[SELF-DEPRESSION] SEBERAPA PENTINGKAH MELAKUKAN PERJALANAN DALAM HIDUPMU?
February 17, 2017image by: sinarharapan.co |
Hujan di luar dan kering di
dalam. Tubuh saya bahkan terasa kosong. Setiap kali mendapati diri dengan
perasaan yang ganjil begini, saya memilih untuk membaca buku. Pada momen
tertentu, ada keterkaitan yang sulit sekali dijelaskan antara perasaan saya dan
isi buku yang hendak maupun sedang dibaca (dalam istilah Paulo Coelho disebut Faal). Tak melulu ia menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan dalam benak saya, tetapi bisa juga berupa
‘dugaan’, ‘tuduhan’ dan ‘pertanyaan’ lainnya. Semacam berkonsultasi dengan seorang
psikiater yang menjawab pertanyaan pasiennya dengan sebuah pertanyaan baru.
Malam ini saya memutuskan untuk
menuliskannya dalam tajuk, “Self-Depression” yang belakangan mengisi jurnal
atawa blog pribadi saya ini. Bagi yang belum tahu, kolom ini akan bicara apa
saja secara random soal pikiran-pikiran yang mengganggu di kepala saya; itu pun
bila saya memiliki waktu luang di antara kesibukan bermalas-malasan saya yang
rutin.
Pernahkah Anda begitu terbuka
ketika bertemu dengan orang baru (asing)?
Hal yang biasa ditemui adalah
ketika kita sedang menunggu bus, atau di dalam bus. Orang yang ada di sebelah
kita entah siapa kita tidak mengenalnya. Namun, kita bisa bicara banyak
dengannya saat ada satu saja obrolan pemicu. Tentu tidak sering dan selalu
memancing percakapan panjang, tapi bukan berarti tidak pernah.
Adakalanya saat kita tidak
mengenal orang lain, justru di sanalah kita bisa sebebasnya bicara apa pun; semau
kita. Tanpa perlu ada tedeng aling-aling, merasa tersinggung dan was-was soal
kehidupan pribadi kita. Itulah yang beberapa kali pernah saya lakukan. Listening is loving, begitulah kata François
Lelord dalam bukunya, Hector and the
Search for Happiness. Itu pula yang sering saya alami. Saya lebih banyak
menjadi pendengar ketimbang pembicara, namun toh saya menikmatinya juga. Ada pengalaman-pengalaman
tak terduga saat mendapati grundelan,
unek-unek, curhatan orang lain. Di lain sisi saya pernah mengalaminya, di lain
hal saya sama sekali baru tentang cerita yang dituturkan olehnya. Apalagi,
sebagai orang yang gemar menulis, mendapati kisah-kisah unik dengan segala
problemanya itu saya bisa menemukan ide baru untuk kemudian saya rekonstruksi ceritanya dengan sedikit bumbu khas dalam dunia fiksi yang saya geluti.
Sialnya, dua bulan terakhir saya
benar-benar mandek. Ini seharusnya menjadi sebuah rahasia saja, sebab terbilang
“memalukan”, akan tetapi saya butuh berbagi. Barangkali, kalaupun cerita ini
tidak berguna untuk orang lain, setidaknya ada manfaatnya untuk saya. Segala keresahan
ketika telah dituangkan biasanya kemudahan akan menghampiri kita, dan saya
percaya itu. Saya hanya sedang memperbanyak bacaan dan menonton film. Kemandekan
macam begini tentu semua penulis pernah mengalaminya; mungkin pula semua
orang-orang yang bekerja dalam bidang yang menuntut kreativitas dan
mengedepankan inovasi secara progresif sangat sering. Penulis harus terus aktif
dan memberikan pandangan serta gagasannya kepada pembaca. Karenanya saya
memutuskan untuk menulis ini meski tanpa didasari gagasan yang jelas.
Setelah saya amati, beberapa hari
ini saya belum melakukan perjalanan yang sebenar-benarnya perjalanan. Sesuatu aktivitas
yang memicu daya khayal dan imajinasi saya untuk menemukan gagasan-gagasan
serta permenungan baru. Belakangan saya hanya dipusingkan dengan kegiatan
bolak-balik kampus, berkumpul dengan kawan yang itu-itu saja, juga kegiatan
sastra yang tidak begitu banyak mengundang gairah. Tetapi tentu saja aktivitas
demikian tidak bisa menjadi alasan saya mandek dalam menulis, khususnya fiksi. Segalanya
kembali dalam diri saya sendiri; komitmen!
Sekali lagi, saya butuh melakukan
perjalanan jauh seorang diri, kalaupun berdua dengan orang yang akrab jangan
terlalu banyak interaksi, agar saya bisa mendengarkan suara lain; suara semesta.
Saya butuh melihat, memandang, merasakan, merenungi, mencermati keramaian. Saya
yakin ini akan berhasil dan akan membangkitkan gairah saya dalam menulis. Saya percaya
itu, sungguh. Tetapi, hendak ke mana tujuan membawa kaki ini pergi?
Setelah membaca wawancaranya,
saya semakin yakin untuk memasukkan nama Paulo Coelho kejajaran penulis idola
saya. Cara bertuturnya yang sederhana namun mengena, apa adanya, jujur dan
teratur, rupa-rupanya sebagian besar kisah yang tertuang adalah pengalaman
pribadi penulis. Semua bermula dari perjalanan rohaninya (Ziarah ke Santiago). Demikianlah
akhirnya saya memutuskan untuk melakukan perjalanan. Barangkali proses kreatif
antar penulis bisa sangat berbeda-beda, namun entah saya menemukan kecocokan dengan
gaya kepenulisan Coelho.
Pengalaman-pengalamannya sangat
fantastis, mulai dari menjadi pemuda pemberontak saat sekolah, dianggap gila
hingga dimasukkan ke rumah sakit jiwa, pecandu narkoba, mengikuti aliran sekte
ekstremis tertentu, lalu menjadi atheis hingga sampai kembali ke kepercayaannya
yang semula; Kristen Katolik taat. Ia sekarang justru bisa disebut sebagai pengkhotbah
setelah melalui perjalanan panjang yang luar biasa itu dan bukunya
diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia; konon banyak mengubah dan
memengaruhi kehidupan pembacanya. Semua itu tersebab ia telah jujur dalam
buku-bukunya dan menyampaikan kebenaran meski dengan luka-luka di sekujur perjalanannya.
“Saya menuliskan ini untuk diri saya sendiri. Kebetulan ada pembaca yang merasa
bahwa saya sedang mengisahkan kehidupannya, maka kemudian ia menjadi pembaca
karya-karya saya,” kurang lebih begitu ucap Coelho dalam salah satu
wawancaranya.
upaya untuk ria dengan memamerkan koleksi buku karya Paulo Coelho |
Dan pada akhirnya, hidup adalah
perjalanan. Selamat berjalan-jalan, wahai jiwa-jiwa kesepian. Sebab kesunyian
adalah altar paling tinggi bagimu yang bosan dan merasa asing dalam keramaian.[]
Cilegon, 17 Februari 2017.
2 komentar
"...itu pun bila saya memiliki waktu luang di antara kesibukan bermalas-malasan saya yang rutin." Bermalasnya seorang penulis adalah menulis. Coelho menulis untuk dirinya sendiri, Kang Ade juga menulis untuk "dirinya sendiri," tapi akhirnya kang Ade yang jadi panutan penulis muda Banten, Kang. Selain dari Kang Nidu.
ReplyDeletebeban sekali jadi panutan. mulanya menulis untuk diri sendiri, bonusnya ternyata berguna untuk orang lain.
Delete