[CERPEN] MEMATA-MATAI KERJA PENULIS (Dinamika News, edisi 380, 1-14 Februari 2017)
February 04, 2017Dinamika News-Lampung, edisi 380, 1-14 Februari 2017 |
—kepada Ken Hanggara
Terakhir kulihat, ia sedang menebas pelangi dan menyeretnya ke dalam bangunan tua—yang kutahu kemudian itu lebih layak disebut gudang tua. Sulur-sulur setiap warnanya seperti lembar kain yang belum digunting. Lebar dan panjang sekali. Ia membopong dan menyeretnya satu helai demi helai warna. Aku melihat itu melalui teropong yang tak sengaja kutemukan dan kunyatakan pinjam dari kantor—entah milik siapa. Di ujung sebuah tebing, sewaktu lelah seharian bekerja, aku melempar pandang berkeliling di bagian bawahnya. Aku tak berekspektasi akan mendapati pemandangan yang membuatku takjub macam ini. Memang tak begitu aneh bagaimana ada pelangi, sebab satu jam sebelumnya telah terjadi hujan lebat, tetapi bagaimana bisa ia menjaring pelangi dan menggudangkannya? Apa yang hendak ia buat dari itu?
Hari berikutnya sampai satu minggu penuh, aku tak lagi menjumpai lelaki tua itu. Lelaki tua yang kutaksir berusia tujuh puluhan. Rambutnya keperak-perakan disoroti sinar mentari. Janggut dan kumisnya menyatu, melingkari mulutnya. Bagian itu agak berbeda warnanya. Lebih tampak berwarna krem condong keemas-emasan. Namun langkahnya tak gontai layaknya kakek-kakek tua yang aku temui sehari-hari. Jejakkan kakinya kian kokoh dan bahunya amat tegap.
Hari kian petang, namun belum juga aku ingin angkat kaki. Seminggu terakhir kerjaan semakin menyebalkan. Berkata jujur selalu disalahartikan.
“Kira-kira, apa kamu merasa cukup dengan gaji bulanan dari kantor ini?” tanya atasanku, mendadak dan mengejutkan.
“Mohon maaf, Pak. Sejauh ini, saya rasa sudah lebih dari cukup. Barangkali karena keperluan hidup saya tidak terlalu banyak. Terlebih saya tinggal sendiri di kota ini.” Ia memang tak meminta aku menjelaskan sedemikian rumit, tetapi sekalian saja, agar aku tak ditanya-tanya begitu lagi. Bukan apa, masalahnya, kalau sampai gajiku naik, teman satu kantor pasti akan menjauhiku. Kau tahu, sekalipun kau tinggal di kota yang segalanya serba ada ini, pasti saja memiliki kekurangan. Yakni cara mendapatkan teman. Kau boleh percaya ketika kau berada di atas, orang-orang akan menganggapmu teman baiknya, tetapi siapa peduli ketika kau berada di bawah? Sialnya, untuk mengetahui kapan waktunya kita di bawah atau sebaliknya, kita semua tak bisa memperkirakannya dengan jitu. Jadi setelah jawaban itu meluncur, aku mohon izin keluar dari ruangannya dan kembali ke ruang kerjaku. Berkutat dengan data-data administratif yang kian hari membuatku mumet. Ingin rasanya lepas dari ini semua.
Sekitar empatpuluh lima menit setelah percakapan itu, jam makan siang tiba.
“Badrun, kamu ikut meeting, ya. Kita makan siang sekalian di sana.”
Aku tak lekas mengangguk, juga tak lekas menggeleng. Kenapa lagi-lagi dadakan begini?
Kulemparkan pandangan sesaat pada tumpukan kertas-kertas di meja. Kemudian aku bangkit dan berkata, “maaf, Pak. Saya menyesal harus mengatakan ini, tetapi tugas-tugas saya belum selesai benar.”
“Makhsi!” ia berbalik badan, berbincang dengan orang di depan mejaku, yang tampak lebih sibuk, “kamu tolong lanjutkan kerjaan Badrun, ya. Kami mau ada meeting.”
“Tapi, ini..., Pak...,” ia tak melanjutkan kata-katanya. Lebih tepatnya menyusun alasan penolakan. Kau tahu, mata seorang atasan ketika membelalak, itu lebih mengintimidasi ketimbang mata oknum polisi lalulintas yang minta disuap. Dan..., hal berikutnya yang terjadi adalah aku memberikan tumpukan tugas-tugas itu, dengan amat hati-hati menaruhnya di meja kerja Makhsi. Aku tersenyum kecut, ia membalasnya dengan memijit tuts keyboard komputer dengan amat keras. Jari-jarinya sangat kejam menindasi biji-biji simbol angka dan huruf itu.
Sejak saat itu, hubungan perkawanan kami jadi berjarak. Bicara hanya seperlunya saja—sialnya kami tak pernah sama-sama memiliki keperluan yang genting.
Kulihat di lengan kiriku, jarum jam menjejak angka sembilan lewat sedikit. Tak terasa, hampir lima jam aku di atas tebing ini.Pemandangan minggu lalu sebenarnya sangat menghibur, aku berharap bisa melihat kejadian-kejadian serupa di sini. Ah!
Dengan berat hati, aku berdiri. Menepuk telapak tangan, membersihkan dari kerikil-kerikil yang masih menempel. Kulongokkan lagi kepala ke bawah tebing, dan belum ada apa-apa. Hanya kudapati gelap yang pekat. Baiklah, masih ada hari esok.
Perlahan-lahan aku menuruni bukit tebing. Menuju mobil yang sengaja kuparkirkan di bawah jajaran pohon randu. Namun, dari jarak sekitar dua lompatan kuda, mataku mendapati seorang bocah tengah berjongkok melakukan sesuatu pada mobil bagian depanku.
Aku tak lekas meneriakinya, sengaja aku bersembunyi di balik salah satu pohon randu terdekat. Kuperhatikan ia sepertinya tak hendak merusak mobil, hanya saja, keajaiban lagi-lagi terjadi di depan mataku. Sejak tadi, tubuh bocah tak berpakaian itu terselubung kabut tipis dan menguarkan aroma minyak kasturi—aku tahu ini dari mendiang kakek, ia sering membaluri minyak kasturi di pakaian salatnya. Rambutnya sebahu, tetapi aku yakin kemudian, meski gelap, ia laki-laki.
“Hei, sedang apa, kau?” ia berdiri tegap, memutar kepala ke tempatku berdiam. Matanya cerlang, seperti sorot lampu senter.
“Hihihi..., hihihi....” Ia ngikik tak jelas. Lalu melompat-lompat berjingkatan. Aku berjalan mendekat, meski dengan hati jeri. Untungnya ia memilih berlari dan masuk ke dalam rimbun pepohonan. Kubiarkan ia sesaat. Kini pandanganku beralih ke mobil. Setelah kuperhatikan lamat-lamat, plat nomor mobilku yang semula bertuliskan A 2493 UF, entah dengan cara apa kombinasi huruf dan angka itu lenyap. Yang kudapati hanya sebuah lempengan seng berwarna hitam polos, tanpa ada tulisan apa-apa. Lekas kuambil kunci mobil, aku masuk ke dalam dan ingin langsung menginjak pedal gas, meninggalkan tebing ini. Namun, aroma minyak kasturi tadi masih kental di udara. Kabut tipisnya memanjang menandai ke mana arah bocah tadi pergi. Herannya, di tengah kengerianku, sisiku yang lain menuntun mobil yang kukendarai untuk mengikuti ke mana aroma itu menuju.
“Di mana, ini?” aku merasa asing.
Sejak limabelas menit lalu, mobilku berjalan masuk ke dalam hutan. Dan kini aku terhenti di sebuah padang rumput yang gersang. Nyaris tampak tak ada kehidupan. Pohon-pohon dan rumputnya berwarna arang habis dibakar. Waktu seperti mundur tiga jam lebih awal. Langit tak pantas disebut cerah, namun tidak bisa pula disebut gelap. Ia kelabu dan sendu, sekalipun matahari kembali menampakkan diri. Aku keluar dari dalam mobil. Kepalaku kuajak berkeliling. “Ini bencana.”
Di sela-sela kelimbunganku, pikiranku bertanya banyak hal. Salah satunya tentang muasal kebiasaanku yang akhir-akhir ini sering mengunjungi tebing setiap pulang bekerja. Aku pun tak tahu jawaban pastinya. Dalam ingatanku yang tersendat-sendat, saat itu aku hanya ingin sendiri. Dan entah dari mana tebing ini tergambar begitu saja dalam benakku, lalu aku mencarinya. Dan ketika sudah berhasil kutemukan, aku merasa akrab dengannya. Setiap berdiri di atas tebing itu, hatiku tenang.
Sekarang, apa yang ada di hadapanku yang kini mulai mengusik. Di sebelah timur, yang baru kusadari, berdiri sebuah bangunan tua. Kayu-kayunya, kendatipun dilihat dari jarak belasan meter, ia tampak rapuh dan reyot. Dari atas gentingnya keluar kabut kelabu yang pekat. Ah, mungkinkah?
Kakiku seperti memiliki kehendaknya sendiri. Ia menyeret tubuhku untuk mendekati bangunan tua itu. Aku sepenuhnya tak merasakan kakiku menjejak ke tanah. Namun aku pasrahkan saja, sebab tak sanggup melawannya. Bulu-bulu halus di tengkuk dan lenganku meremang. Angin dari arah tenggara berpusing kian kencang. Tubuhku seperti hendak terbang. Saat aku melemparkan pandangan, kutemui lagi lelaki tua yang seminggu lalu kulihat. Masih sama-sama mengejutkannya. Kali ini ia menggeret sebuah tambang, di belakangnya ternyata sebuah angin tornado yang berputar-putar seperti anjing piaraan yang mengejar ekornya sendiri. Dalam genggaman tangan lainnya, ia memegang sebuah kurungan. Kini aku kian dekat padanya. Kulihat, dalam kurungan itu berisi anak-anak petir. Tapi tetap saja mereka ganas dan gahar. Setiap kali tubuhnya menyentuh besi kurungan, suara guntur terdengar dari langit-langit.
“Kakek!” aku tak ingin buang kesempatan. Ia menengok dengan wajah sekejam algojo saat akan mengeksekusi mati seorang terdakwa. Ia sungguh tak peduli. Lantas berjalan lagi menuju bangunan tua di hadapan kami.
Kukejar. Lalu kutepuk pundaknya. “Kek, siapa sebenarnya Kakek ini? dan di mana kita?”
Lagi-lagi ia menengok dengan sorot mata kejam. Namun kali ini ia bersuara. “Aku Mudakir. Sisanya tak lama lagi kau akan temukan sendiri jawabannya di dalam.” Anak-anak petir saling beradu. Seketika suara guntur tak tertahankan saling menyahut. Langit seolah hendak runtuh detik itu juga. Ia kembali berjalan. Entah bagaimana aku bisa percaya, angin tornado yang tingginya dua kali dari kantorku itu, berhasil masuk melalui pintu bangunan tua yang padahal hanya setinggi pohon randu dewasa.
Kini aku sudah ada di depan pintu. Satu langkah lagi, aku akan tahu akhir dari semuanya, begitu aku menerjemahkan maksud kakek Mudakir.
Rupanya, bangunan ini lebih cocok disebut gudang tua. Semua barang-barang rongsok nyaris bisa kau temukan. Sempalan kubah yang kuterka akibat terkaman tsunami beberapa tahun silam di barat sana, ada dan utuh. Pesawat yang konon lenyap misterius di kepulauan entah, tak kusangka, ada pula di dalam gudang yang membingungkan ini; dari luar, ia tampak tak begitu besar, namun saat kau sudah di dalam, barangkali kau bisa membangun Ibukota baru yang lebih luas di dalam sini. Dan benar, aroma minyak kasturi semerbak di sekujur dinding dan atap bangunan.
Aku terus berjalan sampai kemudian terhenti oleh dua hal: pertama, bocah yang menghilangkan kombinasi simbol di mobilku, ia benar ada di sini dan ketika itu aku tak lagi penasaran padanya. Sebab semua keajaiban di dalam bangunan tua lebih menarik minatku. Dari jari-jarinya keluar sinar seperti lampu tembak. Ia melakukannya lagi, kali ini pada tubuh pesawat. Baiklah, setidaknya aku sudah mengantongi satu jawaban dan aku puas; kedua, sosok di balik ini semua. Kau tahu, aku menduga sedemikian cepat sebab dari jarak tak kurang tiga meter di hadapanku, seseorang tengah duduk memunggungiku. Ia tampak serius dengan apa yang tengah dikerjakannya. Suara, “tik-tak-tok-tik-tak-tok” berulang-ulang terdengar dari mejanya. Ia tengah mengetik memakai mesin tik usang.
“Ma-maaf. Siapa kamu?” aku gegap. Kedua lututku bergetar. Ruangan seketika terasa panas. Kulonggarkan kerah kemeja kerjaku.
Ia berhenti mengetik? Belum..., ia sedang memberi jeda rupanya. Menghela napas, kemudian, ‘tik!’
“Selesai!” serunya lantang. Lelaki yang kutaksir berusia duapuluh limaan itu, membalik badan. Ia hanya berkata satu kalimat saja, dan semuanya berakhir, “kembalilah, kau sudah selesai kutulis.”
Terakhir kulihat, ia sedang menebas pelangi dan menyeretnya ke dalam bangunan tua—yang kutahu kemudian itu lebih layak disebut gudang tua. Sulur-sulur setiap warnanya seperti lembar kain yang belum digunting. Lebar dan panjang sekali. Ia membopong dan menyeretnya satu helai demi helai warna. Aku melihat itu melalui teropong yang tak sengaja kutemukan dan kunyatakan pinjam dari kantor—entah milik siapa. Di ujung sebuah tebing, sewaktu lelah seharian bekerja, aku melempar pandang berkeliling di bagian bawahnya. Aku tak berekspektasi akan mendapati pemandangan yang membuatku takjub macam ini. Memang tak begitu aneh bagaimana ada pelangi, sebab satu jam sebelumnya telah terjadi hujan lebat, tetapi bagaimana bisa ia menjaring pelangi dan menggudangkannya? Apa yang hendak ia buat dari itu?
Hari berikutnya sampai satu minggu penuh, aku tak lagi menjumpai lelaki tua itu. Lelaki tua yang kutaksir berusia tujuh puluhan. Rambutnya keperak-perakan disoroti sinar mentari. Janggut dan kumisnya menyatu, melingkari mulutnya. Bagian itu agak berbeda warnanya. Lebih tampak berwarna krem condong keemas-emasan. Namun langkahnya tak gontai layaknya kakek-kakek tua yang aku temui sehari-hari. Jejakkan kakinya kian kokoh dan bahunya amat tegap.
Hari kian petang, namun belum juga aku ingin angkat kaki. Seminggu terakhir kerjaan semakin menyebalkan. Berkata jujur selalu disalahartikan.
“Kira-kira, apa kamu merasa cukup dengan gaji bulanan dari kantor ini?” tanya atasanku, mendadak dan mengejutkan.
“Mohon maaf, Pak. Sejauh ini, saya rasa sudah lebih dari cukup. Barangkali karena keperluan hidup saya tidak terlalu banyak. Terlebih saya tinggal sendiri di kota ini.” Ia memang tak meminta aku menjelaskan sedemikian rumit, tetapi sekalian saja, agar aku tak ditanya-tanya begitu lagi. Bukan apa, masalahnya, kalau sampai gajiku naik, teman satu kantor pasti akan menjauhiku. Kau tahu, sekalipun kau tinggal di kota yang segalanya serba ada ini, pasti saja memiliki kekurangan. Yakni cara mendapatkan teman. Kau boleh percaya ketika kau berada di atas, orang-orang akan menganggapmu teman baiknya, tetapi siapa peduli ketika kau berada di bawah? Sialnya, untuk mengetahui kapan waktunya kita di bawah atau sebaliknya, kita semua tak bisa memperkirakannya dengan jitu. Jadi setelah jawaban itu meluncur, aku mohon izin keluar dari ruangannya dan kembali ke ruang kerjaku. Berkutat dengan data-data administratif yang kian hari membuatku mumet. Ingin rasanya lepas dari ini semua.
Sekitar empatpuluh lima menit setelah percakapan itu, jam makan siang tiba.
“Badrun, kamu ikut meeting, ya. Kita makan siang sekalian di sana.”
Aku tak lekas mengangguk, juga tak lekas menggeleng. Kenapa lagi-lagi dadakan begini?
Kulemparkan pandangan sesaat pada tumpukan kertas-kertas di meja. Kemudian aku bangkit dan berkata, “maaf, Pak. Saya menyesal harus mengatakan ini, tetapi tugas-tugas saya belum selesai benar.”
“Makhsi!” ia berbalik badan, berbincang dengan orang di depan mejaku, yang tampak lebih sibuk, “kamu tolong lanjutkan kerjaan Badrun, ya. Kami mau ada meeting.”
“Tapi, ini..., Pak...,” ia tak melanjutkan kata-katanya. Lebih tepatnya menyusun alasan penolakan. Kau tahu, mata seorang atasan ketika membelalak, itu lebih mengintimidasi ketimbang mata oknum polisi lalulintas yang minta disuap. Dan..., hal berikutnya yang terjadi adalah aku memberikan tumpukan tugas-tugas itu, dengan amat hati-hati menaruhnya di meja kerja Makhsi. Aku tersenyum kecut, ia membalasnya dengan memijit tuts keyboard komputer dengan amat keras. Jari-jarinya sangat kejam menindasi biji-biji simbol angka dan huruf itu.
Sejak saat itu, hubungan perkawanan kami jadi berjarak. Bicara hanya seperlunya saja—sialnya kami tak pernah sama-sama memiliki keperluan yang genting.
Kulihat di lengan kiriku, jarum jam menjejak angka sembilan lewat sedikit. Tak terasa, hampir lima jam aku di atas tebing ini.Pemandangan minggu lalu sebenarnya sangat menghibur, aku berharap bisa melihat kejadian-kejadian serupa di sini. Ah!
Dengan berat hati, aku berdiri. Menepuk telapak tangan, membersihkan dari kerikil-kerikil yang masih menempel. Kulongokkan lagi kepala ke bawah tebing, dan belum ada apa-apa. Hanya kudapati gelap yang pekat. Baiklah, masih ada hari esok.
Perlahan-lahan aku menuruni bukit tebing. Menuju mobil yang sengaja kuparkirkan di bawah jajaran pohon randu. Namun, dari jarak sekitar dua lompatan kuda, mataku mendapati seorang bocah tengah berjongkok melakukan sesuatu pada mobil bagian depanku.
Aku tak lekas meneriakinya, sengaja aku bersembunyi di balik salah satu pohon randu terdekat. Kuperhatikan ia sepertinya tak hendak merusak mobil, hanya saja, keajaiban lagi-lagi terjadi di depan mataku. Sejak tadi, tubuh bocah tak berpakaian itu terselubung kabut tipis dan menguarkan aroma minyak kasturi—aku tahu ini dari mendiang kakek, ia sering membaluri minyak kasturi di pakaian salatnya. Rambutnya sebahu, tetapi aku yakin kemudian, meski gelap, ia laki-laki.
“Hei, sedang apa, kau?” ia berdiri tegap, memutar kepala ke tempatku berdiam. Matanya cerlang, seperti sorot lampu senter.
“Hihihi..., hihihi....” Ia ngikik tak jelas. Lalu melompat-lompat berjingkatan. Aku berjalan mendekat, meski dengan hati jeri. Untungnya ia memilih berlari dan masuk ke dalam rimbun pepohonan. Kubiarkan ia sesaat. Kini pandanganku beralih ke mobil. Setelah kuperhatikan lamat-lamat, plat nomor mobilku yang semula bertuliskan A 2493 UF, entah dengan cara apa kombinasi huruf dan angka itu lenyap. Yang kudapati hanya sebuah lempengan seng berwarna hitam polos, tanpa ada tulisan apa-apa. Lekas kuambil kunci mobil, aku masuk ke dalam dan ingin langsung menginjak pedal gas, meninggalkan tebing ini. Namun, aroma minyak kasturi tadi masih kental di udara. Kabut tipisnya memanjang menandai ke mana arah bocah tadi pergi. Herannya, di tengah kengerianku, sisiku yang lain menuntun mobil yang kukendarai untuk mengikuti ke mana aroma itu menuju.
“Di mana, ini?” aku merasa asing.
Sejak limabelas menit lalu, mobilku berjalan masuk ke dalam hutan. Dan kini aku terhenti di sebuah padang rumput yang gersang. Nyaris tampak tak ada kehidupan. Pohon-pohon dan rumputnya berwarna arang habis dibakar. Waktu seperti mundur tiga jam lebih awal. Langit tak pantas disebut cerah, namun tidak bisa pula disebut gelap. Ia kelabu dan sendu, sekalipun matahari kembali menampakkan diri. Aku keluar dari dalam mobil. Kepalaku kuajak berkeliling. “Ini bencana.”
Di sela-sela kelimbunganku, pikiranku bertanya banyak hal. Salah satunya tentang muasal kebiasaanku yang akhir-akhir ini sering mengunjungi tebing setiap pulang bekerja. Aku pun tak tahu jawaban pastinya. Dalam ingatanku yang tersendat-sendat, saat itu aku hanya ingin sendiri. Dan entah dari mana tebing ini tergambar begitu saja dalam benakku, lalu aku mencarinya. Dan ketika sudah berhasil kutemukan, aku merasa akrab dengannya. Setiap berdiri di atas tebing itu, hatiku tenang.
Sekarang, apa yang ada di hadapanku yang kini mulai mengusik. Di sebelah timur, yang baru kusadari, berdiri sebuah bangunan tua. Kayu-kayunya, kendatipun dilihat dari jarak belasan meter, ia tampak rapuh dan reyot. Dari atas gentingnya keluar kabut kelabu yang pekat. Ah, mungkinkah?
Kakiku seperti memiliki kehendaknya sendiri. Ia menyeret tubuhku untuk mendekati bangunan tua itu. Aku sepenuhnya tak merasakan kakiku menjejak ke tanah. Namun aku pasrahkan saja, sebab tak sanggup melawannya. Bulu-bulu halus di tengkuk dan lenganku meremang. Angin dari arah tenggara berpusing kian kencang. Tubuhku seperti hendak terbang. Saat aku melemparkan pandangan, kutemui lagi lelaki tua yang seminggu lalu kulihat. Masih sama-sama mengejutkannya. Kali ini ia menggeret sebuah tambang, di belakangnya ternyata sebuah angin tornado yang berputar-putar seperti anjing piaraan yang mengejar ekornya sendiri. Dalam genggaman tangan lainnya, ia memegang sebuah kurungan. Kini aku kian dekat padanya. Kulihat, dalam kurungan itu berisi anak-anak petir. Tapi tetap saja mereka ganas dan gahar. Setiap kali tubuhnya menyentuh besi kurungan, suara guntur terdengar dari langit-langit.
“Kakek!” aku tak ingin buang kesempatan. Ia menengok dengan wajah sekejam algojo saat akan mengeksekusi mati seorang terdakwa. Ia sungguh tak peduli. Lantas berjalan lagi menuju bangunan tua di hadapan kami.
Kukejar. Lalu kutepuk pundaknya. “Kek, siapa sebenarnya Kakek ini? dan di mana kita?”
Lagi-lagi ia menengok dengan sorot mata kejam. Namun kali ini ia bersuara. “Aku Mudakir. Sisanya tak lama lagi kau akan temukan sendiri jawabannya di dalam.” Anak-anak petir saling beradu. Seketika suara guntur tak tertahankan saling menyahut. Langit seolah hendak runtuh detik itu juga. Ia kembali berjalan. Entah bagaimana aku bisa percaya, angin tornado yang tingginya dua kali dari kantorku itu, berhasil masuk melalui pintu bangunan tua yang padahal hanya setinggi pohon randu dewasa.
Kini aku sudah ada di depan pintu. Satu langkah lagi, aku akan tahu akhir dari semuanya, begitu aku menerjemahkan maksud kakek Mudakir.
Rupanya, bangunan ini lebih cocok disebut gudang tua. Semua barang-barang rongsok nyaris bisa kau temukan. Sempalan kubah yang kuterka akibat terkaman tsunami beberapa tahun silam di barat sana, ada dan utuh. Pesawat yang konon lenyap misterius di kepulauan entah, tak kusangka, ada pula di dalam gudang yang membingungkan ini; dari luar, ia tampak tak begitu besar, namun saat kau sudah di dalam, barangkali kau bisa membangun Ibukota baru yang lebih luas di dalam sini. Dan benar, aroma minyak kasturi semerbak di sekujur dinding dan atap bangunan.
Aku terus berjalan sampai kemudian terhenti oleh dua hal: pertama, bocah yang menghilangkan kombinasi simbol di mobilku, ia benar ada di sini dan ketika itu aku tak lagi penasaran padanya. Sebab semua keajaiban di dalam bangunan tua lebih menarik minatku. Dari jari-jarinya keluar sinar seperti lampu tembak. Ia melakukannya lagi, kali ini pada tubuh pesawat. Baiklah, setidaknya aku sudah mengantongi satu jawaban dan aku puas; kedua, sosok di balik ini semua. Kau tahu, aku menduga sedemikian cepat sebab dari jarak tak kurang tiga meter di hadapanku, seseorang tengah duduk memunggungiku. Ia tampak serius dengan apa yang tengah dikerjakannya. Suara, “tik-tak-tok-tik-tak-tok” berulang-ulang terdengar dari mejanya. Ia tengah mengetik memakai mesin tik usang.
“Ma-maaf. Siapa kamu?” aku gegap. Kedua lututku bergetar. Ruangan seketika terasa panas. Kulonggarkan kerah kemeja kerjaku.
Ia berhenti mengetik? Belum..., ia sedang memberi jeda rupanya. Menghela napas, kemudian, ‘tik!’
“Selesai!” serunya lantang. Lelaki yang kutaksir berusia duapuluh limaan itu, membalik badan. Ia hanya berkata satu kalimat saja, dan semuanya berakhir, “kembalilah, kau sudah selesai kutulis.”
Cilegon, 10 September 2016
2 komentar
Wah, keren banget cerpennya
ReplyDeletemakasih yuni :D
Delete