[Catatan] Cerita dari Balik Jendela Kereta
February 02, 2019
Satu minggu
lalu saya membuat janji dengan seorang kawan untuk bertemu di Kebayoran Lama,
tempat tinggalnya. Hari Rabu, tulis
saya sekenanya melalui pesan WhatsApp. Saya sebetulnya tidak benar-benar
memberikan jawaban. Karena saat itu saya sedang disibukkan dengan kegiatan
Maulid Nabi Muhammad Saw., di kampung saya. Kebetulan saya didaulat sebagai
panitia, beberapa hal saya mesti urus sendiri. Jadi, jawaban itu hanya agar
kawan saya tidak bertanya lagi dan mau menunggu, sisanya dipikir kemudian,
begitu seloroh saya dalam hati.
Acara
peringatan Maulid Nabi memang jatuh di Hari Selasa kemarin, (20/11/18). Saya
berpikir secara ringkas kalau Hari Rabu pasti sudah mulai lowong—ternyata
kenyataannya tidak. Saya harus merekap laporan keuangan selama acara bahkan
sebelum acara. Tepat di Hari Rabu, pasca acara, teman saya memastikan lagi. Ia
menghubungi saya malam hari, bertanya sudah sampai mana, kok belum sampai? Saya
bingung harus mengatakan apa, tapi akhirnya saya meminta ia memaklumi lagi, “Maaf,
ya. Besok bagaimana, Hari Kamis?” kata saya kemudian. Sesaat saya mendengar
kalimat setuju, lalu sambungan telepon putus. Sebetulnya badan sedang
lemas-lelah-letihnya, tetapi saya bereskan semua laporan keuangan malam itu.
Walhasil, laporan selesai, meski rada tergesa-gesa. Beruntung saya mengarsipkan
nota pengeluaran apa saja selama mempersiapkan acara.
Pukul 02.00
dini hari, saya searching, alat
transportasi apa sekiranya yang efisien untuk saya tumpangi. Saya tinggal di
Kota Cilegon, Provinsi Banten. Jarak ke Kebayoran Lama tentu tak terlalu jauh,
namun bila salah memilih transportasi bisa buang-buang waktu di jalan. Ingin
mengendarai motor kondisi tubuh tidak memungkinkan. Naik mobil pribadi, masih
dalam mimpi, agak sulit kalau mesti diwujudkan besok. Teman saya pasti makin
kesal pada saya kalau saya tak kunjung datang. Ia karib saya sejak kecil, sudah
lama juga tidak berjumpa, saya tidak ingin mengecewakannya—karena ini bakal
terasa seperti pertemuan pertama. Akhirnya, saya memutuskan untuk menumpangi
bus saja. Dari Cilegon naik Bus ke Terminal Kebon Jeruk, lalu naik bus tiga
perempat menuju Stasiun Senen. Baru ketika sampai di sana pesan ojek online menuju Kebayoran Lama.
(Sejujurnya, saya memang tak pernah pandai mengingat jalan, padahal saya sering
ke Jakarta tetapi selalu pakai rute yang gonta-ganti).
Karena masih
ragu, saya hubungi kawan yang berada di Daru, Tangerang Selatan. Saat saya
kirimkan itenerary, alias rencana
perjalanan saya, dia ngakak. Lalu mengejek saya. “Kenapa nggak naik kereta aja,
repot banget, sih, lu. Mahal kalau naik bus dan ojek online!” rutuk dia membuat saya melongo sesaat membaca chat-nya. Akhirnya saya menurutinya.
Harga Tiket Murmer (Murah Meriah)
Tunggu dulu,
jangan buru-buru menghakimi saya pemirsa. Saya bukannya tidak kenal apa itu
transportasi bernama kereta. Saya pernah kok naik kereta, tapi jarang. Di
stasiun saya selalu merasa asing, entah mengapa. Kurang akrab gitu perasaannya.
Tetapi berhubung saya ingin waktu yang cepat dan efisien, akhirnya saya ikuti
saran teman saya itu. Saya meniatkan setelah salat subuh tidak tidur lagi, tapi
itu cuma bualan. Mata saya pejamkan lagi dan berhasil bangun, dengan sedikit
paksaan, jam 9 pagi. Saya panik, kereta lokal setahu saya jam 6 atau sekitar
jam 7. Beruntungnya ketika dicek ke stasiun bakal ada kereta lokal lagi dari
Merak pukul 10.46. Saya gegas menaruh motor yang saya bawa ke tempat penitipan
motor dekat stasiun. Lalu memesan tiket dan menunggu kereta. Ternyata harganya
dari Stasiun Cilegon ke Stasiun Rangkasbitung cuma 3000 rupiah. Rangkasbitung
adalah pemberhentian terakhir kereta lokal dari Merak. Saya mesti transit,
pesan tiket lagi kereta commuter line
jalur Tanah Abang. Stasiun Kebayoran Lama letaknya sebelum Tanah Abang kalau
dari Stasiun Merak.
Kereta Tepat Waktu
Voila! Kereta
tiba pukul 10.35, tidak ngaret macam
bus atau angkutan umum. Saya gegas mencari tempat duduk. Ternyata masih banyak
yang kosong. Satu kursi panjang saya tempati. Kereta melaju tepat sesuai yang
tertera di tiket.
Singkat
cerita, saya sampai di stasiun Rangkasbitung. Lekas saya membeli tiket tujuan
ke Stasiun Tanah Abang. Ternyata harganya 18.000 rupiah. Tetapi kata teller-nya bakal bisa di-refund kartunya senilai 10.000 rupiah.
Jadi, ongkos sebenarnya hanya 8000 rupiah menaiki commuter line dari Rangkasbitung ke Kebayoran Lama. Kereta tiba
pukul 12.20 dengan jadwal keberangkatan pukul 12.29 wib. sejauh ini masih
sesuai waktu yang tertera, saya semakin senang, tidak ada waktu yang terbuang
di jalanan. Sampai di Kebayoran Lama pukul 14.30. saya menukarkan kartu jaminan
commuter line. Dan benar, saya diberi
uang 10.000 rupiah sebagai gantinya. Lalu teman menghubungi saya kalau dia
sudah memesankan ojek online dari
rumahnya, karena saya tidak tahu tempat tinggal barunya—ia tidak bisa menjemput
karena sedang menjaga ibunya yang sedang sakit. Akhirnya saya bertemu dengan
tukang ojek, kami segera meluncur menuju rumah kawan saya. Sampailah saya di
rumahnya. Perjalanan dari Cilegon ke Kebayoran Lama cukup merogoh kocek
kurang-lebih sejumlah 3000+8000= 11.000 rupiah saja. Berbeda jauh ketika
misalnya saya harus menumpang bus. Bisa lebih 50.000 rupiah untuk sekali
perjalanan.
Dua Hal Dilematis
Singkatnya,
kami bertemu. Saling bertukar cerita dan pengalaman. Saya bermalam sehari di
rumahnya. Jumat pagi saya harus balik karena ada pekerjaan lain yang harus
diselesaikan. Dia memaklumi, toh nanti bisa bertemu lagi, atau ia bisa balik
mengunjungi saya di Cilegon. Saya pulang pukul 07.00 dari rumahnya menaiki ojek
online. Lalu setibanya di Stasiun
Kebayoran Lama, saya masih ada kesempatan membeli tiket dengan jadwal keberangkatan
sekitar pukul 08.15. Saya tiba di Stasiun Rangkasbitung pukul 10.03, ternyata
ketinggalan kereta. Saya panik. Karena ekspektasinya sampai rumah sekitar pukul
12.00 atau jam 13.00. Sedangkan kenyataannya kereta jurusan Merak berangkat
pukul 12.45.
Saya
memutuskan untuk naik bus saja. Saya keluar stasiun Rangkasbitung, sedangkan
waktu terus berjalan. Kata seorang petugas, ada terminal dekat sini. Lurus
saja, lalu belok kanan. Saya ikuti dan benar, ada terminal. Tetapi bus jurusan
Merak saya cari-cari tidak ada. Ketika bertanya pada petugas, katanya saya
harus naik angkot dulu ke Mandala. Baru di sana banyak bus tujuan Serang-Merak.
Saya manggut-manggut. Ia pun gegas membantu memberhentikan angkot merah tujuan
Mandala. Ketika saya sudah ucapkan terima kasih dan baru beberapa detik di
dalam angkot, ada 3 ibu-ibu yang rupanya mendengarkan ke mana saya hendak
pergi. Lalu ia menyarankan dan membuat saya dilematis sepersekian detik.
“Kalau mau ke
Merak mending naik kereta aja, Dek,” ucap ibu di sebelah saya dengan logat
sunda.
“Jam satu, Bu.
Saya buru-buru, harus sampai rumah secepatnya,” jawab saya memerhatikan
jalanan.
“Lho, naik bus
lebih lama lagi, belum ngetem nunggu
penumpang. Kalau kereta kan sesuai jadwal,” ucap seorang ibu berkerudung biru
gelap di hadapannya. Saya mulai ragu dengan keputusan yang saya ambil usai mendengar
perkataannya.
“Iya, Dek,
mending turun di sini. Masih dekat stasiun,” saya menjawabi ibu satunya lagi
dengan, “saya tadi dari stasiun, Bu.”
Sopir angkot
ternyata tidak ada di pihak saya, padahal ia harusnya senang mendapati
penumpang yang kebingungan.
“Iya, Dek,
turun sini aja, ya,” katanya mengangguk-angguk. Sekira mobil berjalan kurang
lebih 15 meter, baru saya mengubah haluan.
“Ya, udah di
sini aja, Kang. Makasih, ya,” kata saya tanpa membayar ongkos dan ia tampak
menyetujuinya. “Makasih, Bu,” sambung saya ketika sampai di luar. Ketiga ibu
itu tersenyum puas seperti berhasil memenangkan sebuah debat sengit. Dengan wajah
plongo, saya kembali lagi di stasiun. Itu dilema pertama saya.
Dilema kedua
saya ketika membeli tiket jurusan Rangkasbitung. Saya bertanya pada kasir,
“Mbak masjid dekat sini di mana, ya? Mau solat Jum’at.”
“Jauh, Mas.
Kereta berangkat jam 12.45, nggak bakalan keburu juga.” Saya memikirkan
ucapannya, ada benarnya juga, saya bisa terlambat. Lalu saya memberi tiket pada
petugas dan saya masuk peron pukul 10.50, dengan perasaan tak keruan. Apakah
benar keputusan yang saya ambil? Memilih tidak solat jumat demi agar tidak
tertinggal kereta?
Lama saya
berpikir, jam terus bergerak. Satu pesan masuk dari seorang kawan di Serang.
Dia tanya saya sedang di mana, setelah melihat foto di status WhatsApp saya; sebuah
gerbong kereta, tanpa teks menyertai di bawahnya. Ketika saya jawab sedang di
Stasiun Rangkasbitung, dia memastikan apakah saya tidak solat Jumat dulu? Saya
jelaskan kronologinya, juga waktu keberangkatan sedetil mungkin. Omong-omong,
dia seorang Kristen. Tetapi, ucapannya membuat saya sadar. “Solat Jumat selesai
jam berapa? Pasti keburu, kereta kan jam 12.45. Udah gih, ibadah dulu. Nggak boleh ditinggal.” Andai yang dimaksud
situasinya saat itu ibadah solat fardu lainnya, yang waktunya panjang, pasti
saya abaikan. Tetapi saat itu posisinya solat jumat yang harus dikorbankan,
waktunya hanya ada di Hari Jumat. Memang boleh diganti dengan solat dzuhur yang
waktunya lumayan panjang, tetapi ada perasaan ragu untuk meninggalkannya.
Dilema kedua timbul. Beruntung berkat saran kawan saya itu, saya ambil keputusan
untuk pesan ojek online mencari
masjid terdekat. Saya memang hanya butuh untuk diyakinkan.
Tak lama dapat
driver, ternyata ada masjid yang
dekat stasiun. Saya paham, ucapan kasir tadi hanya sebentuk kekhawatirannya
kepada pelanggan. Ia hanya tidak ingin mengecewakan penumpang. Tetapi saya
sudah mengambil keputusan. Solatlah saya di sana, setelah sebelumnya membayar
ojek seharga 4000 rupiah, sesuai aplikasi. Harga dari Rangkasbitung ke Merak
dengan menaiki kereta cuma 3000 rupiah, ini jarak kurang dari 500 meter saja
lebih mahal 1000 rupiah. Tapi tidak apa-apa, ini demi ibadah.
Sigap Menangani Masalah
Solat selesai,
saya buru-buru mengecek jam digital yang ada di ponsel. Ternyata sudah pukul
12.20. Saya bersyukur masih ada waktu yang tersisa. Saya tidak boleh terlambat
lagi!
Tepat ketika
saya sampai stasiun dengan berjalan kaki, kereta tiba. Pukul 12.45 kereta
berangkat menuju Stasiun Merak, saya turun di Stasiun Cilegon. Tetapi, di
perjalanan listrik dalam kereta padam. AC mati. Ruangan terasa panas. Kereta
berhenti di salah satu stasiun untuk mengecek genset yang katanya rusak.
Sekitar hampir setengah jam, listrik berhasil kembali menyala. Penanganan yang
semacam ini patut diapresiasi. Penumpang kembali nyaman dan tidak kegerahan
lagi. Satu hal yang bisa diambil hikmahnya adalah, penumpang satu dan lainnya,
yang tidak saling mengenal, akhirnya saling tegur dan mengobrol. Persis seperti
penumpang remaja ramah—yang sejak tadi terkesan begajulan—yang ada di sebelah
saya. Ia mengaku habis nonton pertandingan Sriwijaya FC melawan Persija di
Gelora Bung Karno bersama rombongan. Sesaat setelah pertandingan usai, ia gegas
menumpangi kereta menuju Stasiun Merak. Setelah itu ia akan berlanjut menaiki
Kapal menuju Palembang. Jam segini, seharusnya dia dan teman-teman sudah sampai
di rumah masing-masing dan sedang membaca cerita ini.
Cilegon,
23 November 2018
2 komentar
Hahaha
ReplyDeleteLucu banget sih, bolak balik stasiun -terminal Mandala, kenapa waktu itu gak nanya saya de? Heee
Bus jurusan serang/merak udah beberapa tahun gak oprasi lg dari terminal Mandala. Sy aja dulu, waktu ikut kmrd tahun 2013 ke serang bisa makan waktu 4jam lebih sekali jalan kalau naik bis, karena nyambung, Dr terminal Mandala itu nanti ke terminal kadubanen Pandeglang, baru disana naik.bisnya. dan angkot Dr Mandala kenkadubanen itu tuh ngetemnya bisa lebih dari 1 jam padahal jarak yg ditempuh cuma sekitar 45 menitan. Waktu tahun segitu, kereta raangkas-merak atau sebaliknya cuma ada 2 jadwal, jd sy gak punya pilihan selain naik bis. 😊
Justru kalau lempeng-lempeng aja tulisan ini ngga akan muncul :D
Delete