[SELF-DEPRESSION] MENGAPA KITA SALING MEMBENCI?
January 16, 2017image by: google.com |
Belakangan
saya sedang berpikir kenapa seseorang bisa saling membenci? Apa alasan terkuat
mereka untuk membenci satu sama lain? Kedengkian macam apa hingga berhasil
menghasut diri sendiri untuk menjaga jarak dari satu orang atau kelompok
tertentu? Atau pernahkah kau membenci seseorang sebab ia membenci sesuatu? Bukankah
itu bagian dari kebencian itu sendiri?
Pertanyaan
macam itu terus saja berkelindan dan datang di waktu-waktu yang tidak tepat. Ia
bisa saja datang dengan tergesa-gesa dan dadakan lalu hinggap di benak saya.
Memaksa saya untuk mencari jawabannya, atau minimal merasa terganggu agar terus
memikirkannya. Sungguh merepotkan!
Cara
terbaiknya barangkali dengan menuliskannya seperti ini. Namun sialnya, saya
jadi teringat kepada seseorang yang sudah lama tidak bertegur sapa, bertatap
muka, melangkah bersama. Dulu kita dekat, amat dekat. Salah satu dari kami
memberi jarak seperti spasi atau bahkan tombol enter pada keyboard
komputermu. Entah berapa kali tekan hingga sampai detik ini kami benar-benar
terpisah jarak, waktu dan rindu. Sudah tidak ada lagi kalimat sempurna yang
bisa dibaca.
[Percaya atau tidak, bahkan saat
tulisan ini belum selesai, ada chat
baru masuk di What’s App saya. Dan itu dari kamu.... Astaga, sedemikian
kilatkah doa saya dikabulkan?]
Adakah kebencian
antara kami?
Saya tidak
bisa memastikannya, yang jelas, di satu waktu tertentu, ia tak berkabar dan
disusul dengan hari-hari berikutnya yang kosong tanpa cengkerama darinya. Baiklah,
cukup segitu saja tentangnya. Kembali lagi soal kenapa orang gemar membenci?
Banyak hal
yang membuat seseorang hingga akhirnya memutuskan untuk saling membenci. Namun kalau
ditarik satu garis kesimpulan, maka jawaban yang diperoleh adalah: PERBEDAAN.
Orang-orang
saling membenci karena mereka berbeda. Bisa soal cara pikir, cara pandang,
keyakinan yang dianut, silang pendapat, dan banyak lainnya yang kemudian
mengerucut pada satu simpulan lagi: TIDAK SUKA.
Karena
ketidaksukaan kita akan perbedaan itulah yang bisa menimbulkan percik
kebencian. Namun, masih ada pertanyaan ganjil; bagaimana bila kita membenci
seseorang justru karena satu kesamaan? Misal: mencintai orang yang sama?
Saya selalu
menulis sesuka hati. Dan pertanyaan itu menyelinap barusan saat saya sedang
mengetik, yang artinya di luar konsep awal dan tujuan saya menulis ini. Dan
karena pertanyaan itulah saya jadi ingat seseorang lagi—yang masih ada
kaitannya dengan seseorang diawal tadi. But,
anyway, jadi, apa kira-kira jawabannya?
Boleh jadi
saya salah menempatkan istilah yang tepat untuk hal-hal yang sudah disebutkan
tadi? Atau andai itu diabaikan, ada kemungkinan lain. Misal si A benci B bukan
karena B cinta si C. Tapi si A benci B lantaran si B cinta si C. Lah, sama
saja, ya? Tenang, saya bukan kehabisan ide dan tak bisa memecahkan rumus ini,
justru saya menemukan rumus baru. orang saling membenci karena dua hal:
pertama, berbeda. Kedua, sama. Sebab, seperti halnya cinta, benci tak butuh
alasan. Satu hal yang mesti diingat, di lain kesempatan, kebencian itu perlu. Saya tak usah menyebutkannya, tentu setiap nurani bisa memilahnya. Yang jelas, membencilah sewajarnya, layaknya kita mencintai seseorang.
Oh, iya, hampir
terlewat. Yang membedakan antara, ‘tidak suka’ dan ‘benci’ barangkali terletak
pada titik tekannya. Semacam, ‘hitam’ dan ‘hitam pekat’ atau ‘hitam metalik’. Hitam,
ya, sebatas warna gelap saja. Namun hitam metalik adalah warna gelap yang bercahaya—ini
agak rumit sendiri saya menguraikannya. Hitam metalik dapat memantulkan cahaya,
sebab nama metalik merujuk pada benda atau sesuatu yang berbahan dasar dan
mengandung metal. Namun karena sedari awal saya bicara soal kata sifat (manusia),
maka untuk poin pertama berkenaan dengan perasaan. Berbeda soal amsal kedua
itu. Titik tekan yang saya maksud adalah ketika kita ‘tidak suka’ pada sesuatu,
kita memilih untuk ‘tidak peduli’ dan tak banyak bercakap soal sesuatu hal
tersebut. Sedangkan, ketika kita ‘benci’ pada sesuatu atau seseorang, justru
kita akan jauh ‘lebih peduli’ dengan cara yang berbeda. Bukannya menjauhi,
karena ‘kebencianlah’ kita akan terus berusaha mendekatinya. Hanya saja, yang
kita bawa untuknya adalah ‘api’ dan segala sesuatu yang berlawanan dan bersifat
negatif. Lebih-lebih yang membuat sesuatu/seseorang yang kita benci itu menjadi
semakin buruk dan hancur atau terbakar di hadapan kita dan khalayak ramai. Semakin
ia tersiksa dan tampak tak berdaya, maka si pemilik kebencian itu akan
terpuaskan dan berhasil ‘orgasme’, sesuai yang dikehendakinya.
Adakah tujuan dari memupuk kebencian pada seseorang?
Tak bisa
disembunyikan tentu saja, saya sendiri pernah atau bahkan masih (tanpa saya
sadari) membenci seseorang. Akan tetapi, kemudian saya berpikir seperti
pertanyaan-pertanyaan diawal, untuk apa membenci? Alasan terkuat apa sampai
saya membenci orang tersebut? Pada akhirnya, kita kembali padaNya dengan tanpa
membawa apa-apa. Bahkan, seingat saya, dulu waktu masih usia belasan, saya
pernah membenci kawan dekat saya sendiri. Setelah bertahun-tahun terlewati, dia
dan juga saya tak pernah bertegur sapa. Kalaupun ada kesempatan bertemu di satu
acara, sebisa mungkin kami menjaga pandangan agar tak saling tatap dan terus
saja menyibukkan diri. Namun saya sampai pada sebuah pertanyaan, “kok bisa saya
benci sama dia? Dulu karena apa, ya?” dan pertanyaan begok lainnya yang membuat saya terkekeh sendiri. Karena pertanyaan
itulah saya membuka diri. Sejahat dan sesakit apa pun ia melukai saya, saya
sudah berterima dan berlapang dada. Kata, “maaf” dengan sendirinya meluncur dari
masing-masing kami saat saya beranikan diri untuk menegurnya lebih dahulu ketika
bertemu. Dan ternyata, hanya soal komunikasi saja. Dia pun sudah hampir lupa
alasan kami saling menjauhi dan membenci. Jadi saya rasa, kebencian adalah
sebuah perasaan yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak punya tujuan.
Hal-hal yang
berkawan baik dengan kebencian adalah ke-egosentris-an. Contoh kasus di atas
menunjukkan kalau saja ‘keakuan’ yang ada dalam diri kita sedikit melonggar,
maka perasaan dan perilaku membenci itu dengan sendirinya akan lenyap dan
sirna. Ibarat sampah yang kita buang bukan pada tempatnya. Kalau terus menerus
kita menjaga perilaku buruk itu, orang-orang akan mengikuti kita karena sudah
menganggapnya lumrah. Padahal, sekali saja ada inisiatif untuk membuatkan
tempat sampah atau mengarahkan dan membersikan sampah-sampah itu, lambat laun
semua akan menjadi indah. Bukan lagi indah pada waktunya, tetapi indah karena
kita yang menentukan keindahan itu ingin ditaruh-letakkan di mana.
Yang sering
terlupa sebagai sesama manusia adalah kalau kita diciptakan bukan sebagai
pengatur. Barangkali kebencian pun bertalian dengan kata itu. Seakrab dan
sekarib apa pun kita dengan seorang teman, kita tidak bisa mengendalikan cara
berpikir dan perilakunya. Kita hanya dianjurkan untuk mengingatkan dan menegur,
kalaupun boleh lebih dari itu, kita bisa mengarahkan atau menunjukkan jalan
lain di antara banyaknya jalan yang bisa ia pilih. Pada akhirnya, kehidupan
tidak menyuguhkan penyelesaian. Ia hanya pilihan-pilihan yang bertebaran.
Cilegon 16 Januari 2017
0 komentar