27 Steps of May: Senyap yang Bising
March 24, 2020
Score: 8,5/10.
Film ini tayang 27 April tahun lalu di bioskop seluruh Indonesia tapi tidak termasuk bioskop di kota saya. Semalam, saya baru bisa menontonnya di aplikasi Go-Play. Usai menonton, saya merasa jadi salah satu orang yang beruntung bisa menikmati film sebagus ini!—meski agak telat.
Ravi Bharwani adalah pencerita yang baik. Ia bisa menerjemahkan skenario Rayya Makarim (kakak dari Nadiem Makarim) dengan sempurna. Tapi tentu saja, sebaik apa pun cerita, kalau tak diperankan oleh aktor luar biasa, cerita bisa gagal dan tidak tersampaikan dengan baik kepada penontonnya.
Raihaanun, Lukman Sardi, Ario Bayu, Verdi Solaiman dan para pameran pendukung lainnya boleh dikatakan berhasil membawa penonton ke dalam cerita. Belum lagi aspek lainnya seperti sinematografi, scoring musik, dan ketegangan yang dibangun sepanjang cerita.
Film yang minim dialog seperti 27 Step of May ini, bagi sebagian orang pasti akan terasa membosankan. Namun, kalau kita paham kondisi May sebagai penyintas/korban pelecehan seksual, kita akan larut pada jalinan cerita dari hari ke hari, dan memakluminya. May berusaha mengontrol hidupnya dengan melakukan hal yang sama selama 8 tahun. Ia mengurung diri di kamarnya, bahkan bicara pada ayahnya pun tidak. Boleh dikatakan May menderita Obsessive Compulsive Disorder (OCD) juga, betapa tidak mudah menjalani kehidupan pascaperkosaan yang menimpa dirinya saat SMP. Ia diperkosa oleh 3 lelaki sekaligus dengan sangat tidak manusiawi. Melepaskan diri dari trauma semacam itu adalah hal yang sulit. Bahkan orang di lingkungannya, turut merasakan sakitnya.
Kemunculan Ario Bayu sebagai pesulap mampu perlahan-perlahan mewarnai kehidupan May, meskipun ketika ada kontak fisik, sentuhan misalnya, May akan dikejar lagi oleh masa lalunya yang suram. Pada scene tertentu, pikiran saya malah membawa saya pada tokoh perempuan gila yang ada di novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Bedanya, dalam film ini memakai sudut pandang si korban sedangkan Eka mengisahkan pengalaman traumatik si Ajo Kawir, korban lapis kedua.
Bagi kamu yang mau menonton film ini, saya sarankan harus menyiapkan mental, apalagi bagi kamu yang pernah mengalami pelecehan seksual serupa. Kita akan menahan napas cukup lama, dan merasakan kegelisahan yang sama seperti yang dialami May. Meski film ini tampak senyap, bahkan musik saja minim sekali, tapi kebisingan akan memenuhi pikiran kita yang berisi dugaan-dugaan tentang apa saja yang akan dilakukan dan dialami oleh si tokoh di adegan berikutnya.
Bagi kamu yang mau menonton film ini, saya sarankan harus menyiapkan mental, apalagi bagi kamu yang pernah mengalami pelecehan seksual serupa. Kita akan menahan napas cukup lama, dan merasakan kegelisahan yang sama seperti yang dialami May. Meski film ini tampak senyap, bahkan musik saja minim sekali, tapi kebisingan akan memenuhi pikiran kita yang berisi dugaan-dugaan tentang apa saja yang akan dilakukan dan dialami oleh si tokoh di adegan berikutnya.
Ledakan besar ada di ending ketika Verdi Solaiman berkata, "Semua udah kejadian!". Jujur saja mata saya langsung berkaca-kaca. Ditambah saat May sudah bisa mengatasi traumanya dan ia memeluk ayahnya sambil berbisik, "Bukan salah Bapak." Lukman Sardi menangis sejadi-jadinya. Betapa salut saya kepada para aktor, tentang cara mereka membangun karakternya bisa begitu hidup di mata penontonnya dan dipercaya!
Salut dan bangga ada film sebagus ini karya anak bangsa~~
Cilegon, 24 Maret 2020
0 komentar