[Cerpen] Preman Pasar Kranggot
May 21, 2020image by shutterstock.com |
“Terima kasih
kepada pemerintah, Kepala Desa, Pak RT, dan Pak RW atas bantuannya...,” ucap
Juki di depan kamera. Belum selesai ia merekam video, Mahmud menyahut.
“Juk, emang lu
udah dapat bantuan?” Mahmud garuk-garuk kepala kebingungan.
“Belum, Mud. Ini
gue lagi latihan aja dulu. Siapa tahu dapat, kan gue udah punya stok video
ucapan terima kasihnya.” Juki cekikikan. Mahmud menepok jidatnya kesal. Jam-jam
segini, bisa-bisanya si Juki bikin Mahmud sebal.
“Mau ke mana,
Mud?” tanya Juki yang gantian bingung melihat Mahmud berjalan keluar gudang
bekas itu.
“Nyari makanlah.
Pusing gue sama lu,” Mahmud pergi meninggalkan Juki yang masih melongo.
Dua preman itu
belum berkeluarga. Mereka tinggal di kosan yang sama. Jangan ditanya sudah
berapa bulan menunggak. Cari kerja, bagi mereka sama sulitnya dengan menemukan
jarum di tumpukan jerami. Lamaran kerja sudah tak terhitung jumlahnya yang
mereka ajukan ke perusahaan-perusahaan. Bahkan, seringkali duit makan mereka
digunakan untuk keperluan fotokopi ijazah dan segala tetek-bengeknya itu.
Menjadi preman
bukanlah keinginan mereka. Semua terpaksa dilakukan demi bertahan hidup.
“Mau cari makan
di mana, Mud?”
“Ke tempat biasa
aja, di pasar Kranggot.”
Juki tampak
berpikir. Lalu dia bertanya, “Emangnya, masih buka? Kan lagi ada corona, Mud.”
“Udah liat aja
dulu. Mau ikut kagak?” tanya Mahmud sembari menaiki motornya.
“Ikutlah!” Juki
segera membonceng ke bagian belakang. Kebanyakan preman motornya sangar-sangar
dengan suara knalpot yang cempreng. Ternyata itu tidak berlaku buat dua orang
ini. Mereka malah menaiki motor matic
warna ungu. Sangarnya jadi berkurang jauh.
“Berangkat!”
***
Mereka telah sampai
di Pasar Keranggot. Mereka memang sering nongkrong di sana sebagai preman
pasar. Tapi nahas, gara-gara corona, wabah virus yang sedang menyerang seluruh
dunia, membuat aktivitas manusia berubah. Termasuk di pasar. Pagi menjelang
siang itu, pasar sepi. Hanya beberapa yang membuka lapak dagangan tapi nyaris
tidak ada pengunjung.
“Kagak ada yang
ke pasar, Mud! Apes banget!”
“Corona sialan!
Udah mah cari kerja susah. Eh, dia nambah-nambahin bikin kita makin susah cari
makan!” gerutu Mahmud.
Selagi mereka
sedang misuh-misuh, ada Andi, anak remaja yang baru keluar dari ATM.
“Diem, Juk. Kita
palak aja tuh bocah.” Mahmud menunjuk ke Andi. Terlihat dia segera memasukkan
uang dan ATM ke dalam tas selempangnya. Juki yang badannya lebih besar dari
Mahmud maju lebih dulu. Mereka berdiri di depan dan belakang Andi.
“Wah, abis narik
duit, nih. Bagi dong,” goda Juki. Andi tampak ketakutan melihat badan kekar
mereka.
“Iya, mending
kasih kita aja, kamu ‘kan bisa narik lagi. Sini!” paksa Mahmud. Dia menarik tas
selempang Andi. Terjadilah tarik-menarik tas. Namun nahas, seseorang yang
memiliki postur tubuh lebih besar dari mereka, berdiri di belakangnya.
“Ayah, tolong!”
seru Andi kepada pria tinggi besar itu. Juki dan Mahmud masih bingung, sampai
akhirnya bahu mereka ditepok oleh ayah Andi.
“Diem, lu!” ucap
Juki sembari menengokkan kepalanya ke belakang. Dia ketakutan dan wajahnya seketika
pucat.
“Mud, liat
belakang!” suruh Juki dengan nada suara gemetar.
“Ah, cemen
banget lu. Biar gue yang lawan!” saat Mahmud menoleh, dia gentar melihat tato
yang memenuhi tubuh Baron, ayah Andi.
“Aaampuun, Baang!”
Mereka tidak tahu kalau Andi adalah anak Baron, mantan preman yang ditakuti
pada masanya. “Gue kira dia bukan anak Bang Baron,” tambah Juki yang pangling melihat
wajah Andi.
“I-iya, Bang.
Maafin kita. Ini tadi cuma bantuin anak Bang Baron ambilin tasnya yang jatuh,”
mohon Mahmud memberi alasan.
“Bener begitu,
Di?” tanya ayahnya dengan suara berat yang terdengar sangar. Andi, karena
melihat kasihan kepada dua preman itu, akhirnya dia mengiyakan ucapan Mahmud.
“Iya, Yah. Andi
juga ngiranya mereka mau ambil uang Andi. Ternyata dia baik mau balikin tas
yang jatuh,” kata Andi tak ingin ada keributan. “Terima kasih, ya, oom,”
tambahnya kemudian berjalan ke mobil yang diparkir tidak jauh dari ATM itu.
Wajar mereka tidak tahu Andi anak Baron, karena selama ini Andi tinggal bersama
ibunya.
“Awas, ya, kalau
macam-macam sama anak gue!” ancam ayah Andi sembari memberi isyarat gorok
leher.
“I.. iya, Bang.
Maaf,” ucap Juki yang nyalinya mulai ciut.
Andi yang sudah
ada di mobil segera memanggil ayahnya. “Ayah, hayuk. Sebentar lagi azan. Kita harus
segera ke masjid,” ucap Andi. Ayahnya pergi meninggalkan Juki dan Mahmud dengan
tatapan yang penuh ancaman. Meski memiliki badan besar, Juki dan Mahmud
termasuk preman baru alias karbitan.
***
Hari semakin
siang. Juki dan Mahmud belum juga dapat target. Mereka belum makan sejak pagi.
Pangkalan yang biasa dia palak, seperti pasar dan rumah makan, hari itu tutup
gara-gara wabah pandemi virus corona. Imbauan pemerintah juga meminta
masyarakat untuk jaga jarak dan tidak pergi jauh-jauh. Kalau tak ada keperluan
yang mendesak lebih baik di rumah saja.
“Betul-betul membunuh
pekerjaan kita, ya, Juk!”
“Iya, pemerintah
nggak merhatiin kita sebagai preman, nih,” keluh Mahmud yang duduk di sebuah
warung kopi yang sedang tutup.
Azan zuhur
berkumandang. Meski sudah diberi imbauan untuk menjaga jarak, beberapa warga
masih melakukan ibadah berjamaah di masjid. Namun mereka semua mengenakan
masker. Juki dan Mahmud memerhatikan mereka yang berjalan menuju masjid.
“Punten, Kang,”
ucap Ruslan, tetangga kosan Juki dan Mahmud. Mereka kikuk. Keduanya membalas hanya
dengan anggukan kecil.
Mahmud
mengeluarkan rokok dari dalam sakunya. Juki yang melihat itu mulai mendekati
Mahmud.
“Bagi, Mud, sebat—”
“Kagak ada lagi,
ini tinggal satu-satunya,” dengus Mahmud kesal.
“Ya, elah, pelit
banget, sih, lu. Entar kalau gue punya, gue ganti, deh,” bujuk Juki sembari
menarik-narik lengan baju Mahmud.
“Gue sundut, lu,
ya. dibilang cuma tinggal satu, kagak percaya lagi.”
“Ya, udah, kalau
gitu join aja.”
“Nih, nih, ambil
sama lu. Ogah gue barengan, corona congor lu!” Mahmud menyodorkan rokoknya yang
baru diisap seperempat dengan terpaksa. Juki menerimanya gembira.
Lima belas menit
berlalu. Mereka masih duduk di warung kopi itu. Tak lama, ada pedagang siomay
mau lewat sana. Juki dan Mahmud saling memberi kode. Namun rupanya, si tukang
siomay tahu, kalau mereka pasti bakal malak dia seperti hari-hari sebelumnya.
Akhirnya si tukang siomay putar balik.
“Heh, mau ke
mana, lu!”
“Awas lu ya
kalau besok ketemu lagi!!” Juki melemparkan sandalnya, tapi lemparannya gagal
mengenai si tukang siomay.
Orang-orang yang
dari masjid mulai betebaran. Jarak warung itu dengan masjid tak lebih dari
tigapuluh meter. Juki lekas mengambil sandalnya dan balik lagi ke bangku
warung. Mahmud sibuk memerhatikan apa yang dibawa oleh orang-orang dari masjid.
Hampir semua yang lewat membawa bungkusan nasi kotak. Dia menelan ludah,
bersamaan dengan bunyi perutnya yang keroncongan.
“Mas, Mas, dapat
dari mana nasinya?” tanya Mahmud pada salah seorang warga yang lewat.
“Itu, di masjid
lagi ada yang bagi-bagi makanan,” jawab warga itu sambil berjalan pergi, takut
dipalak.
Sekira jarak
lima meter dari warung, seseorang mengejek Juki dan Mahmud.
“Kalau mau nasi,
makanya solat. Biar dapat rezeki yang halal. Hahaha...,” ucap lelaki paruh baya
itu sambil berlari. Juki siap mengejar tapi dicegah oleh Mahmud.
“Udah, udah,
biarin aja. Udah tua, kualat lu nanti,” meski mereka mengaku sebagai preman,
tetapi dalam beberapa hal mereka masih mempunyai prinsip.
Mahmud meratapi
orang-orang yang lewat di hadapannya. Lalu Juki nyeletuk.
“Mud, kita ke
masjid, yuk. Siapa tahu masih ada nasinya. Laper, nih,” pinta Juki memelas.
“Bego, lu! Kagak
malu, lu! Solat kagak, minta makan ke orang-orang masjid.” Raut wajah Mahmud
berubah marah. Juki masih mengelus-elus perutnya.
“Coba tadi kita
solat ke masjid, ya. sekarang pasti lagi makan, nih.” Mahmud tak meladeni
keluhan Juki.
Sementara mereka
sedang berdebat, Andi dan ayahnya sedang berjalan menuju warung itu. Mereka
diberitahu oleh Ruslan kalau di warung ada Juki dan Mahmud. Ia memberi tahu
agar segera diusir oleh ayah Andi yang memang mantan preman. Orang-orang
sekitar sana mengetahui hal itu.
“Lagi pada
ngapain lu di sini?” tanya ayah Andi yang di telinga kedua preman itu terdengar
menyeramkan.
“Oh, ng-nggak,
Bang. Lagi santai aja.” Juki beringsut, berdiri di belakang Mahmud.
“Udah pada makan
belum?”
Mahmud
menggeleng. Juki hanya diam saja. Dia tahu betul bagaimana gaharnya Baron
sewaktu muda dulu.
“Kasih mereka
makanannya, Andi....” Baron meminta Andi untuk membagikan nasi kotak itu kepada
Juki dan Mahmud. Lekas-lekas mereka menerimanya khawatir Baron berubah pikiran.
Lalu, dari
belakang tubuh Baron, seorang perempuan cantik, berkerudung merah mendekati
Mahmud dan Juki.
“Nanti dipakai,
ya,” ucapnya seraya menyodorkan masker kepada mereka berdua. Juki dan Mahmud
menerimanya sambil matanya tak lepas memandangi paras Rosa, Istri Baron.
“Ini syukuran
kami. Udah, kalian cepet makan selagi hangat,” ucap Baron yang terdengar
seperti nada perintah. Ia memeluk bahu Rosa mesra. “Kalau ada apa-apa, atau
perlu sesuatu, kalian ke rumah aja, ya.” Juki dan Mahmud masih melongo,
khawatir salah dengar. Tapi kemudian mereka mengangguk.
“Terima kasih,
Bang!” Juki dan Mahmud berebut menyalami tangan Baron yang kekar.
“Ya, sama-sama. Assalamu’alaikum....” Baron dan
keluarganya pamit. Mereka kembali ke masjid, sementara dari jauh, Ruslan
terheran-heran kenapa Baron begitu baik kepada dua preman pasar itu.
Tanpa buang
waktu, Juki dan Mahmud segera membuka nasi kotak itu dan siap melahapnya. Mereka
setengah tak percaya, ternyata masih ada orang yang baik hati, yang mau berbagi
tanpa memandang bulu dan perilaku.[]
Cilegon, 15 Mei 2020
0 komentar