[Ulasan Buku] Maskulinitas Tokoh Perempuan dalam Buku Dilatasi Waktu
February 12, 2020Launching dan Bedah Buku, "Dilatasi Waktu" karya Deby Rosselinni, (29/12/19) |
Judul Buku : Dilatasi Waktu
Jenis Buku : Fiksi/Kumpulan Cerpen
Penulis : Deby Rosselinni
Penerbit : Gaksa Enterprise
Halaman : 137 hlm
Tahun : 2019
ISBN : -
Menulis memang bukan
pekerjaan yang mudah, sekalipun menulis buruk.
Akan tetapi, pertumbuhan penulis kian pesat seiring bertambahnya platform digital yang memang menyediakan
ruang untuk memublikasikan karya kita, sehingga bisa diakses oleh banyak orang.
Media sosial satu di antaranya. Namun meski begitu, banyak penulis yang masih
mau “bersusah-susah” menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. Ibarat musisi,
belum afdol rasanya bila belum merilis album fisik—sekalipun menjamurnya
aplikasi streaming—barangkali begitu
juga penulis; termasuk Deby Rosselinni, penulis muda potensial yang lahir dan
besar di Banten.
Namun, ini bukanlah
buku pertamanya. Ia menerbitkan buku sejak usianya masih belia hingga kini
telah menjadi seorang istri yang juga mahasiswi. Artinya, ia tak sedang
keren-kerenan atau ikut-ikutan tren. Ia menulis dan menerbitkan buku atas dasar
kecintaannya pada dunia menulis, meskipun, seperti yang ia sampaikan di kata
pengantar bukunya, bahwa ia pernah vakum menulis selama kurang lebih lima
tahun. (Hlm. Viii)
Kumpulan cerpen Dilatasi Waktu ini semacam upayanya
untuk merawat kembali benih-benih cintanya di dunia kepenulisan. Bisa pula
dijadikan tonggak untuk melahirkan karya-karya berikutnya.
Cerpen pertama
berjudul Sebab Aku Tuli, ditulis
tahun 2015. Berkisah tentang seorang anak yang lahir dalam keluarga yang kurang
harmonis. Orang tuanya gemar bertengkar dan meributkan apa pun, sehingga si
anak menjadi korban. Gaya penulisan dalam cerpen ini terlalu
dipuitis-puitiskan. Tentu saja itu bagus, tetapi menjadi kebalikan ketika
penulis gagal dalam urusan menyusun kalimat. Akhirnya, narasi menjadi nanggung
dan tidak meraih respect pembaca,
sebab ketika pembaca hendak masuk ke perasaan si tokoh, pembaca direpotkan
dengan narasi dan susunan kalimat yang belum sempurna, sehingga sedikit
terganggu.
Berbeda dengan cerpen
pertama, cerpen Idiot justru seolah
tak peduli dengan apa pun. Bahkan judul cerpennya itu sendiri. Penulis seolah
hendak melawan segala kaidah dan aturan kepenulisan. Narasinya cepat, gesit,
dan intensitasnya terus naik hingga bagian akhir cerita. Pembaca akan dibuat ngos-ngosan sewaktu membacanya dan
barangkali memang itu yang hendak penulis capai di cerpen keduanya ini. Karena
memang berkisah tentang tokoh perempuan yang frustrasi dan merasa jengkel
dengan buku diary berwarna hijau yang
selalu dibawanya ke mana-mana itu, hingga akhirnya ia membakar buku tersebut.
“Lega sekali. Aku telah menyelesaikan semua hal yang harus kulakukan.
Aku sudah berhasil mengantarkan buku itu kepada nasib terburuknya.” (Hlm.
16)
Di cerpen Melati dan Lembaran Historis, saya malah
curiga kalau ini esai, bukan cerpen. Sejak tiga lembar pertama, cerpen ini
berisi argumen-argumen penulis yang bermonolog sendirian. Tapi di lembar
berikutnya ternyata mulai memasukkan tokoh, percakapan, dialog, dan “cerita”.
Hanya saja, cerpen ini bentuknya semacam kisah para bijak, yang tokoh-tokohnya
adalah benda dan makhluk hidup selain manusia.
Deby banyak menghadirkan
tokoh perempuan yang tidak cengeng, dalam arti tidak suka merengek ke orang
lain selain pada dirinya sendiri. Pergulatan setiap tokoh dengan kediriannya
begitu kuat dan selalu menghadapi masalah sendirian tanpa mengandalkan
laki-laki, bahkan kebanyakan laki-laki diposisikan sebagai tokoh antagonis atau
dibenci oleh si tokoh perempuan.
Simpulan itu bisa
ditemukan dalam cerpen Dilatasi Waktu
yang dijadikan judul utama buku ini. Dibanding cerpen yang lain, cerpen ini
salah satu yang rapi secara alur. Deby menyusunnya dengan ketegangan paling
dasar hingga memuncak di akhir cerita. Pembaca dibawa peduli dengan perasaan Lani, tokoh perempuan, dan dibuat penasaran
dengan situasi yang ia alami. Kemuakkannya terhadap sosok laki-laki (dalam
cerita ini ayahnya yang pergi meninggalkan keluarga di masa lalunya), dibuat
semakin kuat dengan hadirnya tokoh kakek-kakek yang duduk di hadapannya,
sewaktu dalam angkot. Kelakuan si kakek itu meyakinkan Lani kalau semua
laki-laki adalah sumber bahaya dan sumber masalah. (Hlm. 42)
Nyaris dari 15 cerpen
ini seperti bicara tentang keberdayaan perempuan dalam mengendalikan situasi
dan peristiwa, yang ruang lingkupnya soal keluarga, pertemanan, dan hubungan
percintaan antar siswa.
Cerpen Musim Rindu lebih baik dibanding
semuanya. Ia lengkap secara struktur pembangun “cerpen” dan juga barangkali
akan digemari pembaca kebanyakan. Hanya, lagi-lagi ditemukan upaya
“menyimpulkan” si penulis dari setiap cerpen yang ditulisnya. Tak masalah
memang, itu pilihan, tapi alangkah baiknya semua ditulis seolah mengalir dan
tak ada tendensi harus “memunculkan quote”
dan seolah mesti ada “rangkuman” isi cerita yang kemudian terkesan dipaksakan.
Baiknya, jangan kunci imajinasi pembaca dengan kalimat-kalimat petuah yang
seringkali justru pembaca hindari.
Para santri Daar El-Istiqamah, Serang, saat menjadi peserta bedah buku Dilatasi Waktu |
Berlawanan dengan
cerpen Musim Rindu, dalam cerpen Neshamah ada kesan yang begitu tipis
antara fiksi dan realitas. Pembaca, atau saya seperti menemukan kehidupan
penulisnya sendiri, bisa jadi karena saya mengenal penulisnya. Namun pada
dasarnya, setiap karya, memang tak akan pernah lepas dan lahir dari kehidupan
sesungguhnya si pengkarya, dalam hal ini penulis. Entah berapa persen yang
memengaruhi isi ceritanya. Deby seperti cuek saja, dan menulis sesuka hatinya,
walau kemudian kisahnya ini beririsan dengan kehidupannya. Dan cerpen yang
baik, salah satunya mampu membuat pembaca yakin kalau kisah itu memang benar
adanya.
Dari banyaknya tokoh
perempuan yang dijdikan sentral, akhirnya saya menemukan tokoh utama laki-laki
dalam cerpen Banten dan Gadis Mistis.
Judulnya cukup menggelitik, bisa jadi karena pengertian mistis antara saya dan
penulis berbeda. Karena sebetulnya tokoh gadis yang saya temukan dalam cerpen
ini bukan mistis, tetapi lebih ke aneh. Saya berharap cukup besar pada tokoh
laki-laki yang dihadirkan. Sebab, beberapa cerpen bernarator perempuan cukup
maskulin. Kira-kira bila tokoh laki-laki yang menjadi juru cerita akankah
berbeda dengan gaya tutur tokoh perempuan?
Tapi sayangnya,
barangkali karena saya mengenal penulisnya, jadi sulit membedakan suara si
narator. Narasi dan pilihan diksinya masih terasa kuat dan condong ke suara “perempuan”-nya.
Riset asal-asalan saya berkata kalau
penulis laki-laki lebih jago membuat tokoh perempuan, dibanding penulis
perempuan yang menghadirkan tokoh laki-laki di karyanya. Lebih jago di sini merujuk pada seberapa meyakinkan penulis
laki-laki/perempuan dalam menghadirkan sosok lawan jenisnya
perempuan/laki-laki. Tentu ini tak sepenuhnya bisa dijadikan acuan, tapi boleh
saja dijadikan stimulus dan tantangan tersendiri untuk Deby bila ingin menulis
cerpen dengan narator laki-laki nantinya.
Dalam cerpen Cantik dan Ada Kupu-Kupu Hitam dalam Dadaku diceritakan dengan setting kiwari. Menggunakan pendekatan
tokoh yang kekinian, aktual, dan memang banyak remaja generasi y (milenial) dan
generasi z alami. Soal media sosial, pengakuan khalayak, eksistensi diri,
penggila K-Pop, dan banyak lagi. Deby cukup lihai memotret peristiwa di
sekelilingnya. Ia mampu menemukan apa yang menarik untuk kemudian dituliskan
dalam bentuk cerpen.
Segala sesuatu memang
membutuhkan proses. Dan proses pengkaryaan yang baik tak pernah bisa didapat
dengan mudah. Dengan membaca buku karya Deby Rosselinni ini, pembaca akan
merasakan proses penempaan dari setiap karya yang Deby tulis. Karena
cerpen-cerpennya lahir tidak dalam satu waktu. Mulai dari rentang tahun
2015-2019. Yang jelas, saya ingin mengucapkan selamat atas terbit bukunya ini
dan selamat datang kembali Deby di dunia kepenulisan yang makin absurd ini.[]
Cilegon, 27 Desember 2019
***
0 komentar