[CERPEN] BALADA PENYAIR (Biem.co, 12 Maret 2017)
March 12, 2017image by: biem.co |
Badrun melangkah keluar dari sebuah toko buku. Sekali lagi ia buka dompetnya. Satu lembar uang kertas dua ribuan ia ambil. Pikirannya sibuk bertanya, “kepada siapa lagi buku-buku ini harus saya tawarkan?” belum ia mendapatkan jawaban, lekas ia menaiki sepeda motornya.
“Ya, terus-terus...,” seru seorang juru parkir di belakangnya.
“Terima kasih, Pak.” Ia sodorkan lembaran uang tadi. Sekarang, ia
menghitung, uangnya tinggal tiga ribu. Sebelumnya sepuluh ribu rupiah sudah ia
pakai untuk membeli bensin. Bahan bakar naik, barang-barang lain ikut naik.
Menjadi seorang guru yang merangkap penyair, pikirnya kemudian, bukanlah
pilihan yang bijak.
Ia membawa motornya pada kecepatan sedang. Perkataan pemilik toko tadi,
toko buku yang tidak besar-besar amat itu, masih ia ingat:
“Kami bukan menolak. Buku-buku dari penulis besar saja belum semua habis,
kami hanya tak mau membuat Pak Badrun menunggu lama bila bukunya dititip-jual
pada kami. Barangkali, kalau musim pembeli sedang ramai, kami akan hubungi Pak
Badrun.”
Hal berikutnya yang terjadi, ia mengucapkan, “tidak apa-apa, terima kasih,”
sembari memberikan satu buah buku puisi tunggalnya yang ia cetak sendiri
sekitar seratus eksemplar, dengan uangnya sendiri, yang ia sisihkan dari
gajinya tiga bulan terakhir.
Setelah itu, ia menutup pintu dari luar.
Bila ditelaah, ucap Badrun menahan senyum getirnya, lucu juga, ya. Untuk
mendapati buku laku saja harus menunggu ‘musim-pembeli-ramai’(?). Apa separah
itu minat baca warga negeri ini? tapi, ah, saya tak begitu percaya, katanya
menengok ke gedung-gedung pencakar langit, karya bagus adalah karya bagus. Ia
akan tetap mendapatkan pembacanya sendiri, baik saat musim maupun tidak. Apa pembaca buku seperti hujan, begitu? Ia tak
selalu datang setiap hari. Sekalinya datang, ia keroyokan?
Azan dzuhur baru saja berhenti menggema. Jarak rumahnya masih sekitar
satu kilometer lagi. Ia memilih untuk menepi sejenak di sebuah musala pinggir
jalan raya. Di luar pagarnya, seorang nenek tengah meringkuk merangkul kaki.
Badrun parkirkan motornya tak jauh di belakang nenek itu. Sekilas, ia mengira
kalau perempuan yang ditaksir usianya tujuh puluhan itu seorang pengemis. Namun
saat akan memasuki pelataran musala, ia menoleh. Rupanya ia keliru. Di depan si
nenek ada sebakul kacang rebus.
“Punten, Nek, berapaan kacang
rebusnya?”
Kebaya yang ia kenakan tampak lusuh. Belum lagi rambut keperak-perakannya
yang terurai berantakan ditutupi oleh kerudung abu-abu secara asal.
“Berapa saja boleh, Nak. Silakan,” suaranya gemetar. Badrun tak kuasa mendengarnya.
Ada sesak yang tiba-tiba mampir di dadanya. Teguran
apa lagi ini? hatinya berbisik. Ketika banyak orang-orang yang badannya
masih tampak bugar memilih menjadi pengemis, nenek itu tidak demikian. Badrun
masih mematung. Ia memandang ke dalam musala. Iqamah terdengar dan jamaah yang
hanya beberapa orang itu membuat saf.
“Saya salat dulu, ya, Nek.”
Ia permisi. Lekas mengambil air wudhu, membasuh wajahnya perlahan-lahan,
sembari mengingat-ingat keluhannya sepanjang jalan tadi; bahkan sejak kemarin dan
kemarin lagi. Banyak hal yang terlewat untuk ia syukuri. Usai berwudhu, ia
gegas turut salat berjamaah.
Cuaca hari itu benar-benar panas. Badrun sudah selesai berdoa. Ia sudah
ada di luar. Ia duduk sebentar, meluruskan kakinya dan menyandarkan punggungnya
di tembok. Hampir saja ada yang terlupa, gumamnya. Ia mengeluarkan lagi
dompetnya, tiga lembar seribuan ia tarik. Lalu memakai sepatunya. Saat akan
beranjak menuju si nenek, ternyata ia tak lagi sendiri. Ada gadis kecil
bersamanya. Barangkali, itu cucunya.
Para jamaah lain, yang juga bukan warga sekitar, sudah pulang dan kembali
melanjutkan perjalanan. Namun tidak dengan Badrun. Ia memilih untuk membeli
kacang rebus si nenek lebih dahulu.
“Kecapnya habis, sudah makan seadanya saja dulu. Pulang-pulang, nanti
Nenek belikan.” Badrun mencuri dengar. Meski usianya sudah empatpuluh delapan,
pendengarannya masih lumayan baik.
“Nggak mau, nggak mau. Masa sama nasi doang?”
Tak banyak yang bisa Badrun lakukan. Bukan karena enggan, tapi sebab ia
tak punya uang lagi hari itu. Ia tak mau pula memaksakan kemampuannya.
“Kenapa cantik? Kok, cemberut, gitu?”
Bocah itu tidak peduli. Ia menatap kesal ke neneknya.
“Oh, nggak apa-apa, kok. Biasa..., anak-anak,” jawab Neneknya, “dia biasa
makan sama kecap. Suka sekali, Nak. Kebetulan nenek lupa bawa. Nggak lama lagi
juga dia diam, kok.”
Angin berkesiur. Daun-daun kering, yang ada di pelataran musala itu,
berguguran. Pohon mangganya belum berbuah. Belum musim. Badrun mendongak ke
pohon-pohon itu, ia teringat kalau Fira, anak tunggalnya yang masih berusia
tujuh tahun, juga senang sekali makan dengan kecap. Lalu mendadak ia ingat pula
pada ibunya Fira. Badrun termasuk menikah di usia kelewat matang. Istrinya saat
itu masih berusia duapuluh enam. Nahasnya, ketika Fira lahir, ia harus
berpulang. “Tuhan sayang padanya,” begitu ia berucap saat Fira bertanya ke mana
ibunya. Hingga kini ia belum sempat terpikir untuk mencari penggantinya.
“Saya beli kacangnya, Nek.” Ia menyodorkan uang tiga ribu rupiah itu. Itu
adalah uang terakhir yang ia punya. Sekarang tanggal tua, hari gajian masih
satu minggu lagi. Hutangnya di warung sudah terlalu banyak. Apalagi pada
teman-temannya.
Badrun pulang dengan membawa sebungkus kacang rebus. Ia tak begitu suka
kacang rebus. Fira juga. Sepanjang jalan pun ia berpikir, untuk apa ia membeli
kacang rebus?
Fira tinggal di rumah bibinya selama Badrun pergi mengajar. Bapaknya itu
pernah berjanji akan menyekolahkan ia di usia delapan tahun. Banyak hal yang
Badrun pikirkan sebelum ia menyekolahkan Fira. Biaya tentu saja hal utama,
namun hal lainnya, Fira masih terlalu kecil. Orang-orang yang melihatnya
sekilas pasti mengira ia masih berusia lima atau enam. Akan tetapi, bila sudah
melihat caranya berbicara, mereka akan berpikir ulang.
“Bapak pulaaang!!!” serunya lantang dari rumah bibinya. Ia gegas menyusul
bapaknya. Rumah mereka bersebelahan. Fira akan kembali lagi ke bapaknya saat
siang hari. Badrun berhutang banyak pada kebaikan adiknya itu.
“Fira mau kacang?”
Dia menggeleng. Bibinya keluar menyusul. “Dia tak mau makan sebelum
Bapaknya pulang. Sudah saya bujuk berulang kali.”
“Baiklah, Neni. Kau terlampau baik menjadi bibinya. Biar saya hadiahi
kacang ini untukmu.” Fira tersenyum, ia berjalan masuk bersama bapaknya sembari
terus memeluknya. Sementara Neni dan suaminya sudah bersiap pergi ke pernikahan
temannya.
Jam makan siang sudah tiba. Neni sudah memasakkan nasi dan telur dadar.
Semuanya telah terhidang di meja makan.
“Pak lapar,” ucap Fira manja. Badrun masih di kamar, ia tengah berganti
pakaian.
Fira berlari ke
dapur. ia bulak-balik membuka lemari makan. Entah apa yang dicarinya hingga
mengusik rasa ingin tahu bapaknya.
“Cari apa, Fira?”
“Beli kecap, Pak. Fira nggak mau
makan kalau nggak sama kecap!” ada sedikit rasa jengkel mengerumuni hati
Badrun, tapi toh ia cenderung lebih merasa gemas. Tanpa berpikir ada yang
kurang, ia bergegas pergi ke kamarnya. Merogoh kantong celana, mengambil dompet
dan ia membukanya. Badrun benar-benar lupa kalau ia sudah kehabisan uang hari
itu. Saat kembali ke dapur, wajahnya tampak sedih.
“Bapak nggak ada uang, Fira.”
Anak gadisnya, entah apa yang ada di benaknya, langsung berlari ke
kamarnya. Tanpa berucap apa pun. Badrun merasa kecewa pada diri sendiri. Ia tak
langsung menyusul Fira. Tubuhnya yang masih lelah, ia dudukkan pada kursi.
Napas beratnya ia embuskan.
Sekitar tiga menit berikutnya, Fira kembali.
“Pakai uang Fira aja dulu, Pak.” Ia menyodorkan uang kertas lima ribu
rupiah, uang dari celengannya. Bapaknya menatap haru. Ia tahu, uang segitu tak
cukup untuk membeli kecap botolan, namun kecap ketengan pun tak jadi soal.
Badrun tak banyak cakap. Soal perut memang tak boleh ditunda lama-lama.
Ia kembali setelah membeli kecap ketengan duaribu tiga. Masih ada sisa
uang tiga ribu. “Kembalinya buat Bapak, ya?”
“Enak aja. Itu buat besok beli kecap lagi, Pak,” ejek putri kecilnya itu.
Akhirnya, mereka sama-sama menyantap masakan Neni. Ada tawa dan kebahagiaan
yang timbul dari keluarga sederhana itu. Satu hal yang Badrun tahu, bahwa
penyair, tak mungkin lapar soal perasaan. Ia sudah kenyang dan akan selalu
kenyang. Yang jelas, besok royalti akan dikirim dari salah satu media cetak
yang memuat puisi-puisinya. Ia berharap tak akan dibohongi lagi. Tapi toh,
kalau dipikir-pikir, ia juga sudah kenyang dengan hal semacam itu. Kehidupan,
lagi-lagi, ia biarkan berjalan sebagaimana adanya. Tak mau banyak menuntut, tak
mau banyak mengeluh.
Satu Minggu sejak hari itu, seorang pemilik toko buku mengetuk pintu
rumahnya.
Cilegon,
21 November 2016
0 komentar