[Esai] Melestarikan Bahasa Jawa Banten lewat Puisi (Bantennews.co.id, 3 November 2018)
November 14, 2018image by: www.tribunnews.com |
Membicarakan
puisi seperti membicarakan seorang kekasih, tak pernah ada ujungnya; yang satu
selalu menghadirkan makna baru, satu lainnya selalu memberikan kenikmatan yang
baru. Kedua hal itu perlu dimiliki seorang kekasih dan ketika hendak
menghadirkan puisi. Agar selalu ada rasa penasaran yang terus timbul yang
membuat hubungan baik terus terawat. Hal demikian diamini oleh Linda
Christanty, seorang jurnalis dan sastrawan, ia menulis, “semakin banyak yang
kuketahui tentang dirinya, semakin ia tak menarik lagi. Hubungan kita bisa
panjang, karena aku tak tahu seluruhnya tentang dirimu”.
Dewasa
ini, orang-orang semakin keranjingan puisi. Bisa kita temui di media-media
sosial yang begitu menjamur. Netizen gemar mengutip puisi seorang penyair untuk
merayu kekasihnya atau membuat orang-orang di sekelilingnya kagum. Apalagi
setelah ada banyak film-film remaja yang tokohnya jago membuat kalimat-kalimat
puitis macam di film Ada Apa Dengan Cinta
atau yang terbaru Dilan 1990. Puisi
telah dijadikan sebuah tren tersendiri di mata awam. Bahkan ditransformasikan
ke media lain semacam video lirik yang tengah booming di jagat per-youtube-an. Sifatnya
yang personal dan menggugat, kini fungsinya bisa bernilai hiburan dan sekadar
untuk seru-seruan. Demi meraup ciye-ciye
dari para pembaca dan menambah jumlah pengikutnya (followers) di Instagram, Twitter maupun media lainnya.
Namun
demikian, tidak berarti orang yang semula tekun mendalami puisi-serius memilih
mengikuti tren dan beralih menulis puisi-populer bertema cinta-cintaan. Meski
arusnya kuat, tetapi ia tetap kokoh dengan kekonsistensiannya di jagat
perpuisian. Orang yang mau bersusah payah itu bernama Muhammad Rois Rinaldi,
penyair muda kelahiran Kramatwatu, Serang yang lebih banyak bergiat di
Komunitas GAKSA, Kota Cilegon.
Buku tunggal
pertamanya berjudul, Terlepas
(Pustaka Jaya, 2015) berhasil mencatatkan namanya sebagai penyair Banten yang
fokus mengangkat kegelisahan dan ketimpangan yang ada di Provinsi Banten,
dengan perspektif dan sudut pandang seorang penyair. Ia detil dan berhasil
menuliskan sesuatu yang orang anggap sepele menjadi sesuatu yang perlu kita
renungkan dan perbaiki bersama. Bukunya itu juga meraih penghargaan dari
E-Sastera Malaysia sebagai buku terbaik 2005-2015 posisi kedua. Tak cukup
sampai di sana, penghargaan demi penghargaan berhasil ia sabet, sekadar
menyebutkan beberapa di antaranya yakni: Anugerah Penyair Siber Asean 2016 (E-Sastera Malaysia), Tokoh
Sasterawan Alam Siber 2015 (E-Sastera Malaysia), Anugerah Utama Penyair Alam Siber 2015 (E-Sastera
Malaysia), Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera Malaysia, Maret 2014) dan Anugerah
Penyair dan Tokoh E-Sastera Indonesia 2013.
Tahun
ini, rupanya ia juga tak mau lekas berpuas diri. Ia kembali dengan membawa
sesuatu hal yang baru, tentu saja puisi. Yang membedakan dengan puisi-puisi
sebelumnya adalah pada bahasa yang ia gunakan. Sebagai lelaki yang lahir dan
besar di tanah Banten, ternyata ia tidak mau melupakan itu. Cara ia berterima
kasih, salah satunya dengan menuliskan puisi berbahasa Jawa Banten. Buku itu ia
beri judul Beluk (Gaksa Enterprise, 2018).
doc. pribadi |
Dalam
satu kesempatan, sewaktu ia ditanya kenapa menulis puisi Bahasa Jawa Banten, ia
mengatakan karena belum ada sastrawan Banten modern yang menuliskannya, “Saya
harus menulisnya sebagai pembuka,” katanya melalui pesan WhatsApp. “Saya juga
mewarisi Bahasa Jawa Banten dari lahir, baik yang bahasa surah kitab, bahasa
bebasan atau bahasa harian. Maka saya merasa perlu mentransformasikan itu kepada
generasi selanjutnya apalagi generasi Banten hari ini.”
Ia
juga menyampaikan kekhawatirannya tentang penggunaan Bahasa Jawa Banten yang
jarang dipakai oleh sebagian besar masyarakat di Banten. Mungkin kurang dari 30
persen pengguna Bahasa Jawa Banten saat ini. “Bisa jadi, sepuluh tahun
mendatang, atau satu generasi mendatang mungkin tinggal 5 persen pengguna Bahasa
Jawa Banten”, katanya serius.
Menulis
Bahasa Jawa Banten tentu memiliki kesulitannya tersendiri. Rois mengakui,
kesulitannya adalah ketika mentransformasi kebiasaan menggunakan Bahasa
Indonesia ke bahasa daerah. Karena struktur bahasa berbeda, idiom juga berbeda,
pola mindset juga berbeda. Untuk
merampungkan buku puisi Beluk ini
sendiri, ia membutuhkan empat tahun untuk sedikit beradaptasi dengan pola-pola Bahasa
Indonesia agar tidak terjebak di sana dan menemukan pola Bahasa Jawa Banten.
Ali Faisal,
SH., MH., ME, Anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Banten periode
2017-2022, yang juga menulis pengantar dalam buku ini mengakui kesulitan itu. Dalam
pengantarnya yang berbahasa jawa ia menulis, “Tembenan niki
kulē ngēwacē puisi sing ditulis ngēngge bahasē Jawē Banten. Lagi damēl puisine saos angel, napik malih puisi ingdalēm bahase
Jawē Banten. Kakē Rois sampun ngēbaktekakēn sēkalihe.”—baru kali ini, saya membaca puisi yang ditulis dalam
Bahasa Jawa Banten. Menulis puisinya saja sudah susah, apalagi menulis puisi
dalam bahasa Jawa Banten. Rois sudah membuktikan keduanya.
Di
Indonesia sendiri, pada masa di bawah penjajahan Hindia Belanda, penerbit Balai
Pustaka cukup serius menerbitkan buku-buku berbahasa daerah. Tujuan
didirikannya untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama, melingkupi bahasa
Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu dan bahasa Madura.
Jauh
setelah itu, yakni tahun ini, Dinas Kebudayaan (Disbud) di Sleman menerbitkan
majalah berbahasa jawa yang diberi nama Memetri.
Singkatan dari memasah endahing manah emut trapsilaning rasa ingwang. Maknanya
mengasah keindahan hati untuk membentuk jati diri manusia menuju perilaku dan
budi pekerti yang luhur. Tujuannya tak lain untuk melestarikan bahasa
Jawa daerah Sleman.
Menurut catatan, surat kabar berbahasa Sunda pertama yang
diterbitkan di Bandung adalah Sora-Merdika
pimpinan Moh. Sanoesi. Tahun I No. 3 terbit pada tanggal 1 Mei 1920. Di
zaman pendudukan Jepang semua surat kabar yang ada di Bandung dan Jawa Barat
ditutup. Semuanya disatukan menjadi satu penerbitan yaitu surat kabar Tjahaja di bawah pengawasan Sendenbu.
Pimpinan Tjahaja pada waktu itu
ditunjuk Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata.
Setelah proklamasi kemerdekaan, di masa “Negara Pasoendan”
diterbitkan Harian Persatoean yang
terakhir dikelola Djawatan Penerangan pada waktu itu. Selanjutnya pada tahun
1950-an terbit “Harian Pikiran Rakjat” yang dirintis Djamal Ali bersama AZ. Sutan
Palindih dkk, menayangkan berita dalam bahasa sunda. Tahun 2016 di Bandung terbit Majalah
Simpay Pasundan, majalah yang khusus berbahasa sunda dan terbit perbulan.
Di Provinsi Banten sendiri, ada Majalah Kandaga yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Banten. Ada
satu kolom khusus yang menayangkan puisi berbahasa daerah; Jawa dan Sunda
Banten. Rois, sewaktu ditanya adakah penulis lain yang menekuni bahasa daerah ia
malah menanyakan balik, daerah mana yang dimaksud? Untuk beberapa daerah
seperti Banyumas dan Jawa Timuran, cukup banyak penulis atau penyair yang concern menulis puisi bahasa daerah dan
menerbitkannya. Sedangkan, menurut Rois sendiri, jika di Banten, belum ada
penyair yang menulis puisi bahasa Jawa Banten dalam pengertian serius. Kalau
yang sekadar menuliskannya ketika diminta memang ada, tetapi yang konsisten
menulis belum tertangkap dalam radarnya. Meski begitu, untuk sekarang ada
indikasi dua penyair yang sedang menggarap buku bahasa Jawa Banten; Encep
Abdullah dari Pontang dan K.H. Mukti Jayaraksa asal Kota Cilegon.
Pertanyaannya kemudian, Bisakah menulis puisi dalam Bahasa
Jawa Banten ini dijadikan sebuah tren semisal apa yang sudah disebutkan di pembuka
tulisan ini?
Ketika mendapati pertanyaan seberapa perlu penulis muda
Banten menulis karyanya dalam bahasa daerah, Rois menanggapinya dengan sebuah
pertanyaan lagi, “Saya, sih, tidak merasa mereka harus, tapi saya tanya lagi,
merasa perlu tidak? Sebagai pegiat literasi, pegiat bahasa dan pegiat
kesusastraan, kalau melihat dari perspektif kebudayaan dan warisan kultural,
kira-kira merasa perlu atau tidak? Kalau secara pribadi dari saya, saya tidak
perlu mengatakan perlu,” tandasnya.
Pada akhirnya, menjadi tren atau tidak, kembali lagi pada
proses penempaan setelah karya itu terbit dan sampai ke tangan masyarakat
pembaca. Akan ada semacam penilaian dan seleksi alam di sana, tugas penulis
sebenarnya telah selesai ketika karyanya sudah menjadi milik khalayak. Tinggal
ia seberapa konsisten dalam membangun keseriusannya menulis puisi-puisi
berbahasa daerah. Akankah ini sebagai proyek coba-coba belaka atau memang
benar-benar hasil dari perenungan dan dedikasinya sebagai sumbangsih untuk
tanah kelahiran?
Cilegon, 24 Oktober 2018
________________________________
*) esai ini pernah dimuat di: www.bantennews.co.id
1 komentar
I completely agree with you because the theme of poetry is inexhaustible and it cannot be finished studying since various innovations are constantly appearing.
ReplyDelete