image by www.ubudwritersfestival.com |
>>> daftar 15 penulis emerging UWRF 2017 <<<
Seseorang mengirimi saya foto bertuliskan, “7umat, 7 7uli 2017” lewat pesan Whatsapp yang menjelaskan kalau hari ini memiliki tanggal cantik dan istimewa. Sesaat saya memikirkan untuk mengambil momentum dan minimal membuat status Pesbuk yang bagus agar menuai banyak like!—(okesip, pamer pangkal like! Just It!)—lalu saya batalkan di waktu yang nyaris bersamaan. Akhirnya saya anggap hari Jum’at ini semuanya biasa-biasa saja; pergi ke kampus, ketemu rektor, dosen pembimbing, ketemu teman, membaca buku dan sebagainya dan sebagainya. Menariknya, ketika di jalan pulang, seseorang dari jauh menghubungi nomor ponsel saya.
Seseorang mengirimi saya foto bertuliskan, “7umat, 7 7uli 2017” lewat pesan Whatsapp yang menjelaskan kalau hari ini memiliki tanggal cantik dan istimewa. Sesaat saya memikirkan untuk mengambil momentum dan minimal membuat status Pesbuk yang bagus agar menuai banyak like!—(okesip, pamer pangkal like! Just It!)—lalu saya batalkan di waktu yang nyaris bersamaan. Akhirnya saya anggap hari Jum’at ini semuanya biasa-biasa saja; pergi ke kampus, ketemu rektor, dosen pembimbing, ketemu teman, membaca buku dan sebagainya dan sebagainya. Menariknya, ketika di jalan pulang, seseorang dari jauh menghubungi nomor ponsel saya.
Telepon itu sebetulnya sempat saya diamkan beberapa detik. Sebab, sewaktu melintasi jalan raya, tangan kiri saya sibuk membalas pesan dari seorang teman—sungguh, bagian ini tak baik bila dicontoh!—dan telepon masuk itu kepijit secara otomatis dan saya terus saja mengedit-baca-ulang pesan yang ingin saya balas. Setelah keluar dari menu pesan, rupanya ada sekian detik orang bicara sendirian tanpa saya tanggapi. Saya pun menurunkan tarikan gas motor dan berjalan ke sisi trotoar. Ponsel legendaris Nokia jadul itu saya selipkan ke dalam helm. Sialnya, suara tak kunjung jelas—selain bawaan hape yang sudah umur dan uzur, suara jalanan juga meraung-raung minta didengar.
“Selamat siang, Mas.”
“Halo, Mbak? Gimana? Halo..., Mbak?”
“Iya, Mas..., Begini..., I-iya, Mas....”
“Apa, Mbak? A-apa?”
Kami saling melempar tanya dan menunggu jawaban. Saya sekali lagi memastikan, itu telepon datang dari siapa. Ketika saya cek layar ponsel, rupanya itu nomor telepon kantor/rumah dengan kode wilayah yang saya ketahui kemudian, bukan nomor ponsel yang saya kenal.
“Benar dengan Mas Ade Ubaidil?” Suara merdu itu mengulang-ulang pertanyaan.
“I-iya benar, Mbak. Ada apa, ya?”
“Begini, Mas—”
“Bentar-bentar, Mbak. Maaf, saya sedang di jalan. Saya ke pinggir dulu, ya, cari tempat. Nggak kedengeran...,” saya memotong ucapannya. Saya yakin ini pertanda, entah apa, namun perasaan itu kuat sekali.
“Ya, Mas, silakan.”
Kemudian saya pun membawa motor ke arah kiri dan berhenti di sebuah toko yang sedang tutup. Suara jalanan perlahan menjauh. Seorang perempuan, yang belum saya kenal, di ujung telepon, sabar menunggu.
“Oke, Mbak. Silakan.”
“Perkenalkan, saya Sasa dari Ubud Writers and Readers Festival....”
Deg!
Dada saya bergemuruh. Saya yakin betul kalau ada yang melihat ekspresi saya saat itu pasti tampak bego sekali. Untungnya, sepi.
“Ya, Mbak, gimana-gimana...,” saya meminta ia untuk mengulang dan melanjutkan.
“Saya mau memastikan dulu, apa benar Mas Ade pernah meng-apply naskah ke Ubud?”
“I-iya, Mbak.” Meski saya tahu kalimat berikutnya dari dia apa, tapi telinga saya tetap menunggu “gong”-nya.
“Selamat, ya, Mas! Mas Ade Ubaidil terpilih sebagai salah satu Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017 yang akan diselenggarakan di Bali Oktober nanti....”
“Alhamdulillah. Waaah, ini serius, Mbak?”
“Betul, Mas. Selamat, ya!”
“Saya nggak percaya, Mbak....”
“Hehehe.... sekali lagi selamat, ya, Mas.” Saya membayangkan Mbak Sasa mungkin sedang tersenyum atau tertawa menanggapi pertanyaan bodoh saya yang terus diulang-ulang.
“Tapi mohon dirahasiakan dulu, ya, Mas. Pengumuman resminya hari Senin besok (itu sebabnya gue publish hari ini),” suaranya lembut dan terdengar begitu ramah. Sedangkan saya sedang senyum-senyum tidak jelas.
“Siap, Mbak. Sekali lagi terima kasih.”
“Ya, Mas Ade, sama-sama. Selamat, ya. Nanti lebih jelas akan kami kirimkan email untuk hal-hal lainnya. Selamat siang.”
“Siang, Mbak.”
Saya menghela napas cukup panjang. Mata menerawang jauh ke jalanan dengan senyum yang merekah. Lagi-lagi, saya percaya konsep mestakung. Ketika kau fokus pada satu hal, suatu saat, cepat atau lambat, dengan tetap memperjuangkannya, ia pasti akan kau dapat. Seperti yang, sering saya ulang-ulang di sebuah catatan, Paulo Coelho tuliskan dalam bukunya, The Alchemist, ia berkata: “ketika kita benar-benar menginginkan sesuatu, maka seluruh alam semesta akan bahu-membahu membantu kita untuk meraihnya.” Saya percayai itu.
Setelah saya tarik ke belakang, jauh sebelum hari ini, ternyata saya bermimpi melihat ombak besar tsunami bergulung-gulung mendatangi saya dan saya berdiri barang beberapa jenak, lalu lekas menutup pintu rumah. Meski saya tak betul-betul memercayai soal bunga tidur, namun saya tak menampik kalau hal itu bagian dari petunjuk-petunjuk alam semesta. Ya, mestakung..., semesta mendukung. Kemudian malam ini saya iseng cari arti mimpi tersebut, dan ada banyak versinya tapi saya ambil yang mirip-mirip serta mendekati, lalu saya mendapatkan jawaban yang membuat saya mengangguk-anggukan kepala:
[ Mimpi melihat tsunami di alam nyata: “Menyaksikan datangnya tsunami akan menjadi pengalaman yang paling buruk seumur hidup. Sebaliknya, di dalam mimpi, ketika melihat ombak besar tsunami hendak menghantam tempat di mana anda sedang berdiri maka mimpi tersebut memiliki arti sesuatu yang besar akan datang secara tiba-tiba. Tentunya arti mimpi melihat tsunami berkonotasi baik, bahwa sesuatu itu adalah kejutan dari (bagi) orang-orang terdekat Anda.” ]
Boleh percaya atau tidak, tapi saya percaya kalau kita adalah bagian dari semesta. Kalau kita mau sedikit saja menurunkan ego dan mau “mendengar”, semesta sebenarnya mampu berdialog dengan kita dan memberi banyak tanda yang bisa kita baca secara jelas. Sayangnya manusia merasa makhluk paling sempurna sesemesta raya, jadilah kita angkuh dan tak mau mendengar suara semesta.
Pada akhirnya, tanpa saya melakukan sesuatu untuk dikenang sebagai hari istimewa dengan tanggal yang serba tujuh (7), Allah memberikan keistimewaan itu secara tak terduga. Hari ini, sampai kapanpun tidak akan saya lupakan. Bukan tanggalnya yang istimewa lalu membuat sesuatu, tetapi karena sesuatulah tanggal dan hari ini menjadi luar biasa istimewa.
Semua ini berawal dari mimpi dan omongan-omongan ngelantur saya. Sering saya katakan ke teman-teman, ketika mimpi-mimpimu ditertawakan, terus sajalah berjalan. Cukup dengan fokus, percayai dan capai dengan mengerahkan usaha-usaha yang dua, tiga, sepuluh, seratus, seribu kali lebih besar dari orang-orang kebanyakan.
Terima kasih, teman-teman. Terima kasih untuk segala kepercayaan dan doa-doanya. Salah satu orang yang membuat saya terus memupuk mimpi ini adalah Mbak Puput Palipuring Tyas, alias Poet Si Buleg Darmi (alay lu, Njiiir!), Kakak saya yang baik hati. Andai saja ia tidak “memaksa” saya untuk mengirim naskah ke UWRF 2017, pasti hari ini tidak akan datang. Dia salah satu sahabat yang memahami saya dan mimpi-mimpi saya—dan tidak menertawakannya. Karenanya saat mendapatkan berita baik ini, dialah orang pertama yang saya hubungi. Saat di telepon dia langsung nembak, "Gimana, lu lolos, ya?" Sungguh menyebalkan. Kenapa dia bisa tahu? Saat saya tanya, "Kok, tahu?", "ya, nebak, aja. Kapan coba lu nelepon kalo bukan karena hal-hal penting." Saya kesal sekaligus gemas, "Sial lu! Mbak, terima kasih, ya. Gue percaya hari ini bakalan datang." Setelah itu dia diam beberapa saat. Pastikan saat sampai di Bali, kamulah orang pertama yang saya peluk, Mbak, kata saya kemudian.
Sampai bertemu di Ubud, Bali, Mbak~
ditulis di:
Cibeber-Cilegon,
7umat, 7/8 7uli 2017;