[Ulasan Film] Fight Club: Tekanan Pekerjaan, Sisi Liar, dan Pertarungan Melawan Diri Sendiri
October 17, 2023Official Poster Fight Club |
Film yang rilis menjelang tahun milenium ini garapan David Fincher yang diangkat dari novel berjudul Fight Club karya Chuck Palahniuk. Menceritakan seorang pekerja di pabrik mobil yang memiliki kesehatan fisik dan mental tidak baik akibat rutinitas dan tekanan pekerjaannya sehingga terjangkit insomnia akut. Orang tersebut tak disebutkan namanya, hanya sebagai narator yang diperankan oleh Edward Norton.
Ia merasakan tekanan pekerjaan, sehingga ia memutuskan untuk mengikuti support group. Ia merasa "sembuh" setelah mengikuti support group penderita kanker testis, meskipun ia tidak menderita penyakit tersebut. Sang narator kemudian mengikuti seluruh support group dengan penyakit berbeda setiap hari hingga dia bertemu dengan Marla Singer (Helena Bonham Carter). Suatu hari, di pesawat ia bertemu dengan Tyler Durden (Brad Pitt) seorang pengusaha sabun. Perjalanan hidup sang narator yang kompleks, dimulai dari sini (Wikipedia).
Mereka menjadi sahabat setia, membuat fight club jalanan yang kemudian memiliki banyak anggota, sampai ide merancang Project Mayhem pun tercetus dari Tyler tanpa sepengetahuan narator. Ini bertujuan untuk melakukan aksi vandalisme di seluruh dunia. Setelah salah satu anggota Project Mayhem yang disebut Space Monkey tewas akibat tembakan polisi setelah melakukan aksi vandalisme, sang narator mulai kontra terhadap rencana-rencana Tyler.
Saya tak pernah tak kagum dengan cerita-cerita yang disutradarai David Fincher. Boleh dibilang saya cukup telat menonton filmnya, tetapi tak masalah. Setiap karya menemukan waktunya sendiri untuk dinikmati. Dan saya sangat puas menonton film berdurasi 2 jam 19 menit ini. Film ini seperti mewakili zamannya, betapa vandalisme terjadi di mana-mana, pertarungan jalanan, orang-orang yang setres akibat pekerjaan, semua dimunculkan secara gamblang, hebatnya semua keresahan itu dibungkus dalam alur dan teknik cerita yang memikat.
Kita akan dibuat tercengang dengan endingnya yang mengejutkan, khas film-film Fincher. Beres menonton kita akan dipaksa untuk mengecek dan mengingat ulang setiap scene-nya. Dan kalau kita cermat, sebetulnya petunjuk-petunjuk itu ditebar di beberapa adegan hingga membawa klimaksnya di ending.
Karena ini film lama, saya akan spoiler mulai dari sini. Saya menemukan fakta ternyata orang-orang yang ada di antara narator dan Tyler sebenarnya tak benar-benar berkomunikasi secara bersamaan. Ketika misalnya Marla sedang ada di satu ruangan dengan narator dan Tyler, ia pasti hanya akan melihat dan berkomunikasi ke salah satunya, tidak akan ada percakapan panel, karena memang sebenarnya dua orang itu hanya ada satu, penonton ditunjukkan dari sudut pandang Tyler atau narator. Kita ikut terjebak dan sama-sama mencari jalan keluar menemani si tokoh utama.
Tidak dijelaskan penyakit apa yang diidap oleh Tyler, tetapi yang pasti ia
memiliki gangguan psikologi, atau ia sebenarnya memiliki kepribadian ganda; dirinya
dan alter egonya. Saya jadi teringat dengan animasi Spongebob yang memiliki
sisi gelap dan terang di salah satu episodenya, itu cukup relate dan menggambarkan
film ini. Sisi liar Tyler dan narator muncul bisa jadi karena tekanan pekerjaan
itu tadi, walaupun sebenarnya terlalu ekstrem dengan apa yang dilakukannya di kota
tersebut, tetapi mungkin saja ada orang yang seperti itu. Untuk mengakhiri rencana besar ini, Tyler harus bertarung melawan dirinya sendiri.
Secara keseluruhan, ini film yang bagus, Fincher bisa menguraikan hal rumit itu dengan sangat mulus dan rapi. Saya malah membayangkan bagaimana proses syuting dan cara ia mengarahkan semua departemen dan aktornya dengan cerita yang rumit begini. Saya jadi tak sabar ingin menonton film David Fincher lainnya!
Cilegon, 17 Oktober 2023
0 komentar