image by https://www.wallpaperbetter.com/ |
Tatsuo melemparkan kail ke sungai setelah mengaitkan potongan cacing pita ke mata pancingnya. Sementara Misae, bocah lima tahun, yang rambutnya dikepang dua, terus saja berlarian mengejar kupu-kupu di atas rerumputan. Bocah mana pun pasti akan melakukan hal yang sama seperti dirinya, sebab indahnya warna-warni sayap kupu-kupu itu begitu menggoda mata. Sesekali ia bakal naik-turun jembatan yang menghubungkan Desa Hiroshime dan Nagasake. Kalau tak ada Appa, panda besar piaraannya, Tatsuo bakal khawatir. Beruntung binatang berbulu hitam-putih lebat itu mau menjaga Misae.
Bila Tatsuo ingat, pertemuan dengan Appa bisa dikatakan ajaib. Kejadiannya dua tahun lalu, ketika ia berusia limabelas. Memancing di Sungai ÅŒta memang hobinya. Sejak ia sekolah dasar, selain mengajarkan berenang di sungai yang jernih itu, ayahnya gemar mengajak Tatsuo memancing.
“Ini supaya
kau belajar artinya sabar,” kata ayahnya suatu hari. Ketika diberitahu itu
Tatsuo belum mengerti maksudnya. Barulah saat beranjak remaja ia mulai paham.
Ternyata memancing bukan soal memperoleh ikan atau tidak untuk dibawa pulang,
tapi lebih dari itu, kesabaran dan instingnya dipertaruhkan. “Untuk memperoleh
sesuatu, harus ada usaha yang nilainya sama dengan apa yang ingin kita raih.” Seketika
ia akan mendengar suara ayahnya berkata seperti itu.
Setiap kali
teman-temannya bertanya dari mana ia mendapatkan pandanya, Tatsuo akan berkata,
“...dari teman Papa.” Ia tak pernah benar-benar menceritakan kisah sebenarnya
awal pertemuan dirinya dengan Appa. Sebab, meyakinkan orang untuk percaya, itu
lebih sulit ketimbang meyakinkan seekor anak panda untuk berenang.
Ia ingat sekali
pertemuannya terjadi saat pertengahan musim panas. Ketika ia masih libur
sekolah.
“Di mana alat
pancingnya Papa letakkan?” Itu kali ketiga ia bertanya pada ayahnya sebelum
kembali ke medan perang. Dan sang ayah, yang sedang membaca koran di teras akan
menjawab dengan sama persis seperti pada dua pertanyaan sebelumnya, “Papa taruh
di bawah tangga.” Namun, ketika Tatsuo memeriksanya, ia tak menemukan alat
pancing selain sepatu dan sandal yang tertata rapi di raknya.
“Papa yakin
tak lupa menaruhnya?” akhirnya ia kesal. Ayahnya bangkit dari kursinya. Ia
berjalan tergesa-gesa hingga lantai kayu yang dipijaknya meninggalkan bunyi bug-bug-bug berkali-kali.
Setibanya ia
di bawah tangga, rupanya ia pun tak menemukan alat pancing itu. Padahal, ia
ingat betul menaruhnya di sana.
“Harusnya
ada di sini, Tatsuo. Kau sudah coba tanya Mama?” Tatsuo menepuk jidatnya.
Kenapa tak terpikir untuk bertanya pada ibunya. Namun, saat ia akan ke dapur,
ia melihat dari balik pintu ruang keluarga, Misae sedang menarik-narik benang
pancing itu.
“Papa! Lihat
apa yang dilakukan Misae!” Tatsuo segera menggeser pintu ruang keluarga
lebar-lebar. Ayahnya menyusul. Misae seketika menoleh ke arah pintu. Ia
berteriak lalu menangis karena terkejut. Apalagi sewaktu Tatsuo mendekatinya
dan memarahi bocah tiga tahun kala itu.
“Kenapa kau merusak
pancingnya!” Tatsuo kesal sewaktu mendapati batang pancingnya yang terbuat dari
kayu ek itu patah. Entah bagaimana Misae melakukannya, Tatsuo tak mau peduli,
yang ia pedulikan hanya pancing hadiah ulang tahun dari ayahnya itu. Ia rebut potongan
gagang pancing dari genggaman Misae dan memelototinya hingga menangis. Tak lama
ibunya dari dapur muncul dan lekas menggendong Misae.
“Kau tak boleh menyalahkan adikmu, Tatsuo! Ia hanya seorang bayi yang belum paham apa pun.” Ibunya segera membawa Misae ke halaman belakang. Sementara ayahnya hanya diam sembari menatap tajam ke sulungnya. Tatsuo menangkap amarah di mata ayahnya. Akhirnya ia memilih untuk pergi meninggalkan rumah.
Sebenarnya,
ini bukan kejadian pertama kali. Beberapa waktu sebelumnya, Misae juga
mengambil pancing milik kakaknya dari halaman belakang. Nahas, jari Misae
tertusuk mata pancing hingga berdarah. Sejak kejadian itu, ayahnya menyarankan
untuk menyembunyikan pancing Tatsuo dan melepaskan mata pancingnya, agar
sewaktu-waktu bila Misae mengambilnya lagi tidak akan membahayakannya. Ya,
memang benar, saat terjadi lagi tidak membahayakan Misae, tapi merugikan
Tatsuo.
Anak remaja itu memilih menenangkan diri di Sungai ÅŒta. Dadanya masih bergemuruh. Bagaimana mungkin, pikirnya, sisa waktu liburannya harus ia habiskan tanpa memancing? Mustahil baginya. Ia duduk di atas rerumputan. Beberapa kerikil yang ada di dekatnya ia kumpulkan. Lalu, ia melemparkan satu per satu ke tengah sungai sekuat tenaga.
Ada satu
lemparannya yang meleset hingga ke kolong jembatan. Namun ia kaget, lemparan
kerikilnya itu menimbulkan kecipak air yang lumayan besar. Bahkan seperti air
mendidih dalam sebuah teko di atas perapian. Air itu terus begolak-golak
membuat sungai menjadi keruh.
“Apa itu?” Ada sesuatu yang muncul dari dalam air, seperti potongan ranting pohon ek namun berwarna hitam. Karena penasaran, akhirnya ia mendekat. Matanya melihat sekeliling mencari ranting kayu lain yang cukup panjang untuk menjangkaunya. Ketika kedua kakinya sudah di tepi sungai, ia berusaha meraih sesuatu di tengah sungai yang mengeruh itu.
Betapa
kagetnya Tatsuo saat sesuatu yang dikira potongan ranting itu bergerak dan menggapai-gapai
kayu yang ia sodorkan. Seketika air sungai meluap dan disusul oleh sesuatu yang
melompat dari bawah hingga hampir menyentuh dasar jembatan.
“Seekor
panda?” Tatsuo masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Panda besar
kembali jatuh berdebam ke sungai hingga Tatsuo tersiram percikan airnya. Panda
itu terus menggapai-gapai dari tengah sungai yang dalamnya lebih dua meter itu.
“Sepertinya ia anak panda.” Tatsuo mulai tenang dan bisa mengendalikan dirinya.
Panda itu seperti meminta pertolongan.
“Tangkap ini!” seru Tatsuo melangkah semakin maju hingga air sungai merendam kakinya selutut. Panda itu seperti tahu maksud Tatsuo, dengan nalurinya, kedua tangannya terus mencari apa pun yang bisa dipegangnya.
“Ayo berenang! Tenangkan dirimu!” Tatsuo berteriak seperti pada temannya. Namun, siang itu memang sungguh ajaib. Si panda seperti mendengar apa yang ia sarankan. Kedua kaki belakangnya ia gerak-gerakkan, menendang dari bawah ke atas. Kedua tangannya pun mulai ia buka tutup untuk menghalau air. Tatsuo berhasil mengajarkan panda itu berenang dengan cepat!
“Oniichan[1]!”
teriakan Misae membuyarkan lamunan Tatsuo. Appa terlihat panik. Ia berlarian menuruni
jembatan. Kakinya yang besar-besar bergegas membawanya pada Tatsuo.
“Astaga!
Misae-chan[2]!”
Tatsuo melemparkan kayu pancingnya ke sembarang arah. Ia kini tak peduli lagi
selain pada keselamatan adiknya. Bila diingat, terakhir Tatsuo melihat adiknya
masuk ke sela-sela dinding jembatan hingga akhirnya ia terjatuh ke sungai.
Tatsuo panik sebab ia tahu adiknya belum pandai berenang.
“Bertahanlah,
Misae-chan!” teriaknya diikuti suara
Appa yang seperti ingin mengatakan sesuatu.
Misae timbul-tenggelam dari dasar sungai—persis seperti dulu sewaktu munculnya Appa dari sana. Tatsuo melepaskan sandalnya dan hendak melompat ke tengah aliran sungai yang deras itu. Akan tetapi, selagi ia mengambil ancang-ancang, seketika saja Appa melompat mendahului Tatsuo.
“Hati-hati,
Appa-kun!” seru Tatsuo khawatir.
Panda itu menghalau derasnya aliran sungai dan pandangannya fokus pada Misae.
Tatsuo pun akhirnya melompat untuk menyusulnya.
“Tolong, Oniichan!”
teriak Misae yang terbawa arus. Beruntung Appa dengan sigap berhasil meraih
pakaian Misae dengan mulutnya. Ia menyeretnya dari leher belakang. Kaki-kakinya
yang besar mendorong bagian bawah sungai dengan kuat. Tatsuo mendekat dan
segera berhasil meraih tangan Misae.
“Bertahanlah,
Misae-chan.” Ia terus berenang
sembari menarik adiknya. Sementara Appa membantu mendorong punggungnya. Tak ada
orang yang melewati sungai sore itu, suasana sekitar pun terasa begitu senyap
tak seperti biasanya.
Akhirnya
mereka berhasil sampai ke tepi sungai. Misae merangkak dengan sisa-sisa
tenaganya yang ada.
“Oniichan....” Misae duduk meringkuk
terbatuk-batuk. Tatsuo segera berdiri dan memeluk adik satu-satunya itu.
“Syukurlah
kau baik-baik saja, Misae-chan. Aku
tak tahu apa yang mesti aku sampaikan ke Okaasan[3]
kalau kau tenggelam di sungai. Otousan[4]
pun pasti akan marah sepulang bertugas di medan perang.” Ia bernapas lega. Ada
airmata yang tiba-tiba jatuh membasahi wajahnya. Misae masih menggigil. Appa
mendekati tubuhnya dan menggosok-gosokkan punggungnya ke punggung Misae.
“Terima
kasih, Oniichan. Terima kasih, Appa-kun.” Panda itu menguik, mengeluarkan
suara dan mengangguk-angguk seolah ia mengerti apa yang dikatakan Misae.
Tak lama setelah itu, suara letusan mahadahsyat menggema hingga sampai ke Sungai ÅŒta. Tatsuo dan Misae ketakutan, begitu pun Appa. Mereka bertiga berlari bersembunyi di bawah jembatan. Mereka melingkar dan berpelukan, melindungi satu sama lain. Misae sempat mendongak ke langit, ia melihat hujan reruntuhan dari udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di muka bumi.[5]
Tujuh puluh
lima tahun setelah peristiwa itu terjadi, seorang perempuan tua setiap hari
datang seorang diri membawa bunga dan duduk di jembatan Sungai ÅŒta. Sebelah matanya akan
berkaca-kaca setiap kali melihat orang yang sedang memancing, sementara mata
lainnya harus menanggung luka akibat peristiwa yang menimpanya. Ia bakal
berlari kecil sekuat tenaganya di atas rerumputan. Sesekali ia bakal naik-turun
jembatan yang menghubungkan Desa Hiroshime dan Nagasake. Ia selalu melakukan
itu dengan satu harapan, dari bawah jembatan sana, akan muncul lagi sebuah
keajaiban.
Cilegon, 25 Juni 2020
[1] Sebutan untuk kakak laki-laki
[2] Imbuhan untuk adik perempuan
[3] Sebutan lain untuk Ibu
[4] Sebutan lain untuk Ayah
[5] Mengutip
ucapan Presiden
Amerika Serikat Harry S. Truman tiga hari sebelum
A.S. menjatuhkan bom plutonium jenis implosi (Fat Man) di Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945.