[Esai] Seni Menjadi Tua dan Bijaksana (Biem.co, 03 Maret 2018)
March 04, 2018image by: biem.co |
Ciri paling mendasar bahwa
seseorang sudah tua adalah ketika ia mengingat-ingat masa lalunya. Masa
kejayaannya selama ia hidup di dunia ini. Barangkali, itulah cara ia agar,
paling tidak, merasa bisa hidup lebih lama. Sebab ia mulai ditunjukkan
batas-batas masa depannya lewat suara batuk yang kelewat sering, kepala gampang
pening, minus mata bertambah, rekreasi penyakit dalam tubuh dan anggota badan
yang lambat ketika bergerak.
Seno Gumira Ajidarma (SGA) melalui
bukunya, Kentut Kosmopolitan
(Koekoesan, 2008) berhasil menangkap fenomena tersebut. Di salah satu esainya
berjudul, “Menjadi Tua di Jakarta” (hal. 39) berbicara mengenai kehidupan
orang-orang yang hidup di kota metropolitan. Manusia seolah dihidupkan hanya
untuk bekerja. Melangkahkan kaki, mengendarai sepeda motor atau mobil dengan
tergesa-gesa. Tidak ada waktu untuk memandang sekitar, berinteraksi dengan
orang-orang yang ditemui, atau bahkan sekadar menghirup udara segar. Saking
sibuknya ia sampai tak sadar kalau usia terus bertambah, keriput di wajah
semakin kentara dan bagai menyaksikan sebuah penampilan sulap, ia dibuat takjub
karena telah menjelma menjadi seorang tua.
April nanti usia saya genap 25
tahun. Angka yang tepat untuk melangsungkan pernikahan, seperti yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Tempo hari saya menghadiri pernikahan seorang
teman di masa sekolah dulu. Ia bukan yang pertama. Di lingkaran pertemanan
seusia saya, hampir setengahnya dari jumlah bangku di kelas dulu sudah menikah.
Ketika bertemu dengan mereka, sebab waktu berkumpul terbaik dan paling kumplit adalah saat menghadiri acara
pernikahan teman, saya dengan sedikit ragu berkata, “ternyata kita sudah tua”.
Hampir semua dari mereka tergelak, kecuali seseorang dalam diri saya. Ia
menolak menjadi tua. Banyak hal yang masih ingin ia kerjakan. Menjadi tua, di
pikirannya, adalah menjadi seseorang yang tidak bisa lagi melakukan banyak hal
sesuka hati. Terlampau banyak aturan dan ada sesuatu yang harus dipertimbangkan
sebelum dikerjakan.
Menjadi tua adalah ketika
kebebasanmu sama artinya dengan ketiadaan. Isi kepala pun akan berganti; bukan
lagi soal jalan-jalan, bersenang-senang dengan sahabat, melakukan apa yang
disukai, vokal menanggapi isu sosial, belaga idealis, pulang larut malam atau
seminggu kemudian dan melakukan banyak kenakalan lainnya. Kepalamu, ketika tua
nanti hanya akan berisi; kenangan indah masa muda, memenuhi keperluan rumah
tangga, biaya sekolah anak, investasi hari tua, menimbun harta dan sebagainya
dan sebagainya. Kebebasanmu tercerabut bahkan sejak dalam pikiran. Prioritas
utama adalah keluarga dan bukan lagi menghibur diri sendiri.
Kebebasan masa muda dan masa
tuamu adalah dua hal yang memiliki makna yang berbeda. Ketika kamu bisa makan
daging kambing dan durian dalam waktu yang bersamaan, di masa tua itu adalah
kebebasan. Lain hal dengan mengembala kambing lalu bersembunyi di semak-semak
dan melempari pohon durian di ladang orang lain dengan batu-batu. Paling tidak,
saya berani menyampaikan suara seseorang dalam diri saya ini. Betapa keras
kepalanya ia ketika menolak menjadi tua.
Di usia muda, ketika kamu bekerja
pada orang lain dan kamu merasa tidak cocok keesokan harinya, kamu bisa
mengundurkan diri saat itu juga. Tiada hal yang perlu dipertimbangkan
matang-matang. Ya, untuk setuju. Tidak, untuk menolak. Gejolak darah mudamu
masih sangat dominan meski lebih sering lepas kontrol. Sedangkan ketika kamu
beranjak tua, ketika hidupmu bukan lagi hanya untuk dirimu, percayalah, arti
sebenarnya dari ya dan tidak akan kabur dalam benakmu.
Suka atau tidak dengan pekerjaan,
hati dan pikiranmu akan berusaha untuk membuat kepalamu mengangguk, tanpa
memberikan opsi lain. Dan bisa jadi kamu merasa itulah pilihan yang bijaksana.
Padahal, kamu melakukan sesuatu bukan lagi dilandasi atas dasar dedikasi dan
etos kerja. Di dalam tempurung kepalamu hanya ada uang, naik jabatan, menjilat
atasan, menjadi kaya raya dan mati masuk surga. Kamu akan melakukan itu semua
sebelum masa pensiun tiba!
SGA melihat ada dua tipe orang
ketika menghadapi masa pensiun: pertama, mereka yang takut masa pensiun datang
lebih awal, bahkan pensiun adalah momok yang mereka anggap bahwa segalanya
sudah selesai. Kedua, orang-orang yang meminta pensiun lebih cepat, karena
sadar betapa waktu hidup ini sangat terbatas untuk menyelesaikan sesuatu yang
betul-betul dikehendakinya, sehingga ia merasa harus pensiun sekarang juga agar
bisa segera benar-benar bekerja.
Jadi, masih menurut SGA, kita
sudah melihat tiga kemungkinan: (1) masa tua sebagai masa hidup baru yang
menggairahkan, dan ini tentu menyenangkan; (2) masa tua sebagai masa menjelang
kematian saja, dan meskipun orangnya pasrah ini sangat menyebalkan; (3) masa
tua yang sebenarnya masih potensial, tapi tidak mendapat jalan keluar, dan
inilah yang bikin frustasi, karena tiada ruang produktif bagi orang tua dalam
masyarakat Indonesia, kecuali bisa menjadi musisi dan legenda hidup seperti
Iwan Fals.
Di Jepang, seni origami, seni melipat kertas menjadi bentuk-bentuk
burung, katak, kura-kura dan banyak lagi adalah seni untuk manula—bukan untuk
balita. Dengan kata lain orang tua dengan segala kapasitasnya tetap dipandang
sebagai makhluk produktif, dan karya origami dihargai dengan penuh kasih atas
sesama, sama seperti menghormati orang tua.
Menjadi tua adalah sebuah
keniscayaan—andai kau berumur panjang. Cepat atau lambat masa itu akan tiba.
Menggantungkan segala kebutuhan dan keperluan pada mereka yang lebih muda
barangkali bisa diminimalisir bila kita nanti bisa berkata, “cukup, biarkan
saya melakukannya sendiri.”—dan di sanalah letak kebijaksaan yang sesungguhnya
sebagai orang tua telah dimulai.
Sering kita temui, di
perusahaan-perusahaan banyak pelamar yang didominasi usia muda (fresh graduation). Itu bukan lantaran
orang tua tidak mau bekerja, tetapi memang aturannya yang membatasi mereka.
Banyak pula kita dapati, bahkan mungkin kita sendiri, memperlakukan orang tua
yang masih sehat sebagai barang antik, dipelihara dan diberi makan, tetapi
tidak dibiarkan bekerja.
Sementara orang tua sendiri,
tulis SGA, mesti tidak merasa enak, tidak juga merasa bersalah dengan
penganggurannya—karena sudah terbentuk pendapatnya, bahwa menjadi tua hanya
berarti siap untuk meninggalkan dunia.
Kita tidak tahu andaikata ada
orang yang beranjak tua masih bersikeras ingin mengejar cita-citanya, tetapi
ruang dan waktunya kita batasi. Bila masa mudanya sudah terkekang oleh
rutinitas pekerjaan, siapa tahu ia ada upaya di usia tua nanti, ketika masa
pensiun tiba ingin melakukan sesuatu sesuai keinginannya.
Jangan sampai seperti kata SGA,
alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi
kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang
tidak menggugah semangat dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir
dengan pensiun tidak seberapa.[]
Cilegon, 22 Januari 2018
1 komentar
susah bukan berarti tidak bisa, Mas. hehe... Tulisan ini atas dasar kesotoyan seorang bocah usia 25 tahun saja, sangat subjektif. Mari sama-sama terus berproses. Salam kenal kembali, terima kasih sudah mampir~
ReplyDelete