[Cerpen] Neraka di Kolong Meja (Biem.co, 15 Juli 2018)
July 23, 2018image by biem.co |
Saya tidak berani membangunkan Mas Dwi dan Alessa yang tertidur di kolong ranjang. Entah apa alasan terkuatnya yang membuat mereka melakukannya. Tugas saya cukup memasak dan membersihkan rumah. Paling tidak, selama nyonya sedang pergi dengan suami barunya, saya bisa sedikit lebih tenang dan santai. Mas Dwi sangat pengertian. Ia mau meluangkan waktunya untuk menemani keponakan delapan tahunnya itu. Meski ia sibuk dengan jadwal kerjanya, tapi ia selalu menyempatkan bertandang ke rumah kakak kandungnya ini. Itu membuat saya tidak perlu lagi kewalahan membagi waktu bekerja.
Jika tak salah ingat, Alessa pernah cerita soal kolong ranjang kamarnya itu. Baru tiga bulan saya bekerja di rumah ini. Tapi anak itu memang mudah sekali mengakrabkan diri. Hanya satu yang membuat saya tidak nyaman, yakni soal imajinasi-imajinasinya. Seingat saya, sewaktu kanak-kanak tidak seperti dia. Pikiran kami dulu wajar belaka. Masa ia, katanya, di kolong ranjang itu ada sebuah istana yang berdiri megah. Di dalamnya hidup boneka-boneka raksasa. Ada boneka kelinci yang jari-jemarinya bisa ia emut dan makan seperti cokelat. Lalu kerlip bintang bercahaya seperti kunang-kunang keluar dari sana. Ah, pikiran anak zaman sekarang kacau sekali. Saya biasanya tak peduli dengan apa yang Alessa ceritakan. Tapi, Mas Dwi tampaknya penyabar sekali. Ia lebih banyak mendengarkan, begitu yang biasa saya perhatikan darinya.
Malam ini, pukul 20:18, kalau boleh saya tebak, sepertinya Mas Dwi dan Alessa kecapaian sehabis bermain petak umpet. Jadi wajar belaka sampai ketiduran di bawah kolong ranjang atau di mana pun sesuka mereka. Justru ini kesempatan saya. Mas Winarno jam segini biasanya sudah bebas kerja. Saya coba hubungi, ah, siapa tahu dia bisa sebentar berkunjung ke sini.
“Halo, Mas….”
“Ya, Marni? Ada apa?” suara berat Mas Winarno di ujung telepon membuat lidah saya kelu. “Halo, Marni?” ia mengulang tanyanya lagi.
“Oh, iya, Mas. Maaf.”
“Ya, tidak apa. Ada apa, ya, nelepon jam segini?” Saya ragu untuk memintanya datang ke rumah nyonya ini, tapi…, apa salahnya dicoba?
“Bisa ketemu, nggak? Sebentar saja, aku kangen,” kata saya manja.
“Aku sedang membeli galon isi ulang—”
“Sibuk, ya?” potong saya cepat.
“Tidak, kok. Setelah ini saya sudah boleh istirahat. Memang mau ketemu di mana?” sepertinya umpan yang saya lempar sudah berhasil mencuri perhatian ikan.
“Nyonya sedang pergi, sejak seminggu lalu. Kalau bisa datang saja sekarang ke rumah, aku tunggu di pintu dapur, ya….”
“Yakin aman, tidak?” Mas Winarno tampak ragu. Kemudian saya meyakinkan ia sekali lagi. Setelah itu, ia setuju. Katanya, ia akan mampir setelah mengisi galon. Sebab, kalau ia pulang dulu ke rumah majikannya, ia akan sulit dapat izin untuk keluar. Wah, kurang beruntung apalagi saya?!
Saya sudah sampaikan padanya soal keberadaan Mas Dwi dan Alessa. Mas Winarno sempat khawatir, tapi sudah saya jelaskan kalau mereka tidak akan jadi penghambat. Toh, selama di rumah ini Mas Dwi jarang sekali melihat-lihat saya masak di dapur. Kalau semisal Alessa bangun, akan sangat mudah mengalihkan perhatiannya. Cukup ceritakan saja soal hal-hal yang fantastis dan tak masuk akal itu.
Saya menuju kamar sebentar. Berganti pakaian dan berdandan seadanya. Maklum, saya baru selesai masak dan mencuci piring. Paling tidak, bau ketiak saya samar dengan semprotan minyak wangi yang isinya tinggal setengah ini.
Mas Winarno berkata akan tiba sekitar sepuluh menitan. Jadi, beres dari kamar saya bergegas ke dapur. Namun, sebelum itu saya tengok sebentar kamar Alessa. Sekadar memastikan apakah dari mereka sudah ada yang bangun? Saya pikir ini malam berpihak pada saya. Mereka tampak masih pulas dengan dunianya di kolong ranjang itu. Andai benar apa yang dikatakan Alessa, saya tetap tidak penasaran untuk mencari tahu. Dari ceritanya saja jelas mustahil. Saya anggap, itu efek dari Alessa yang tidak memiliki teman—baik di rumah maupun di lingkungan sekolahnya.
Selagi menunggu Mas Winarno, saya ada pengalaman yang betul-betul memalukan, itu bagi saya. Apalagi yang dirasakan Alessa. Begini, di satu hari nyonya sedang ada di rumah. Saya kurang tahu pasti apa pekerjaannya, yang jelas, ia selalu pergi pagi, dijemput oleh seorang pria berkumis lebat dengan rahang wajah yang tegas, mirip Mas Winarno, lalu pulang larut malam. Tapi, saat itu ia sedang tidak bekerja. Lalu ia ingin ikut mengantarkan Alessa ke sekolah. Kami biasa menaiki mobil jemputan. Nyonya memang tidak punya mobil, karena sudah dijual pas awal saya diterima kerja. Ia menyewa seseorang untuk mengantar jemput Alessa sekolah—tapi jemputan ini berbeda dengan mobil yang biasa menjemputnya bekerja.
Kami sampai di sekolah. Ketika itu, kepala sekolah Alessa kebetulan sedang ada di pintu gerbang. Tidak biasanya memang. Nyonya sengaja minta diturunkan dekat pintu gerbang—tepat di mana kepala sekolah berada. Usut punya usut, setelah saya tahu dari asisten rumah tangga lainnya, ternyata nyonya kenal baik dengan kepala sekolah. Pantas saat itu ia langsung menghampiri dan cipika-cipiki. Kalau dilihat dari ekspresi Pak Kepala Sekolah, ia tampak kurang nyaman, apalagi di lingkungan sekolahnya.
“Antar Alessa ke kelas, ya, Marni,” katanya yang sudah berdiri dekat kepala sekolah.
“Baik, Bu….”
“Mama mau ke mana?” tanya bocah polos itu. Nyonya tidak menjawab. Ia hanya mengedikkan matanya agar Alessa segera saya bawa ke kelas. Diam-diam, saya mencuri pandang. Rupanya nyonya diajak ke kantor Pak Kepala Sekolah. Kira-kira lima meter jarak kami, nyonya berpesan, “kamu pulang duluan saja, biar nanti dia balik lagi jemput saya,”—dia yang dimaksud yakni sopir sewaannya itu, yang menunggu di gerbang. Sedangkan ia dan kepala sekolah terus berjalan beriringan.
Hanya berselang satu hari, saat esoknya saya kembali mengantar Alessa ke sekolah, ibu-ibu dan asisten rumah tangga ramai bergosip. Katanya, kemarin, sewaktu nyonya pulang, istri kepala sekolah sempat memergoki mereka bermesraan di ruang kantor. Istrinya kebetulan mampir untuk memberikan bekal kepada suaminya. Kasian Alessa, ia berkata, “di kelas Alessa dikata-katain anaknya pelakor, apa itu maksudnya, Mbak?” saya mencoba menenangkannya, apalagi setelah ia meneruskan, “pokoknya Alessa nggak mau sekolah lagi. Nggak ada yang mau temenan sama Alessa!” saya membujuknya. Mama bisa marah kalau Alessa bolos sekolah, kata saya padanya. Pergaulan anak zaman sekarang memang sudah sangat jauh berbeda, dari mana pula mereka tahu istilah pelakor yang memang sedang ramai belakangan ini, singkatan dari perebut laki orang. Bahkan anak kecil juga mengikuti gosip ibu-ibu.
Sejak saat itu Alessa selalu buru-buru ingin pulang. Ia banyak menghabiskan harinya dengan bermain dan mengobrol bersama boneka-bonekanya. Semua itu pemberian ayahnya yang kini entah ke mana. Setelah menikah dengan nyonya, ayahnya di PHK dari pekerjaan dan pergi merantau lalu tidak kembali lagi. Rasa kesal nyonya sering dilampiaskan pada anak semata wayangnya itu. Barangkali sebab hal itu pula yang membuat Mas Dwi prihatin dan berusaha melindungi Alessa dari terkaman binatang buas. Karena saya juga seringkali kena omelan nyonya, meski saya yakin betul apa yang saya kerjakan sudah sangat sesuai. Barulah setelah ia menikah lagi, dua minggu lalu, amarah yang tak terkontrolnya itu perlahan mulai reda.
Saya sudah di dapur. Dari pintu belakang, terdengar suara ketukan. Itu pasti Mas Winarno. Saya tengok ke lantai dua lebih dulu, sepertinya Mas Dwi dan Alessa belum juga terbangun. Aman. Lekas saya buka pintu.
“Kamu lama sekali,” rutuk Mas Winarno.
“Maaf, Mas, aku abis cek….” belum selesai saya berkata, ia langsung mencondongkan badan kekarnya ke tubuh saya. Suasana dingin di ruang dapur seketika berubah hangat. Belum saya menyiapkan diri, ia menyodorkan bibirnya yang tebal ke bibir saya. Lalu turun ke bagian dada. Kedua tangannya meremas bagian belakang saya. Pintu dapur bahkan belum sempat saya tutup. Semilir angin berembus masuk tanpa permisi. Mas Winarno tampak tak peduli. Ia lekas mendorong tubuh saya hingga jatuh telentang di samping kolong meja makan.
Kini, ia ada di atas saya. Dengan tergesa-gesa, ia membuka celana dan bajunya. Napas kami saling memburu. Saya pikir, ini akan aman belaka sebab nyonya berkata akan pulang esok pagi. Saya tak kuasa menahan lenguhan. Sungguh inilah surga sebenarnya Alessa. Ada di kolong meja, bukan kolong ranjang.
Saya tahu Mas Winarno sudah beristri, tapi itu kan di kampungnya. Ketika merantau di kota, ia kembali menjadi bujang. Jadi Alessa, kamu tak usah khawatir, kamu harus terbiasa hidup seperti ini. Jangan mengharapkan dunia selalu baik padamu, termasuk ibumu yang pelakor itu. Karena menjadi pelakor jauh lebih menguntungkan ketimbang jadi istri sungguhan. Ia tak perlu bertanggung jawab soal banyak hal, karena kami ada saat bagian nikmatnya saja, seperti malam ini.
Suara teriakan Mas Winarno ternyata tak kalah lebih lantang ketimbang suara lenguhan saya. Ini mulai membuat saya cemas akan membangunkan mereka di lantai 2.
“Mas, sudah, cukup….”
Keringatnya mulai berjatuhan. ia terus menggenjot dan memasuki saya, “tanggung, sebentar lagi keluar,” katanya.
Kali ini kami benar-benar berada di kolong meja makan. Kursi di geser sebisanya. Gerakan kami semakin tidak terkendali. Sialnya, saya mendengar suara langkah kaki dari lantai dua. Bersamaan dengan itu, saya mendengar suara deru mobil dari halaman depan. Saya menemukan kecemasan di wajah Mas Winarno. Sekitar delapan detik ke depan, ia menuntaskan misinya. Kami sama-sama lemas. Belum kami bangkit dan kembali berpakaian, suara jerit datang dari pintu dapur. Sementara dari arah dalam, juga ada dua orang yang mendekat ke dapur dan berteriak yang terdengar seragam:
“Marniii!!!”
Cilegon, 01 Maret 2018
—cerpen ini sudut pandang lain (semacam balasan) dari cerpen berjudul, “Surga di Kolong Ranjang” karya Abdullah Salim Dalimunthe yang dimuat Media Indonesia pada 25 Februari 2018.
__________________________________________________________________________
*) cerpen ini pernah dimuat di website biem.co, (15/07/18).
*) cerpen ini juga pernah diterjemahkan dalam bahasa Bali dan dimuat di website:
suara-sakingbali : Neraka di Longlongan Méjané, (17/07/18).
*) cerpen ini juga pernah diterjemahkan dalam bahasa Bali dan dimuat di website:
suara-sakingbali : Neraka di Longlongan Méjané, (17/07/18).
0 komentar