Sejak tanggal 21 Oktober, saya sudah berada di Yogyakarta. Perjalanan kali ini untuk memenuhi undangan guru menulis saya, Pak Edi Mulyono. Terakhir kami bertemu tahun 2018, dan alhamdulillah tahun ini bisa bertemu lagi dengan belio dalam keadaan sehat wal'afiat--cerita ini akan dibahas di postingan lain.
Semalam, saya melihat story @dr_tompi di Instagram. Belio sedang mengisi acara Prambanan Jazz Festival di Jokja. Saya iseng bertanya via DM apa masih di Jokja? Belio merespons cepat malam itu, katanya baru selesai dan sedang makan sate klathak. Saya ajak ketemu apakah ada waktu? Belio dengan lekas membalas bisa, ia memberikan waktu pertemuan dan di hotel mana ia menginap. Saya meminta belio share lokasi di WA, karena sebelumnya memang kami sering chatting.
Saya merasa senang ketika belio bertanya soal film Yuni. Apakah saya terlibat? Saya katakan iya. Belio bilang, baru menonton trailernya, dan suka. Menurutnya, film bagus bisa dilihat dari cuplikan trailer. Saya agak kurang setuju, maka hal inilah yang jadi obrolan pembuka kita ketika bertemu.
Menurut saya, kita tidak bisa semena-mena secara serampangan menilai film yang durasi 2 jam hanya dari cuplikan tak kurang dari 2 menit. Apalagi yang mengerjakan trailer dan film, baik visi dan misinya, berbeda. Tapi dengan enteng, belio bilang begini:
"Lo dikasih kue nih, terus lo cicipin sedikit. Lo nggak mesti makan semua, kan, untuk tahu kue itu enak atau nggak?"
Mendapat jawaban itu, kok, saya mengangguk, ya. Tapi, ya, itulah pendapat. Kita tidak bisa menyamaratakan pemahaman.
Kami bertemu di resto sebuah hotel dari pukul 22.30 sampai tak terasa jam menunjukkan pukul 02.30, padahal belio harus balik ke Jakarta pukul 07.00 pagi hari karena ada jadwal operasi, saya merasa bersalah karena sudah mencuri jam tidurnya. Tapi, kata belio jam tidurnya memang tidak teratur, ia sering tidur hanya 5 jam setiap harinya.
Awal saya bisa komunikasi dengan belio salah satunya karena pernah menawarkan proposal film. Kami bicara banyak soal perfilman Indonesia, dan kemudian saya banyak tahu fakta soal ini dan itu yang kalau bocor ke media bisa geger. Perspektif belio juga menarik dan memberi masukan serta sudut pandang baru kepada saya tentang bagaimana sebuah film/karya itu dikatakan bagus.
Konon, cita-citanya ia sewaktu SMA adalah menjadi filmmaker. Tetapi karena dorongan almarhumah Ibunya, ia akhirnya melanjutkan kuliah kedokteran. Orang mengenalnya arogan dan sombong, apalagi sewaktu ia menanggapi kritik atas film terbarunya "Selesai". Tetapi ketika tahu alasan dibuatnya film itu, saya jadi paham cara berpikir belio. Ia sangat mengerti semua aspek teknis perfilman; baik kamera, penyutradaraan, editing, pengadeganan, dan banyak lainnya. Saya dibuat takjub soal pengetahuannya.
Saya juga ditunjukkan hasil foto dan video iklannya. Dan, ada satu film pendek yang bagus banget tapi belum dia keluarkan untuk publik, karena isu yang diangkat begitu sensitif, ia merasa belum menemukan waktu yang tepat, beruntungnya saya diberi kesempatan menontonnya.
Terakhir, ia menyinggung soal persahabatannya dengan Glenn Fredly dan betapa baiknya dia. Katanya, Kaka Bung pernah memintanya untuk dibuatkan film biopik tentangnya, dengan guyonan, Tompi mengatakan: "Nanti nunggu lo meninggal dulu, baru kita buat filmnya, Bre," tidak lama dari obrolan itu, Kaka Bung wafat.