[ESAI] MENGHAPUSKAN BUTA AKSARA INTERNASIONAL (Majalah MISSI, vol III, Juli-Agustus 2016)
January 12, 2017cover majalah MISSI, vol III, edisi Juli-Agustus 2016 |
Apa
yang kita ketahui tentang Hari Aksara Internasional (HAI)? Atau coba kita ganti
pertanyaannya, apa tujuan dan maksud dikukuhkannya Hari Aksara Internasional
yang jatuh pada tanggal 08 September kemarin?
Peringatan Hari
Aksara Internasional pertama kali dilakukan pada tahun 1966. Itu berarti di tahun ini peringatan HAI yang
ke-50 tahun. Tujuan penetapan hari aksara tentu saja didasari atas dasar
kesadaran para jiwa pendidik yang menginginkan seluruh warga dunia bisa membaca
dan menulis. Tidak lagi buta huruf dan kesulitan dalam berkomunikasi. Karena,
bila kita pelajar, kepiawaian seseorang dalam membaca dan menulis sering kali
lebih efektif sebagai perantara komunikasi dibanding secara verbal. Indonesia
di tahun-tahun mencekam pra-kemerdekaan, sebut saja tahun 1965, adalah di mana
kebebasan berekspresi belum bisa kita temukan. Jangankan untuk berbicara
sedikit saja, ketika kita tertangkap mata tengah berbisik-bisik di sebuah
warung kopi saja, serdadu Anti-Soekarno pasti lekas menangkap kita dan
mengasingkannya. Beruntungnya, ketika satu pintu ditutup, maka akan ada banyak
pintu-pintu lainnya yang terbuka. Begitu pun dengan cara seseorang dalam
mengungkapkan ekspresi hidupnya. Kita tahu ketika zaman orde baru, segala macam
berita disitir, dibelokkan, kalaupun berbeda dengan ideologinya maka dengan
begitu mudah, atas segala kediktatoran dan kekuasaannya, media tersebut bisa
dibumihanguskan dalam cara yang tidak terbayangkan.
Namun meski begitu, masih ada saja para ‘pemberontak’,
pendobrak ketidakadilan itu. Sebab mau bagaimanapun kebenaran dibungkam, ia
pasti akan terus tumbuh dan tak bisa dihilangkan. Salah seorang sastrawan
Indonesia, Seno Gumira Ajidarma, menulis sebuah buku, “Ketika Jurnalisme
Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Dan begitulah siklus berikutnya terjadi.
Menulis menjadi alternatif yang sangat baik sebagai media kritis dalam
mengungkapkan sesuatu keresahan. Dalam hal ini keresahan masyarakat terhadap
pemimpinnya. Karenanya, bukan hanya buta aksara saja yang perlu kita bantu,
akan tetapi buta akan politik, buta ilmu kritik, ilmu pengetahuan, dan segala
macam jenisnya. Sudah terlampau sepuh kita diperbudak dan dibodohi oleh para
penjajah.
HAI
adalah hari yang bukan hanya diperingati setahun sekali, tetapi hampir setiap
hari harus selalu kita gaungkan. Masyarakat di berbagai dunia memperingati HAI
tak lain karena semangat mereka, semangat kita, untuk memberantas buta aksara.
Di dalam negeri sendiri, upaya pemerintah untuk memberantas buta aksara sudah
menunjukkan hasil yang positif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) mengklaim bahwa pada tahun 2005 persentase penduduk buta aksara di
Indonesia mencapai 9,55%. Namun, angka tersebut menurun pada tahun 2014,
menjadi sekitar 3,76% atau sekitar 6.007.486 orang. Mengingat angka buta aksara
di masyarakat Indonesia masih tergolong tinggi, peringatan HAI seharusnya bisa
dilaksanakan serentak, dan semua bidang dan civitas pendidik turut andil dan
ambil bagian, demi mencerdaskan sebuah bangsa, seperti yang tertera dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yang hampir setiap hari Senin,
khususnya bagi pelajar, sama-sama mendengarkannya ketika Upacara Bendera
berlangsung.
Lantas, upaya
apa saja yang bisa masyarakat lakukan untuk membantu menekan angka buta aksara
di lingkungannya?
Pertanyaan tersebut
akan menjadi menarik kalau—sampai jawaban yang diurai dibawahnya—semua lapisan
masyarakat bisa turut andil. Yang perlu dilakukan pertama adalah:
1. Mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM)
Menteri
pendidikan sebelumnya, Anies Baswedan, sudah mencanangkan ini. Satu desa satu
perpustakaan atau TBM. Entah hal tersebut akan terus berlanjut sampai menyentuh
ke bagian nusantara yang paling terpencil atau tidak, sebab ketika semua belum
berjalan secara merata, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melakukan
resuffle jilid dua pada 27 Juli 2016 lalu. Dan bapak menteri Anies Baswedan
digantikan posisinya oleh Prof. Dr. Muhajjir Effendy. Kita belum tahu apa saja
nantinya gebrakkan-gebrakkan dari beliau, selain wacana tentang program “Full
Day School” yang kemarin sempat heboh di berbagai portal berita, baik cetak
maupun online. Dan akhirnya wacana itu pun dibatalkan sebab sebagian besar respons
masyarakat yang begitu reaktif dan kurang sepakat kalau sampai wacana tersebut benar
terlaksana.
Adanya TBM
adalah indikasi kalau di tempat tersebut masih ada masyarakat yang peduli akan
pentingnya belajar. Kita bisa mengisi kegiatan di TBM dengan gerakan masyarakat
membaca, hal ini juga sempat diutarakan oleh Anies Baswedan. Mengadakan
lomba-lomba menulis, bedah buku, diskusi-diskusi yang dibuat menyenangkan
dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. intinya, kegiatan membaca dibuat
tidak lagi membosankan. Berikan sentukan ‘keasyikan’ di dalamnya. Tentu saja
pengelolanya haruslah kreatif.
2. Edukasi Betapa Pentingnya Membaca
Sebagian besar
masyarakat kita, punya cara pandang yang stereotip mengenai pendidikan, atau
khususnya membaca. Kegemaran seseorang dalam membaca masih dipandang sebelah
mata, atau terkadang seperti pelajar-pelajar sekolah, melihat seseorang yang
selalu bermain di perpustakaan dianggap “nggak gaul” dan kampungan. Stereotip
itu pun tak lepas dari peran media. Di sebuah film, sinetron, atau
cerita-cerita dalam buku pun selalu penggambaran orang yang gemar membaca itu
dibuat culun. Sebut saja kalau di film kartun Scooby Doo—film anak 90’an. Kita
mengenal tokoh bernama Velma, si kutu buku yang berkaca mata tebal, berpakaian oldies dengan potongan rambut yang
ketinggalan zaman. Begitu pun dengan sinetron-sinetron yang tayang di Indonesia
hingga hari ini. Jadi, masyarakat terdokrin bahwa membaca sama sekali tidak
keren. Padahal, untuk contoh yang cukup baik, dalam film AADC, penggambaran si
kutu buku begitu apik dan sesuai, seperti tokoh Rangga. Meskipun tetap
digambarkan menyebalkan dalam pandangan kaum hawa, tetapi justru kecuekannya
itu yang menjadikannya daya tarik tersendiri.
Belum lagi
masyarakat menengah ke bawah yang berpikir kalau membaca hanya buang-buang
waktu dan tidak menghasilkan uang. hari ini, bahkan sejak dahulu, uang adalah
segalanya. Pendidikan entah dinomorberapakan. Karenanya, edukasi betapa
pentingnya membaca sangat dibutuhkan. Bisa dimulai dengan membuat workshop kecil-kecilan, dengan
mengundang para narasumber yang sudah menjadikan literasi sebagai profesinya
dan berhasil membuat ia sukses dalam bidang yang digelutinya itu. Bila pihak
pemerintah bisa mengkordinir ini, maka barang tentu orang-orang akan kian gemar
membaca, lebih-lebih menulis dan kritis dalam menilai segala topik atau
pemberitaan yang tengah berkembang di masyarakat.
3. Perpustakaan di Setiap Tempat
‘Belajar bisa di
mana saja’, hal itu dulu yang perlu dipegang dan disepakati bersama. Hari ini,
segalanya berubah digital. Termasuk buku. Tentu saja itu bisa menjadi mudah
bagi kita yang dapat mengakses segala sesuatunya dengan mudah. Tetapi bagaimana
dengan mereka yang kehidupannya tak seberuntung kita, orang-orang kota. Tentu
saja keberadaan buku bacaan sangat dibutuhkan. Pemerintah harus serius dan
tanggap akan hal ini. Kita bisa sama memulainya dengan menaruh buku-buku di
warung-warung, kafe, mall, halte bis, stasiun, bandara dan segala macam. Bahkan
bila perlu, tentu dengan observasi lebih dahulu, menaruh buku-buku di dekat
pohon-pohon jalan, di taman kota dan sejenisnya. Hal ini menimbulkan rasa
penasaran seseorang pada buku. Resiko terberatnya barang tentu sebagian
buku-buku akan hilang; diambil, dicuri, dijual. Karenanya, kalaupun sampai hal
ini ingin diterapkan, tentu butuh pengawasan yang baik dan cermat. Kita
membutuhkan relawan-relawan literasi yang benar-benar ingin terjun dan mengikis
buta aksara di negara yang kemarin, 17 Agustus merayakan hari kemerdekaannya
yang ke-71 itu, negara Republik Indonesia.
Merdeka!
Kramatwatu-Serang,
19 Agustus 2016
0 komentar