1/
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri[1]
Saya pernah dibuat kecewa oleh Sapardi. Saat itu kebetulan bulan Juni tapi langit tak sedang hujan. Novelnya yang berjudul sama dengan puisinya, Hujan Bulan Juni terbit. Mulanya saya enggan untuk membelinya, karena saya tak mau ekspektasi saya akan puisinya yang sudah tinggi, menurun. Namun bagaimana lagi, rasa penasaran timbul bak bisul di ujung pantatmu. Kalau tak lekas diobati atau dipecahkan, ia akan terus membesar dan cukup membuatmu gusar ketika hendak duduk. Maka dengan niat yang bulat, berangkatlah saya ke toko buku lalu membeli novel bersampul sederhana itu; dominasi antara warna krem dan abu-abu, tanpa gambar apa pun selain tulisan hujan bulan juni yang didesain seolah-olah pudar diterpa air hujan, lalu di bawahnya nama sastrawan besar itu tertera.
Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menyelesaikan novel itu dalam sekali duduk. Dua atau tiga jam saya beres membacanya. Tetapi, kekecewaan yang hadir hingga hari ini belum bisa hilang. Andai saja ia tak menulis novel yang kemudian saya tahu trilogi itu, rasa hormat saya pada puisi Hujan Bulan Juni pasti tak berkurang. Dan saya tak cukup puas sampai di sana, saya akhirnya menuliskan “kekecewaan” itu dalam bentuk resensi. Kemudian saya posting di blog pribadi saya. Saya ingat betul pertama kali saya tayangkan tulisan itu tanggal 27 Juni 2015, beberapa hari setelah novelnya terbit. Namun, hingga hari ini, resensi itu paling banyak dibaca oleh warganet di blog saya, mengalahkan semua tulisan yang pernah saya posting. Bahkan, ada seorang pelajar yang sengaja menghubungi saya secara pribadi untuk meminta izin menggunakan resensi itu sebagai tugas sekolahnya.
[RESENSI] Novel: Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono (GPU, 2015)
Lihat,
betapa besar pengaruhnya karya seorang Sapardi Djoko Damono bagi pembacanya.
Kekecewaan ini juga rupanya bukan hanya saya yang alami. Pembaca lainnya juga
sama kecewanya. Karena, bagi kami karya itu sangat personal dan sudah bukan
lagi “milik” penulisnya. Ia sudah milik publik. Dan cara pembaca memandang
puisi itu sudah berada di posisi “sakral” (tanpa mau saya menyebutnya
fenomenal). Artinya, bagi saya khususnya, puisi Hujan Bulan Juni sudah selesai bentuknya sebagai puisi. Tak bisa
dipakai dalam bentuk lain semacam novel. Jika musikalisasi Ari-Reda tentu itu
lain hal. Saya sedang membahas dalam bentuk tulisan. Andai saja Sapardi menulis
novel itu dengan judul lain, pasti akan berbeda sudut pandangnya. Meskipun saya
menduga kalau Sapardi menulis itu karena untuk kebutuhan komersil dan tuntutan
penerbit belaka. Namun, ini hanya secuil kekecewaan saya terhadap karyanya.
Meski tak bisa hilang, rasa kecewa itu sedikit berkurang ketika saya ada
kesempatan untuk bertemu, mengikuti kelasnya, bahkan hingga berfoto dan
berbincang langsung dengan beliau.
2/
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
Tiga tahun setelah rasa kecewa itu, saya mendapatkan kesempatan mengikuti sebuah kegiatan yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yakni Majelis Sastra Asia Tenggara. Sebuah agenda tahunan yang mengundang penulis-penulis dari lima negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan Indonesia. Saat itu negara kami yang menjadi tuan rumah. Selama seminggu kami berada di satu tempat untuk berbicara mengenai sastra dan kesusastraan di negara serumpun ini, khususnya soal cerita pendek (cerpen). Salah satu pemateri tamunya adalah Pak Sapardi. Tak banyak penyair yang karyanya saya kagumi, barangkali terhitung jari. Pak Sapardi tentu ada di urutan nomer wahid. Selain karena saya lebih banyak menulis prosa, puisi-puisi Pak Sapardi adalah yang paling mudah saya terima dan nikmati.
Saat itu Pak Sapardi tak bisa hadir langsung ke tempat acara. Maka, kami yang mengunjungi beliau di kampus tempat mengajarnya, di bilangan Jakarta. Sebagaimana yang tercitrakan di media, saya selalu mengira penyair adalah orang yang serius. Saya pasti akan bingung bagaimana memulai obrolan bila ingin berbincang dengannya. Namun rupanya, tak kenal..., maka berkenalanlah agar tahu. Aslinya Pak Sapardi jauh dari asumsi itu. Beliau sangat ramah, rendah hati, dan tentu saja “sedikit gila”. Bagaimana tidak, beliau begitu mudah membaur dengan kami para anak muda dan tak sedikit banyolan yang keluar dari bibir keriputnya. Gejolak mudanya sulit sekali beliau sembunyikan. Bahkan beliau cukup update soal media sosial. Di sisa usianya, hampir setiap hari beliau mengunggah foto di akun Instagram-nya.
Singkat cerita, seusai mengikuti kelasnya, kami ada kesempatan untuk melakukan tanya-jawab. Setelah itu, saya meminta berpose berdua saja, dan itu sulitnya minta ampun. Setelah berhasil meminta waktu, saya mengarahkan beliau untuk salam literasi dengan membentuk huruf L pakai jari telunjuk dan jempolnya. Walahdalah, beliau malah membentuk pistol dan menembakkannya ke arah saya. Hal remeh semacam itu justru membuat saya terkesan hingga hari ini. Saya tak betul-betul tahu kalau saat itu bakal jadi pertemuan terakhir saya dengan beliau.
3/
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
Usianya memang sudah 80 tahun, akan tetapi rasanya masih seperti mimpi mendengar berita kepergiannya bulan Juli lalu. Kini ia telah kembali pada Sang Mahapuisi. Barangkali sekarang ia sedang menulis sajak dengan-Nya, tanpa perlu pusing diundang ke sana-kemari mengisi acara seminar sastra lagi. Kemasyhurannya sebagai sastrawan tak bisa dielakkan. Ia sudah begitu banyak melahirkan karya sastra, bahkan hingga di penghujung usianya. Saya seringkali dibuat malu oleh produktivitasnya dalam melahirkan karya.
Ada satu hal yang masih saya sembunyikan hingga hari ini. Tak banyak kawan-kawan saya yang tahu. Namun, sekarang mungkin waktu yang tepat untuk saya ceritakan. Awal Januari 2020 lalu, saya berkesempatan ikut proses pembuatan film yang terinspirasi dari karya beliau. Sewaktu penulis skenario cum sutradaranya saya tanya, “Apakah nanti bakal ada Pak Sapardi muncul sebagai cameo?” Jawaban yang ia beri mematahkan harapan saya untuk bisa bertemu lagi dengan Pak Sapardi. Katanya, “Sepertinya tidak memungkinkan.” Namun dengan lekas ia berusaha membesarkan hati saya, “Barangkali sewaktu premier nanti bakal kami undang.” Mendengar itu saya gembira sekali!
Ini
project pertama saya terlibat langsung
dalam proses pembuatan film panjang/layar lebar. Lantaran lokasi syutingnya di Banten, film
ini kebetulan sepenuhnya berbahasa daerah Banten: Jawa dan Sunda. Saya
bertindak sebagai salah satu accent-coach (dialek) untuk para talent. Puisi Hujan Bulan Juni lagi-lagi
diinterpretasikan dalam medium lain. Memang, film dengan judul itu sudah pernah
diproduksi dan tayang dalam bentuk film populer. Akan tetapi, film yang saya terlibat
di dalamnya ini dibuat lebih “indie”
dan “edgy”. Selain bakal masuk
bioskop tahun 2021 nanti, film ini juga akan diikutkan dalam berbagai festival
film internasional.
Film itu nantinya akan dikenang sebagai tribute untuk Sapardi. Saya hanya akan duduk sendiri di sudut bioskop ditemani kursi yang kosong. Akan ada percakapan yang saya karang-karang sendiri di sana, sembari menyaksikan film yang dipersembahkan untuk penyair kita yang tabah, bijak, dan arif itu.
Cilegon, 10 September 2020