[SELF-DEPRESSION] APAKAH LELAKI TIDAK BOLEH MENANGIS?
March 05, 2017image by: KLIK |
Pertanyaan itu yang malam ini
berkelindan di benak saya. Bayangan tentang beberapa orang terus menggerayangi pikiran
saya yang padahal butuh istirahat ini. Untuk apa saya repot-repot menyalakan
laptop, dengan mata setengah mengantuk dan tubuh yang pegal, kemudian
menuangkan hal-hal yang sebetulnya tidak begitu penting-penting amat ini, barangkali.
Sialnya, saya mau melakukan hal
tersebut karena kalau tidak saya tuangkan, saya akan sangat sulit sekali untuk
memejamkan mata. Padahal, baru saja orang yang saya rindukan itu—untuk sekian
lama—saya chat lagi dan membalas
alakadarnya dan datar saja. Berbeda seperti beberapa tahun lampau ketika awal
kita membuka percakapan.
Rupanya bukan berhenti di satu
orang. Ada wajah lain yang juga turut ambil kendali atas pikiran-pikiran saya. Ia
adalah teman dekat yang akhirnya menikah dengan sahabat karib saya. Saya yang
mengenalkan, mereka yang jadian. Lalu teringat lirik lagu berjudul, Menyesal yang dinyanyikan oleh Ressa
Herlambang: “Terkadang kumenyesal, mengapa kukenalkan dia padamu....”
Orang-orang ini, adalah
orang-orang yang berhasil menyemangati saya setelah keluarga. Bisa dekat
dengannya saja saya seperti mendapatkan energi yang begitu besar. Salah satunya
untuk terus berkarya; khususnya di bidang tulis-menulis yang saya tekuni ini. Saya
bukannya tak mau pacaran atau memiliki kekasih, ada hal-hal lain yang saya rasa
jauh lebih penting untuk dipikirkan dan dikejar—sekarang ini. Lebih-lebih saya
masih sulit lepas dari jerat bayang-bayang teman dekat (bisa dibilang gebetan)
yang sudah break’in my heart itu.
Malam ini, i want to tell you about something!
Kita kesampingkan dulu soal gebetan
yang sudah menikah dengan sahabat saya itu. Saya tidak bisa bicara jauh tentang
hal itu. Yang ingin saya bicarakan adalah mereka orang-orang kecil yang merasa
besar itu.
Rupa-rupanya, kenapa mereka
menjaga jarak dengan saya tak lain karena mereka merasa sudah berada di posisi
atas. Tentu ini bukan hanya sebuah prasangka, tetapi didasari oleh realitas
yang ada. Barangkali mereka sudah merasa tak cocok lagi berkawan dan bertegur
sapa dengan saya. Ada jarak yang dibuat sedemikian jauh. Kalaupun mereka
menghubungi saya lebih dulu, itu karena mereka ada perlu dan butuh bantuan. Bisa
tentang membagikan hal-hal yang tidak ingin saya lakukan di akun pribadi saya.
Bentuknya begitu memaksa. Kalau saya jabarkan alasannya kenapa tidak ingin
melakukannya, secara ajaib akun saya langsung diblokir. Sangat kekanak-kanakan.
Itu satu hal. Untuk yang lainnya, ada yang bicara sedikit sekali dan seolah tak
penting meladeni ucapan-ucapan saya. Padahal, dulu mereka bisa bicara
berjam-jam dengan saya. Ya, masa ketika mereka sedang berkontemplasi dan
sepertinya menganggap saya tak lebih dari pendengar setianya saja. Sial betul!
Saya bukannya tak mensyukuri atas
keberhasilannya, hanya saja saya merasa it’s
not fair! Seharusnya, mereka sadar kalau dunia akan terus berputar dan
bergerak. Kita hanya sedang berada di kayuhan sepeda. Akan tiba waktunya berada
di atas, dan keadaan kita kembali ke bawah itu sangat besar kemungkinannya. Harus
bisa menyeimbangkan kayuhan sampai kita sampai ke tujuan. Entahlah, ini pengandaian
yang sesuai atau tidak. Yang jelas, saya malam ini benar-benar kesal. Mengapa orang-orang
macam mereka terus saja mengganggu dan sulit enyah dari dalam tempurung kepala saya. Dan bodohnya lagi, saya
dibuat cengeng akan hal ini—sebegitu berartinyakah mereka (?). Pertanyaannya
kemudian, kembali ke judul awal: Apakah
lelaki tak boleh menangis?
Beberapa waktu lalu, saya
menghadiri acara Kang Maman Suherman (Notulen ILK). Ia bertanya pada audiens soal
itu. Ketika di bagian ia berkisah soal “kebohongan-kebohongan” Ibunya, ia
menguraikan airmata, dan itu mengundang kesedihan yang sama pada penonton, saya
salah satunya. Itu bicara perjuangan ibu, siapapun yang memiliki hati, pasti
akan tersentuh. Tetapi, lepas dari itu, kenapa untuk hal-hal remeh macam begini
saya juga melakukan hal serupa? Ada apa? Mungkinkah ada baut yang kendor dan
butuh perbaikan?
Bicara perbaikan, sejak 5 hari
kemarin saya sulit berkomunikasi via media sosial. Ponsel saya yang dalam
bentuk tablet itu harus dibawa ke UGD. Mendadak ia rusak dan sulit mendapatkan
penanganan dari para dokter ahli (?). Entah disebut ahli atau bukan, wong
buktinya mereka belum berhasil membuat ponsel saya kembali sehat! Ini
sungguh-sungguh menjengkelkan!
Beruntungnya perkara ponsel rusak
itu tak mengundang airmata saya berlinang. Sebab percuma saja, airmata tidak
bisa menyembuhkan sesuatu yang telah rusak. Ia hanya sebagai penenang saja. Tak
bisa mengembalikan apapun dalam keadaan utuh. Ia tak lebih sebagai pembuat rasa
plong di dada, untuk beberapa waktu kemudian kita dibuat resah kembali. Namun bila
dipikir, kita terlahir tanpa membawa apa-apa, lantas kenapa kita selalu merasa
kehilangan sesuatu, ya?
Bila airmata bisa dijual,
barangkali esok saya bisa kaya.[]
Cilegon, 04 Maret 2017
3 komentar
Accidentally find your site, and i like the way you write--heart touching
ReplyDeleteKeep writing!
thank you, i'm appreciated~
DeleteTerharu aku
ReplyDelete