[Cerpen] Budi Bertanya Soal Pancasila
March 20, 2018foto pribadi: haul kakek dan kakak |
Pak
Ruslan sudah tiba di depan sekolah. Bel pulang berbunyi. Pandangannya tertuju
pada ruang kelas 3, di sanalah anak semata wayangnya belajar. Anak-anak berebut
keluar kelas. Satu di antaranya terselip bocah gempal berlarian. Ia langsung
menuju gerbang sekolah. Senyumnya rekah.
“Halo
Ayah!”
“Hai,
Budi. Ayo lekas naik motor. Kita pulang,” sahut Ayahnya. Mereka pun gegas
menuju rumah.
Ketika
sampai rumah, Ibunya bertanya, “Bagaimana sekolahmu? Ada PR, nggak?”
Budi
menjawab dengan wajah yang lesu dan tampak capek. “Ada, Bu. Tentang Pancasila.
Budi hapal, tapi Budi nggak ngerti.”
“Memangnya
apa tugasnya?” tanya Ayah nimbrung.
“Bu
Guru minta kita menjelaskan maksud dan nilai-nilai dari setiap bulir Pancasila.”
Mendengar
itu ayahnya tersenyum, lalu berkata, “Oh, gampang, nanti ikut Ayah ngeriung
habis Ashar.” Budi tidak mengerti maksud ayahnya, apa hubungan dari nilai
Pancasila dengan ngeriung, tapi toh ia akhirnya nurut juga.
Saat
ikut hadir pada riungan dan mendapatkan posisi duduk, Ayahnya mulai
menjelaskan. “Apa sila pertama, Budi?” dengan mantap Budi menjawab, “Ketuhanan
yang Maha Esa.”
Lalu
Ayahnya menjelaskan. Dalam riungan, kita memuja dan memuji Tuhan yang Maha Esa,
itu berarti kita telah mengamalkan sila pertama. Ayahnya bertanya lagi, “Sila
kedua apa?”
Budi
yakin menjawab, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Ayahnya bangga
memiliki putra secerdas Budi.
“Coba
kamu perhatikan dari setiap orang yang hadir dalam riungan ini. Secara
berpakaian, posisi duduk, bahkan tempat duduknya sama rata sama rasa. Itulah
nilai yang ada dalam sila kedua,” Ayahnya menjelaskan. Budi memandang sekelilingnya,
ia mulai paham dan mengangguk-angguk.
“Sekarang,
apa sila ketiga?”
Budi
tampak berpikir sejenak. “Persatuan Indonesia.” Ayahnya menunjuk ke
bagian barat. “Lihat, kamu tahu Pak Poltak orang mana?”
“Dari
Medan, Yah.”
“Betul.
Nah, lalu di sebelahnya ada Pak Sarwono dari Jawa. Di depannya ada Pak Beta
dari Papua dan lain-lain. Kamu tahu maksud Ayah apa?” Budi menggeleng tak paham.
“Mereka
itu, meskipun berbeda-beda, tetapi, dalam riungan ini mereka bersatu. Duduk
bersama dan membaca puja-pujian yang serempak. Itulah nilai dari sila ke....”
“Ketiga,
Yah!” Budi memotong. Ayahnya menepuk bahunya bangga.
“Betul
sekali. Sekarang apa sila keempat?”
“Budi
lupa-lupa ingat, Yah. Kepanjangan....” Budi menundukkan kepalanya.
“Ayo
bareng-bareng,” Ayahnya mulai mengucapkan perlahan, karena riungan masih
berlangsung, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan.” Budi mulai teringat kembali.
“Kamu
lihat siapa yang memimpin riungan ini? Tuh, yang ada di tengah.”
“Yang
mimpin Pak Kiai Rosyid. Guru ngaji Budi, Yah.”
“Benar.
Pak Kiai Rosyid-lah yang memandu puja-pujian, yasinan dan tahlilan. Ayah dan
Budi kali ini sebagai rakyatnya. Dan dari sinilah sebagai pemimpin dan rakyat
harus saling bijaksana dan menghargai. Penunjukkan pemimpin doa pun lewat
musyawarat dulu kan? Lalu Pak Kiai mewakili kita semua. Inilah makna sila
keempat,” kali ini ayahnya menjelaskan cukup panjang.
Acara
riungan pun sudah sampai pada akhir. Pak Kiai Rosyid sekarang sedang memimpin
doa. Ketika doa selesai, pemilik rumah mulai membagi-bagikan berekat atau besek
kepada semua yang hadir termasuk Budi dan Ayahnya.
“Hayuk
sekarang kita pulang,” mereka berdiri. Tetapi Budi masih memasang wajah bingung.
“Tunggu
dulu, Yah. Kan pancasila ada lima. Sila kelima-nya apa?”
“Hmm...,
apa bunyinya?”
“Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jawab Budi mantap sambil berjalan
pulang.
“Nah,
ini.” Ayahnya menunjukkan besek/berekat yang ada digenggamannya. “Inilah nilai
dari sila kelima. Semua dibagi rata dan mendapatkan berekat setelah usai
riungan.” Mendengar jawaban itu, Budi mulai lega. Ia kini paham makna dan nilai
pada bulir-bulir Pancasila. Tetapi, saat akan belok ke gang, ia melihat Pak
Kiai Rosyid membawa dua berekat. Sedangkan ia dan bapaknya masing-masing satu.
Ia protes.
“Ayah,
katanya keadilan sosial, tapi kok Pak Kiai dapatnya dua?”
“Nak,
kamu nanti akan tahu, adil itu tidak mesti sama. Lihat pohon mangga di rumah
itu, kira-kira ayah butuh tangga nggak untuk mengambilnya?”
“Hmm...,
nggak, Yah. Ayah kan tinggi. Kalau Budi baru perlu tangga.”
“Nah,
itulah. Kalau misal tangga itu buat Ayah, apakah adil?”
Budi
menggeleng sesaat, lalu ia tersenyum.
“Budi
laper, nggak?”
“Laper
banget, Ayah.”
“Ayo
kita balapan sampai rumah. Kita makan berekat ini bareng Ibu,” ajak ayahnya.
Budi tidak mau kalah. Ia memulai lari lebih dulu. Ayahnya mengikuti dari
belakang.[]
Serang, 20 Maret 2018
Juri yang lain pas nyalamin saya bilang, "tulisan kamu bikin berat buat saya nentuin pemenangnya," lagi-lagi saya cuma ngakak hahaha~ *iseng-iseng berhadiah~ |
_________________________________________
*) tulisan ini diikutsertakan
dalam event menulis Flash Blogging dengan tema, "Implementasi
Nilai-nilai Pancasila dalam Bermedia Sosial" yang diselenggarakan oleh
Kominfo dan Pemerintahan Provinsi Banten di Hotel Le Dian, Serang, (20/03/18).
#Flashbloggingbanten
2 komentar
cieee... cie....
ReplyDeleteHahahaha ciyeee
Delete