[Ulasan Film] Ice Cold: Cara Mudah Tunjukkan Lemahnya Hukum di Indonesia (?)
October 16, 2023Official Poster by Netflix |
Di awal tahun 2016, kasus “Kopi Sianida” ini mencuat. Boleh dibilang saya sampai bosan melihat hampir semua stasiun televisi menayangkan berita dan persidangannya yang berjam-jam itu. Saya tak sungguh-sungguh mengikutinya. Tanggal 28 September 2023 lalu, Netflix menayangkan dokumenter berjudul “Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso”. Berita tentang dua orang sahabat yang bertemu di sebuah kafe berujung tragis; salah seorang dari mereka meninggal dunia setelah meminum kopi dan seorang lainnya dituduh sebagai pembunuhnya. Kita sama-sama tahu, Jessica dinyatakan bersalah dengan dakwaan pembunuhan berencana dan dihukum 20 tahun penjara.
Film ini disutradarai oleh Rob Sixsmith, sutradara asal Amerika Serikat yang kerap membuat film dokumenter internasional. Dia bekerja sama dengan Beach House Pictures, sebuah rumah produksi independen terbesar di Asia, untuk mengulas lebih dalam mengenai misteri di balik kasus kematian Wayan Mirna Salihin.
Nyaris semua orang yang terlibat dalam penanganan kasus ini berhasil diwawancarai sebagai narasumber, meskipun saya menyayangkan beberapa orang tidak berhasil diwawancarai seperti: pihak kepolisian, para hakim, Hani teman Mirna dan Jessica yang ada di lokasi kejadian, keluarga Jessica, dan Arief Soemarko, suami Mirna. Konon pihak Netflix sudah berusaha menghubungi mereka tetapi sebagian ada yang menolak, sebagian lain ada yang meminta bayaran sehingga tidak ditayangkan. Karena menurut pengakuan Otto Hasibuan, pengacara Jessica, semua narasumber di film dokumenter ini tidak ada yang menerima bayaran.
Kalau kita perhatikan lebih cermat, saya menangkap bahwa dokumenter ini tidak sedang mengarahkan penonton untuk membela pihak tertentu. Saya menilai materi tayangannya disajikan cukup berimbang dari kedua pihak baik korban maupun pelaku. Justru, dokumenter ini memunculkan spekulasi baru dan pertanyaan: Anggaplah kalau misalnya bukan Jessica pelakunya, lalu siapa pembunuhnya? Kalau bukan karena sianida, lalu apa penyebab kematian Mirna?
Mengutip apa yang disampaikan Erasmus Napitupulu (Direktur Eksekutif Institute for Crime Justice Reform) dalam dokumenter ini, ia menyatakan bahwa tingkat bersalah di Indonesia itu tinggi sekali. Polisi punya power yang begitu besar, jaksa pun punya power yang begitu besar, yang itu tidak seimbang dengan kewenangan dari advokat. Power jaksa dan polisi yang begitu besar ini memposisikan hakim tidak lagi menjadi wasit, jadi hakim tidak lagi di tengah.
Saya sepakat dengan pernyataannya, dan itulah yang dimunculkan di dokumenter ini, peradilan yang terasa berat sebelah. Sehingga, lewat dokumenter ini, si “bule-bule” yang ngide ngerangkum kasus “Kopi Sianida” ini seolah ingin menunjukkan betapa lemahnya sistem peradilan dan hukum di Indonesia.
Bahkan Yudi Wibowo, sepupu Jessica sekaligus tim hukum Jessica mengatakan
dengan blak-blakan jangan mengharapkan keadilan karena: “No money, no justice”.
Rob selaku sutradara seolah lewat tayangan 1 jam 26 menit ini ingin menggiring
opini penonton ke arah sana. Bagi saya ini justru semacam cara lain untuk mempermalukan
Indonesia, dan sialnya tak bisa kita tolak karena sudah sering kita temukan
sendiri hukum di negeri ini yang tebang pilih; tumpul ke atas tetapi tajam ke
bawah.
Rasanya terlalu buru-buru untuk menyimpulkan sesuatu dalam durasi yang sependek itu, bahkan sampai kemudian Jessica dinyatakan bersalah pun, jaksa dan hakim tidak bisa menunjukkan ada bukti telak kalau Jessica yang meracun. Malah kemudian muncul prasangka lain tentang “alasan” naik jabatan para polisi yang mengurus kasus tersebut dan perlahan mulai terurai satu per satu hal-hal di luar kasusnya, termasuk soal pernyataan-pernyataan susulan dari Edi, ayah Mirna yang blunder (?)
Erasmus menutup pernyataannya dengan usulan agar sistem peradilan pidana perlu direformasi supaya cita-cita reformasi kita, cita-cita kemerdekaan bahwa seluruh rakyat Indonesia bisa mendapatkan akses terhadap keadilan itu bisa dicapai. Kita perlu melakukan reformasi sistem peradilan pidana.
Terlepas siapa pelaku pembunuhan "sebenarnya", lewat dokumenter ini kita jadi tahu sekarang siapa pemenang sebenarnya,
kan? Yups, Netflix itu sendiri.
Cilegon, 16 Oktober 2023
0 komentar