun, malam itu terasa berbeda. Jarak ke subuh terasa panjaaang sekali. Apalagi saya bermimpi bisa melakukan sesuatu yang luar biasa sekaligus menakjubkan. Sebelumnya saya memang sering dengar, konon para ulama zaman dulu memiliki ilmu yang di luar nalar manusia biasa. Seperti bisa menghilang, membelah tubuh—semisal pada jam yang sama ia bisa berada di tempat yang berbeda—, melakukan kontak langsung dengan alam jin dan segala macam. Dalam mimpi itu, saya bisa terbang dan melayang-layang di udara. Tanpa membaca ajian dan amalan apapun. Setelah itu, terdengar suara gaduh dan sahutan dan teriakan yang semakin lama semakin mengganggu. Ketika tersadar, astagfirullah, ternyata saya benar-benar terbang. Tetapi bukan di udara, melainkan di atas air. Kami terapung-apung di atas kasur kapuk itu. Rupanya air dari kali meluap di musim penghujan ini. Kami berpelukan seolah di bawah kasur itu ada ikan hiu yang siap menerkam. Gusti Allah, salat subuh kelewat! Inikah teguran-Mu?
***
Saya dan Mang Abu ngakak sampai menahan kencing mendengar cerita unik dari Enday Sanjaya siang tadi. Sayangnya, ketawa itu tiba-tiba surut seperti banjir yang berhasil memporak-porandakan kamar Enday waktu itu. Ia berkata, “meski penuh cobaan, kalau bersama-sama terasa nikmat dan seru.” Kini Enday menjadi penghuni terakhir di pesantren Darul Ulum itu, para santrinya sudah mengelana dengan cita-citanya masing-masing. Ia mengabdikan dirinya di sana, ‘menguruk’ ngaji kepada cucu-cucu Abah Bibi. Tentu saja, mendoakan kesehatan untuknya adalah satu dari banyaknya hal yang ia butuhkan. Dan lagi, setidaknya, ia pernah merasakan “terbang” tanpa amalan selama nyantri di kampung Cibeber. Ini sebuah prestasi!
Cilegon, 19 Oktober 2016
4 komentar
Coba buka kelas menulis untuk keluarga Al-Naqy a?he
ReplyDeletewah ide bagus tuh kang, tapi belum siap kalau sekarang hehehe |o|
ReplyDeleteWah jd penasaran pengen nyantri di banten nih,,
ReplyDeleteSilakan mampir :-bd
Delete