[Ulasan Buku] Bicara Cinta, Manusia Dewasa, dan Problematika Kehidupannya
August 25, 2019
Judul Buku : What
We Talk About When We Talk About Love
Penulis : Raymond Carver
Penerbit : Penerbit Baca
Tebal : vi + 203 halaman
ISBN : 978-602-6486-23-3
Terbit : Desember, 2018
Harga : Rp. 65.000,-
ISBN : 978-602-6486-23-3
Terbit : Desember, 2018
Harga : Rp. 65.000,-
“Menurutku, kita
semua baru pemula dalam soal cinta. Kita bilang kita saling mencintai dan
memang benar, aku tak ragukan itu. Aku mencintai Terri, dan Terri mencintaiku,
dan kalian berdua juga saling mencintai. Kalian tahu jenis cinta apa yang
kubicarakan sekarang.” (Hlm. 183).
Cerpen, “Yang Kita Bicarakan Saat Bicara Tentang
Cinta” ini berkisah tentang empat orang, dua pasang suami-istri, di sebuah
meja makan, yang sedang berbincang-bincang mengenai perjalanan cintanya
masing-masing. Sebelum kemudian mereka saling menemukan satu sama lain.
Layaknya dalam sebuah reuni sekolah, mereka membuka obrolan dengan mengulik
masa lalu percintaannya tanpa ada yang berusaha ditutupi. Semisal apa yang
diungkapkan Teresa atau yang memiliki sapaan Terri, istri dari Mel McGinnis.
Ia berkisah
pengalaman pernikahan pertamanya sebelum bertemu Mel. Pria yang pernah hidup
bersamanya begitu mencintainya sampai-sampai berusaha membunuhnya. “Suatu
malam, dia pukul aku. Memegang pergelangan kakiku, ia seret aku keliling ruang
tengah. Ia terus bilang, ‘aku cinta kamu, aku cinta kamu, lonte.’ Bagaimana menurut kalian cinta yang seperti itu?” (Hlm.
174).
Kemudian mereka
saling memberikan pandangannya masing-masing tentang apa itu cinta. Filosofi
apa yang terbentuk dalam benak mereka soal cinta. Tampak benar dalam cerpen ini
tokoh-tokohnya adalah orang yang dewasa dalam pemikiran dan perkataan. Mereka
sudah berdamai dengan diri masing-masing dan mau saling memaafkan masa lalu
pasangannya.
Begitu juga
dengan 16 cerpen lainnya. Dalam buku lawas yang
pertama kali terbit tahun 1981 ini, ditulis oleh Raymond Carver yang mempertemukan
tokoh-tokoh karangannya dengan serangkaian peristiwa yang amat pedih dan
menyayat, namun bisa dihadapi dengan lapang dada. Ia menghadirkan tokoh yang
tidak cengeng, siap menghadapi problematika kehidupan serumit apa pun itu dan
selalu berusaha menemukan kelucuan yang getir dari apa yang dialami para tokoh
rekaannya.
Dalam cerpen pembuka, “Kenapa
Kalian Tak Berdansa Saja” berkisah tentang pria yang frustrasi ditinggal
pergi kekasihnya, dan semua barang-barang miliknya dikeluarkan dari dalam rumah.
Tetapi, dari jalan raya, ada sepasang kekasih melihatnya dan mengira sedang ada
bazar barang bekas di garasi. Lalu mereka mencoba kasurnya, televisi, juga
lampu baca saat si pria frustrasi pergi berbelanja. Saat ia kembali, bukannya
marah, ia malah senang ada orang yang datang dan menawar barang-barangnya,
meski sebetulnya ia tidak sedang menjualnya.
Si pria menghabiskan minuman dan mengisi gelasnya lagi, lalu menghampiri
kardus berisi piringan-piringan hitam. “Pilih salah satu,” katanya kepada si
cewek sembari menyodorkan beberapa. (Hlm. 8).
Lalu si pria mempersilakan sepasang kekasih itu untuk berdansa. “Ini
halamanku. Kalian boleh berdansa kalau mau.” (Hlm. 9). Dialog ini menunjukkan
betapa kesepiannya si pria setelah ditinggal pergi orang yang disayanginya.
Sampai-sampai ia ingin melihat sepasang kekasih berdansa di hadapannya dan
membayangkan dirinya di masa lalu saat bersama kekasihnya sebelum berpisah.
Carver tampak sekali tidak memanjakan tokoh rekaannya. Ia justru seolah
membebaskan setiap karakter untuk membuat keputusannya sendiri dalam
menyelesaikan permasalahan tanpa campur tangan penulis. Ditambah, alihbahasa ciamik yang dilakukan oleh Dea Anugrah dan Nurul Hanafi menambah kejatmikaan setiap
kalimat dan narasi yang muncul menjadi bernas. Irama bahasa penulis aslinya,
yang gemar memaki, tampak tidak keluar dari relnya meskipun sudah diterjemahkan.
Tentu hal semacam itu tidak mudah bila bukan ditangani oleh yang ahli. Dan
kedua penerjemah itu saya pikir berhasil di buku ini.[]
Cilegon, 4 Juli 2019
0 komentar