[ESAI] Kakus, Budaya Antre dan Kejanggalan Keislaman Kita
June 07, 2017image by: XNY |
Mukadimah
Bila mendengar sebutan ‘toilet’, sebenarnya seperti masih menyimpan kesan sebuah ruang kamar kecil atau kamar mandi yang bersih dan terawat. Kelas elitelah. Persis seperti apa yang ditulis Atih Ardiansyah yang dimuat Radar Banten Sabtu lalu, (27/5) berjudul, “Kamar Mandi dan Persoalan Kebangsaan Kita” yang masih bermain aman dalam mengkritisi keadaan tempat pembuangan hajat itu. Maka karenanya, saya memilih kata ‘Kakus’—masih lebih halus tinimbang jamban—untuk merepresentasikan keadaan kamar mandi yang tidak terawat dan buruknya na’udzhubillah di lingkungan kampus atau tempat ibadah di daerah Banten.
Suatu kali, seorang kawan dari kampus lain—yang masih di daerah Banten—berkunjung ke kampus tempat saya kuliah. Ia bertanya di mana letak kakusnya. Saya beri ia arah tempatnya dan membiarkannya pergi sendirian. Tak lama ia menyusul saya yang menunggu di parkiran. Saat itu kampus cukup ramai lantaran sedang ada acara berlangsung yang mengundang banyak mahasiswa dari kampus lain. Kawan saya itu menegur dan membuat saya malu untuk beberapa saat. Ia berkata kalau kakus di kampus saya bau dan kotor, sangat menjijikan. Karena penasaran lekas saya buktikan, dan memang..., ia tak berbohong.
Kemudian saya jelaskan kalau mungkin karena terlalu banyak orang dan yang memakai kakus itu bukan hanya mahasiswa di kampus saya. Bahkan sempat ingin saya arahkan—untuk sekadar membuktikan—kalau kakus di lantai 2 dan seterusnya pasti bersih. Namun ia tak butuh pembuktian itu. Apa gunanya pula saya bersikukuh membela sesuatu yang jelas buruknya?
Sampai di suatu hari saya bergantian datang ke kampusnya dan menemukan sesuatu yang jauh lebih buruk. Selain keadaan yang tidak memungkinkan untuk buang air kecil maupun besar, kakus di kampusnya tak tersedia air. Apa kamu pernah membayangkan kita cebok cukup dengan bertayamum?
Lantas apa yang bisa disimpulkan? Ya tidak ada lagi selain, kakus di kampus daerah Banten buruk seburuk-buruknya bagai tidak ada lagi yang lebih buruk—meskipun belum semuanya saya lihat secara langsung, tapi saya siap mendapatkan klaim-klaim bagi yang tidak sepakat.
Padahal, sebagai daerah yang dikenal kereligiositasannya, sudah seharusnya kita menjadi panutan dalam menjaga kebersihan kakus, sebagaimana kata mutiara yang selalu didengungkan, “kebersihan sebagian dari iman” yang sering keliru dianggap sebagai hadist Nabi itu. Apalagi mahasiswa sebagai agent of (social) change. Kalau masih ingin menyandang julukan itu, kritislah untuk hal-hal yang dianggap sepele, tak perlu berbicara jauh soal kemanusiaan dan kebangsaan kita yang runyam ini. Ubahlah sesuatu (juga dirimu) yang dekat dan kembalikan sebagaimana mestinya.
Budaya Mengantre
Mari melompat dulu ke persoalan berikutnya. Ada hal lain yang jauh lebih menggemaskan yang terjadi dengan keislaman kita. Saya tak ada upaya menggenalisir bahwa yang melakukan kekeliruan itu umat mayoritas, tetapi saya siap bertaruh kalau itu benar adanya. Yang kita temui belakangan adalah wajah muslim yang tergesa-gesa dalam menghadapi masalah, tanpa mau bertabayyun lebih dahulu. Dan sepertinya saya tak perlulah menyebutkan satu per satu sampel kasusnya.
Yang jelas, untuk mengkomper itu bisa kita lihat dari para pengendara di jalan raya saat menghadapi lampu lalulintas. Ketika lampu sedang berwarna merah, ketaksabaran mereka terlihat dari cara mengambil wilayah bergaris putih yang dikhususkan bagi pengendara “belok kiri langsung”. Menjelang lampu kuning menuju lampu hijau, suara deham, yang diwakili nyaring klakson, saling bersahutan. Entah dalam keadaan berpuasa ini apakah hal itu akan menurun atau justru semakin brutal. Yang pasti, kita telah mengambil hak milik orang lain, dan tentu saja agama apa pun tak pernah menganjurkan hal itu.
Hal menarik yang sering saya lakukan adalah ketika lampu hendak berganti warna hijau, saya mulai menghitung. Belum genap sampai hitungan ketiga, suara klakson biasanya langsung berdenging disertai ekspresi wajah penuh amarah dan mata yang seolah kita yang tak lekas berjalan mempunyai dosa yang tak terampuni. Bisa coba Anda lakukan kalau ingin mendapatkan perlakuan serupa. Dan itu baru satu contoh soal budaya mengantre yang tak berjalan sesuai “syariat” yang amat mudah kita temui. Atau kita sendirilah pelakunya (?)
Khotimah
Tempo lalu saya menulis, “Wajah Muslim Hari Ini” yang mengkritisi soal para penganut Islam yang kurang nyaman dipandang oleh umat beragama lain. Sampai hari ini sepertinya hal itu belum juga bergeser. Kejanggalan demi kejanggalan terus saja dikuak baik secara langsung maupun tidak langsung oleh kita sendiri. Keislaman kita benar-benar seperti barang taruhan; orang akan semakin percaya atau tidak sama sekali. Dua contoh di atas, soal kakus dan budaya antre, baru sedikitnya dari banyak kejanggalan dan kekontradiktifan yang bahkan secara sadar sering kita lakukan dalam waktu yang nyaris bersamaan.
Dan sebagai umat muslim, menjadi manusia pemaaf sepertinya sulit sekali diterapkan, atau ditemukan pelakonnya hari ini. Apakah kita hanya akan mengeluh dan terus-menerus menyalahkan dan merasa paling superioritas dalam segala hal? Nyatanya, hal itu tak mengubah apa pun menjadi lebih baik selain menumbuhkan kebencian yang semakin menggunung. Padahal, seharusnya yang kita lakukan adalah bersama-sama bermuhasabah, bertadabur dan mencari solusi terbaiknya.
Nilai-nilai keislaman justru yang sering kita jumpai malah di luar dari muslim sendiri. Misal dari sahabat saya yang atheis, ia memiliki empati dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Cara bertutur pun mereka lebih santun. Saat sedang melakukan perjalanan ke Singapura, meski saya tak tahu agama mereka apa, namun nyaris semuanya patuh dan saling menghormati; semisal memelankan kendaraan saat ada pejalan kaki yang sedang menyeberang, tidak mengambil hak orang lain ketika mengantre, mencintai kebersihan dan membantu menemukan jalan sampai benar-benar paham dan sebagainya.
Bukan berarti tidak ada umat muslim yang demikian, bisa jadi karena kebetulan saya bertemu dengan muslim yang janggal-janggal perangai dan keislamannya. Padahal di luar sana terlampau banyak pula muslim yang menerapkan nilai-nilai keislaman dengan sangat baik; dan saya berharap bisa berjumpa dengan mereka yang semacam itu.
Suatu kali, ketika saya nyaris putus asa pada keadaan, saya membayangkan seandainya Rasulullah SAW masih hidup sampai masa ini. Barangkali saya orang yang paling jauh bersembunyi lantaran malu menjadi umatnya yang tak jua menauladani anjuran-anjurannya. Sungguh, sampai di kalimat ini, saya gemetar dan menangis.[]
Cilegon, 29 Mei 2017 /
03 Ramadhan 1438 H.
0 komentar