[Catatan] #UWRF17: Kisah yang Tak Tuntas-tuntas Dituliskan
February 09, 2018image by www.ubudwritersfestival.com |
Pukul 08.45 wita pelayan kamar hotel mengetuk pintu dari luar. Saya dan seorang kawan penulis emerging, Abdul Aziz Rasjid (Banyumas), kelimpungan mencari kunci kamarnya. Semalam, (27/10/17) kami habis menghadiri acara Private Dinner bersama Nh. Dini, penulis kanon Indonesia, di Pantjoran Retreat. Usai itu kami dengan mengendarai sepeda-motor-sewa-hasil-sokongan menuju Antonio Blanco untuk menyaksikan penampilan Eko Supriyanto dan Papermoon. Jadi wajar belaka kalau kami bangun agak telat, karena pulang larut malam sekitar pukul 02.00 wita—dan atas alasan itu juga saya ikut menginap di kamar Aziz.
Pagi itu Aziz mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi, paling tidak sebelum kuncinya ketemu. Ia bergegas mengecek saku celana, tas selempang, kantung kemeja, bawah bantal, meja televisi hingga balkon kamarnya. Saya, yang masih guling-guling di kasur dan setengah sadar seperti melihat adegan orang habis kena hipnotis, sialnya lekas berakhir setelah ia menyerah lalu bertanya, “kunci kamarnya di mana, ya, Bung?” belum saya menjawab, seseorang dari luar menyahut, “ini Mas, menggantung di luar.” Tepat setelah suara itu, kami bertukar tawa disertai umpatan dengan mulut yang belum gosok gigi.
Sejak tiba di Ubud-Bali, Aziz orang kedua yang saya temui dari 16 penulis emerging lainnya. Dari Banten, saya tidak berangkat sendirian, tetapi 3 orang sekaligus; Aksan Taqwin Embe (Tangerang), Istrinya dan anaknya. Tentu yang lolos seleksi penulis emerging hanya Aksan. Saat pertama kali bertemu saya mencandainya, “wih, sekeluarga, nih?”, “iya, nih, sekalian bulan madu,” serobot pikiran saya. Nyatanya, Aksan cukup tertawa kecil menjawab pertanyaan basa-basi saya itu.
Kami tiba di Ubud sekitar pukul 17.00 wita. Mulanya saya kira akan satu kamar dengan Aksan dkk (dan keluarga kecilnya), untungnya tidak. Setelah tahu, ternyata setiap penulis disponsori oleh patron-nya masing-masing. Bahkan kami beda hotel, namun jarak setiap hotel yang ditempati penulis emerging tidak terlalu jauh. Barangkali untuk memudahkan shuttle bus atau tim penjemput mengantar kami ke acara. Setiap acara yang melibatkan kami sebagai pembicara atau undangan, pasti akan diantar-jemput. Namun bila ada kegiatan atau agenda tersendiri di luar schedule yang sudah disepakati, panitia membebaskan kami. Untuk mudahnya, kami sewa motor.
Sebelum semua yang hanya ada di khayalan itu terjadi, saya hanya penulis yang gemar coba-coba. Pada “percobaan” yang ketigalah akhirnya naskah saya berhasil lolos. Tadinya pikiran picik saya sempat menduga, “jangan-jangan panitia dan juri kasihan pada saya, jadi meloloskan agar tidak depresi,” namun dugaan itu terbantahkan di hari ketika semua penulis emerging dikumpulkan. Serunie Unie (Surakarta) yang mengirimkan 4-5 kali naskahnya itu bertanya langsung ke Ibu Janete DeNeefe (Founder & Director #UWRF), Kadek Purnami (General Manager) dan I Wayan Juniarta (Indonesian Program Manager).
Bli Jun menanggapi kalau hal tersebut keliru. Para kurator dan penyelenggara murni menilai hanya dari karya tulisnya. “Kalaupun kemudian kalian lolos tahun ini, berarti memang naskah kalian sudah layak untuk dikenal pembaca internasional,” kurang lebih seperti itu. Mendengarnya, membuat perasaan saya menjadi sedikit lega.
Kami anggap ucapan Bli Jun sebagai motivasi untuk menjaga kualitas karya kami bahkan agar terus membaik. Paling tidak, kepercayaan diri kami mulai meningkat berkat ucapannya. Hal pendukung lainnya yang cukup ampuh adalah name tag / tanda pengenal yang bertuliskan speaker di leher kami. Beberapa peserta atau pengunjung tak segan-segan menyapa kami bahkan ada yang meminta foto dan tanda-tangan. Di antara belantara kesunyian dan kesuntukan dengan naskah, akhirnya saya bisa menikmati juga bonusnya—dan #UWRF yang berhasil mewujudkan itu.
Perjumpaan dengan sastrawan Indonesia pun terasa mudah berkat tanda pengenal itu. Nh. Dini, Seno Gumira Ajidarma, Laila S. Chudori, Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, Intan Paramaditha, Ahmad Fuadi dan penulis lainnya memosisikan kami sebagai kawan bicara yang “setara”—belum lagi dengan penulis dan pegiat seni dari mancanegara. Pelan-pelan rasa canggung pun memudar, meski dalam hati dag-dig-dug nggak keruan. Bagaimana tidak, para penulis yang saya baca karyanya selama ini, dengan mudah bisa mengobrol rileks dan makan bersama tanpa terburu-buru dan takut ditinggal pergi.
Jauh sebelum itu semua, ketika tahu nama saya muncul dalam daftar penulis terpilih emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017, saya cemas karena kemampuan berbahasa asing saya yang pas-pasan. Jangan-jangan nanti saat diskusi harus ngomong bahasa inggris, pikir saya. Awalnya, saya dikabarkan lolos lewat telepon tanggal 7 Juli 2017, sedangkan acara akan berlangsung tanggal 25-29 Oktober 2017. Ada sekitar waktu 3 bulan untuk saya belajar bahasa inggris lebih intens lagi. Sempat ingin ikut les dan sejenisnya, tapi karena keterbatasan biaya akhirnya saya belajar sendiri saja.
Ketika tiba waktunya dan saat panel saya, di hari pertama program dimulai, kekhawatiran itu hilang. Selain kami diberi kemudahan komunikasi dan mengatur jadwal lewat Liasion Officer (LO), ternyata penyelenggara menyiapkan interpreter profesional bagi masing-masing penulis. Kami tidak usah dipusingkan dengan bahasa inggris, cukup berbicara bahasa Indonesia saja dan nanti akan diterjemahkan, termasuk pertanyaan dari audiens yang kebanyakan warga asing itu, kami cukup menjawabinya dengan bahasa Indonesia.
Di blog pribadi saya sudah menuliskan perihal pengalaman terlibat di #UWF17. Ini catatan saya yang ke-4 yang juga masih berbicara soal keseruan acara tersebut. Namun, lagi-lagi saya merasa belum semuanya tertuang. Terlampau banyak hal menarik untuk dituliskan. Apalagi hanya dibatasi 700 kata. Yang jelas, saya sangat berterima kasih kepada semua pelaksana acara super keren ini. Kalau harus memilih satu kata untuk #UWRF, saya akan bilang: totalitas! Semua acara diskusi, pameran, pementasan seni dls, diatur sedemikian “niat”. Saya betul-betul beruntung bisa menyaksikan langsung acara sastra dan seni terbesar se-Asia Tenggara ini. Saya menjura untuk kerja keras kalian semua, guys!
Cilegon, 16 Januari 2018
_____________________________
*) tulisan ini pernah dimuat di website: www.ubudwritersfestival.com,(15/02/18)
0 komentar