[Self-Depression] Yang Mati Sejak Dua Tahun Lalu
August 17, 2019Image by Arman Cemong |
Karya saya sudah mati sejak 2017. Terpilih menjadi salah satu penulis Emerging di Ubud Writers and Readers Festival dua tahun lalu mulanya saya kira adalah sebuah awal dalam karir kepenulisan saya. Ternyata itu adalah akhir. Saya tak berani mengakuinya sampai kemudian saya menuliskan ini.
Beban yang dibawa ternyata terlampau berat. Sebagai penulis anak bawang cum bau kencur, lompatan itu rupanya membuat saya kaget. Saya menyadari kemudian kalau saya belum siap. Memulai terjun di dunia kepenulisan tahun 2012, saya adalah penulis prematur. Langkah saya terlampau jauh dan tidak seharusnya begitu.
Tuhan terlalu baik pada saya. Menulis ini sebetulnya adalah berkat ketidaksengajaan alias iseng. Lulus Aliyah, saya tidak tahu harus apa, mencari kerja saat itu pun saya merasa belum memiliki keterampilan yang layak untuk diganjar dengan gaji. Maka pilihannya adalah melanjutkan kuliah. Pilihan saya jatuh pada jurusan Sistem Komputer di sebuah kampus swasta di Banten.
Di sela-sela waktu pendaftaran, karena ada hari-hari yang kosong sampai perkuliahan aktif, saya iseng mengirimkan beberapa puisi pada sebuah grup kepenulisan di facebook yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis. Tak disangka ternyata 3 puisi saya lolos untuk dibukukan. Dari sana saya mulai menggemari dunia tulis-menulis. Saya merasa tertantang untuk terus mengikuti lomba-lomba—yang ternyata kemudian lebih banyak mengalami kekalahan.
Jiwa muda saya saat itu berontak. Saya semakin penasaran untuk memenangi lomba dan dimuat karyanya di media cetak. Bahkan sampai berkeinginan memiliki buku sendiri. Tuhan terlalu baik pada saya. Satu tahun dalam karir kepenulisan saya, saya memenangi lomba yang hadiahnya adalah voucher penerbitan buku gratis. Saat itu saya senang luar biasa. Disusul dengan kemenangan-kemenangan lomba lainnya. Masuk ke semester 3 perkuliahan, ketersesatan saya di dunia tulis-menulis semakin menjadi.
Saya jadi tekun menulis bahkan mulai kesulitan membagi waktu dengan belajar mata kuliah soal komputer. Saya tertinggal jauh dengan teman-teman di kampus saya. Tapi saya tidak khawatir soal itu. Saya malah khawatir tertinggal dengan kawan-kawan menulis saya yang saat itu masih sebatas kenal di dunia maya saja. Rasa iri betul-betul tumbuh saat tahu kawan-kawan menulis saya karyanya dimuat di koran incaran saya. Belum lagi saat saya dikalahkan oleh mereka di satu-dua ajang lomba yang sama. Gengsi saya mulai tumbuh subur. Saat itu saya menyatakan bahwa menulis adalah bagian dari hobi saya. Saya sama sekali tidak berpikir soal mendapatkan uang dari menulis. Yang jelas, saat saya berhasil merampungkan tulisan, saya senang luar biasa. Tak ada yang membebani saya, dalam pikiran saya, untuk mendapatkan uang dan menjadikan menulis sebagai pekerjaan atau profesi.
Tapi, karya saya sudah mati sejak 2017. Puncak karier kepenulisan saya yang bisa saya banggakan hanya sebatas menjadi penulis emerging di UWRF. Karya saya benar-benar mati. Sementara kawan-kawan seperjuangan saya banyak yang karyanya terus melesat melampaui saya. Karya mereka diterbitkan penerbit besar di Indonesia, lalu diterjemahkan, menang ajang bergengsi, diundang banyak festival dan lain sebagainya. Sedang saya, tak lagi sanggup melahirkan karya yang fenomenal dan jadi perbicangan banyak orang. Sekarang, menulis menjadi sesuatu yang sulit untuk saya lakukan. Merampungkan satu tulisan saja bisa memerlukan waktu hingga berhari-hari. Seolah ada beban yang mesti saya pikul di punggung ini.
Menulis bahkan sudah tidak lagi semenyenangkan dan sememuaskan seperti dulu sewaktu belum tahu banyak hal soal teknis menulis; soal teori-teori, istilah-istilah, dan segala perangkat tetek-bengek yang mengganggu itu. Sekarang, setiap hendak menulis saya selalu merasa bahwa apa yang saya tulis tidak lagi menarik. Bahwa gagasan atau ide yang saya sampaikan, sudah terlalu banyak dan sering orang tulis. Bahwa saya sudah tidak bisa lagi menghasilkan tulisan yang bagus, yang mampu membuat saya sendiri tercengang. Semua karya saya kini tampak biasa saja. Saya memang penulis prematur. Tuhan terlalu baik pada saya. Sehingga jalan saya di awal kepenulisan dulu selalu dimudahkan. Dalam kurun waktu yang singkat. Sekarang, saya menghadapi kenyataan kalau inilah ujung karir kepenulisan saya.
Mulanya saya sempat berpikir inilah profesi saya. Sebagai penulis. Tapi karya saya sudah koit sejak 2017. Saya mengirimkan karya ke manapun sulit sekali untuk diterima dan lolos—yang terakhir, saya gagal lolos mendapatkan beasiswa kepenulisan ke Jepang. Barangkali karya saya memang sudah tak layak mendapatkan tempat lagi. Tak ada lagi kesempatan!
Saya paham bahwa profesi apa pun pasti mengalami masa sulit seperti ini. Masa di mana kita jenuh dengan karya kita sendiri; ingin melampaui karya-karya sebelumnya tapi susahnya minta ampun!
Apa memang seharusnya saya sudah tak perlu menulis lagi? Atau saya mesti ambil jeda untuk menghirup udara segar dan beristirahat dari kegiatan menulis, entah sampai kapan, untuk kemudian kembali menulis? Apa ini masih penting?
Saya kecewa pada diri saya sendiri. Saya, entahlah, cemburu mungkin dengan orang lain yang berhasil mewujudkan cita-citanya di dunia kepenulisan. Banyak cita-cita saya yang berhasil diraih oleh orang lain. Saya selalu kesal dengan kebodohan saya yang saat ini sulit berkembang dalam menghasilkan sebuah karya. Karya saya betul-betul sudah mati sejak 2017!
Banyak rencana-rencana saya di dunia kepenulisan ini. Tapi dalam keterpurukan begini, apakah mungkin saya akan mampu bertahan untuk terus menulis? Sedangkan, beberapa teman-teman saya meragukan keberhasilan saya dan selalu mengatakan saya hanya beruntung bisa menang lomba ini, diundang festival itu dan segala macamnya. Mereka, segelintir orang ini, tak pernah mau mengakui kalau pencapaian saya ini murni karena karya saya memang layak mendapatkan tempat itu. Mereka lebih senang menganggapnya bahwa semua yang saya raih adalah keberuntungan belaka.
Dan barangkali, "keberuntungan" dalam karya saya, yang sering teman saya katakan itu, kini telah habis. Kini, saya hanyalah seorang penulis pecundang yang karyanya telah mati sejak tahun 2017. Sisanya sekarang hanyalah kegagalan-kegagalan yang saling berkejaran dan siap menghadang saya di gerbang keberhasilan manapun di masa depan.[]
Depok, 17 Agustus 2019
2 komentar
Sedih banget,
ReplyDeleteTp Untung ujungnya tetep optimis. 😊
Bagian mana yang terbaca optimis hehe
Delete