[Catatan] Hiroshima, Sastra, dan Harapan yang Tumbuh di Antara Keduanya
May 31, 2022Tanggal 6 dan 9 Agustus adalah masa berkabung bagi Negera Jepang. Dua kota industrinya yakni Hiroshima dan Nagasaki, hancur lebur dan menjadi debu di tahun 1945 karena bom atom yang dijatuhkan oleh pasukan Amerika saat Perang Dunia II. Peristiwa itu menewaskan puluhan ribu penduduk Jepang. Menurut Dr. Harold Jacobsen, ilmuwan dari proyek Manhattan, banyak orang percaya tidak akan ada yang tumbuh, atau hidup, di kota ini dalam waktu 70 tahun.
Namun dari informasi yang saya himpun, di musim gugur 1945, di tahun yang sama, gulma mulai tumbuh mengacaukan ramalan para ahli. Pun di musim panas berikutnya bunga oleanders bermekaran. Cabang-cabang baru pohon-pohon kapur barus—banyak di antaranya berusia ratusan tahun—mulai tumbuh. Pemulihan tanaman ini menyentuh hati orang lokal. Oleander dan kapur barus kemudian dinyatakan sebagai bunga dan pohon resmi Hiroshima, simbol ketahanan kota yang disayangi.
Melalui semangat itu, Jepang menjadi negara yang ingin saya kunjungi, untuk menyelesaikan tulisan saya tentang bagaimana membangun motivasi bagi orang-orang yang kalah dan menyerah. Dua buku terakhir saya yang sudah terbit berjudul, “Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu” (Basabasi, 2017) dan “Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?” (Epigraf, 2019), dan "Sahut Kabut" (Indonesia Tera, 2022) banyak mengangkat soal kelokalitasan, yakni tempat saya lahir dan tinggal, tokoh-tokoh yang berterima dan mampu berdamai dengan diri sendiri lalu bangkit memulai semuanya dari awal, juga banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Jepang, adalah salah satu negara yang berhasil menjadi negara maju, baik dalam sektor pendidikan, industri, ilmu pengetahuan/sains, dan ekonomi, dengan tetap mampu mengangkat kebudayaannya. Bahkan di serial manga dan animenya. Saya berencana mengunjungi perpustakaan Hiroshima City Manga Library. Perpustakaan dengan koleksi buku manga terbanyak di Jepang. Saya ingin mengulik tentang awal mula penerbitan karya-karya manga.
Ada wawancara yang ingin saya lakukan dengan penduduk lokal dan dari dinas kebudayaan di sana, khususnya Hiroshima yang jadi tempat tinggal selama penelitian ini berlangsung. Kalau berkesempatan, karena nanti yang ingin saya tulis adalah novel, saya penasaran dengan Eiichiro Oda, komikus dan pengarang serial One Piece. Bagaimana ia membangun karakter, merajut alur cerita yang kuat, menyisipkan kritik sosial bagi negara tercintanya, juga memadukan banyak sejarah dalam sebuah serial manga—yang tentu saja itu tidak mudah. Belum lagi ia harus menggambarkan cerita itu dalam bentuk komik.
Barangkali, ada semacam motivasi yang dibangun sejak kecil melalui serangkaian peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, kali ini fokusnya pada kejadian bom atom di Hiroshima, sehingga generasi di Jepang begitu disiplin dan yakin dengan mimpi-mimpinya (sekalipun sama-sama kita tahu angka bunuh diri masih tinggi di sana).
Dua rujukan buku yang saya baca, “Hiroshima” karangan John Hersey, sebuah catatan yang ditulis bergaya jurnalisme-sastrawi itu betul-betul berhasil mengetuk kesadaran saya. Betapa perang, tidak akan bisa menyelesaikan apa pun dan tidak bisa dibenarkan apa pun alasannya. Sebab, yang merasakan dampaknya adalah generasi setelahnya, yang dihancurkan semangatnya, tubuhnya, bahkan dipisahkan dari orang-orang terkasihnya.
Ini bertalian erat dengan buku berikutnya yang saya baca, “Kami Anak-Anak Bom Atom” dieditori oleh Osada Arata, berisi tentang kumpulan cerita dari saksi mata bahkan korban pada saat kejadian bom atom itu dijatuhkan. Ditulis oleh anak-anak pada masa itu, dengan sangat lugu dan polos, yang justru menjadi tinjuan keras di dada pembaca, trauma macam apa yang menghantui hidupnya.
Bagaimana mereka kehilangan ayah-ibunya, kakaknya, adiknya, dan yang memilukan bagaimana mereka menceritakan ketika tangannya putus, kakaknya terhimpit bongkahan bangunan yang roboh, atau ayahnya yang mesti rela mati demi anaknya selamat. Sampai ada satu anak yang mengisahkan dan semula meyakini kalau ibunya yang ia temukan hanya sedang tertidur, dan ia menungguinya terbangun, sebelum tim evakuasi menyadarkannya bahwa ibunya telah meninggal dunia. Saya pernah menonton juga film yang berkisah korban perang di Jepang dalam film "Grave of the Fireflies" (1988).
Tujuan riset ini berkaitan dengan kondisi Indonesia sekarang. Saya meyakini Indonesia akan menjadi negara maju seperti Jepang. Tetapi, yang saya temukan di sekitar saya, mental manusia-manusia Indonesia mudah sekali dijatuhkan. Lalu tentang kesadaran diri dan kedisiplinan tentu bisa kita lihat betapa kendurnya kita dalam dua hal ini. Mental koruptif, bisa jadi tumbuh karena sejak kecil memang itu yang diajarkan meski tidak secara langsung.
Jepang, setelah dijatuhi bom atom akhirnya mau mengakui kekalahannya pada pasukan Amerika Serikat. Setelah kemudian berdamai secara politis, Jepang mulai berbenah lagi dari bawah hingga saat ini sebagai negara maju yang kita kenal. Saya ingin, dengan riset ke negeri sakura itu, nantinya bisa menghasilkan sebuah karya yang menyadarkan pembaca bahwa mengakui kekalahan bukan hal yang memalukan. Pelajaran terpentingnya adalah kesadaran untuk bangkit dan mau membenahi diri meskipun dari nol lagi.
Kita tahu bahwa orang-orang yang kalah dan melakukan kesalahan di Indonesia ini sulit sekali mengakui ketidakberdayaannya. Semua semata demi menjaga gengsi dan egonya yang kelewat tinggi. Kalau generasi muda Indonesia melakukan kesalahan yang tersistem itu di masa depan, negara ini akan sulit sekali untuk melangkah ke arah yang lebih baik.
Padahal, keragaman budaya, adat-istiadat, dan lain sebagainya Indonesia termasuk yang paling banyak dan berkarakter. Seharusnya, nilai budaya inilah yang kemudian bisa dijadikan landasan dasar untuk mengembangkan diri setiap manusia yang tumbuh dan besar di Indonesia. Melalui riset ini, saya berharap bisa membuat sebuah karya yang bisa dinikmati banyak orang, tetapi tidak selesai di sana, saya ingin usai membaca, pembaca dibuat merenung-renung dan menyadari bahwa ada pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya bisa ia temukan jawabannya.
Cilegon, 10 Agustus 2019
0 komentar