[Cerpen] Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? (Kompas.id, 27 Juli 2019)
November 09, 2023
Image by Cahyo Heryunanto/Kompas |
Aku sebenarnya ada meeting dengan editorku siang ini, namun kemarin Daniel menelepon kalau ia dan istrinya akan mampir ke rumah hari ini bersama dua orang lainnya—yang ia bilang aku pasti kenal. Karena hal itu, barusan kukirimi Seno sebuah pesan singkat dan memintanya mengatur ulang pertemuan kami. Akan ada orang penting yang mengunjungiku siang ini, begitu aku mengakhiri pesan untuknya.
Aku tahu Seno tidak akan marah. Kalaupun ia marah, pasti tidak berani bicara langsung kepadaku. Bagi penerbit tempatnya bekerja, yang juga menerbitkan buku-bukuku, aku adalah aset. Buku yang kali ini ia tangani adalah bukuku yang ketujuh. Lanjutan dari dua novel best-seller yang sudah terbit tahun lalu.
Bel berbunyi ketika aku sedang menjerang air. “Masuk!” kataku. Rumah ini memang pintunya jarang aku kunci. Aku benci untuk melakukan itu. Di rumah lamaku, aku terlampau rajin melakukannya, karena banyak sekali pembaca yang ingin bertemu dan berfoto. Tetapi berkat Edi, aku bisa mendapatkan rumah yang sepi dan jauh dari kebisingan kota. Ia pemilik banyak hotel dan vila di Bogor. “Bagaimana kalau kupanggil Anda, Pak Edi?” tanyaku suatu hari. “Jangan, Edi saja. Hibur aku dengan cara begitu. Aku selalu ingin tampak lebih muda dari usiaku sebenarnya.” Meski tak tahu betul berapa usianya, aku bisa mengira-ngira kalau Edi seumuran dengan bapakku.
“Di
mana aku bisa berjumpa Nyonya Bayu? Apa ia sedang di kamar tidur atau kamar
mandi?” aku tahu Daniel akan menggodaku begitu setibanya di ruang tamu.
“Nyonya
Bayu sedang dalam misi perjalanan waktu. Kita tak perlu menunggunya karena bisa
saja mesin waktunya tak bekerja dengan baik.”
“Aku
menyerah. Hanya kamu yang penulis di ruangan ini.”
“Teh
atau kopi?” usai memeluk Daniel aku menyalami istrinya.
“Biar
kupanggil dua orang lainnya lebih dulu. Kamu pasti sudah tak sabar.” Sementara
Daniel kembali ke luar, aku menyilakan Melanie, istrinya, untuk duduk. Ia
perempuan anggun dan berparas cantik. Aku turut senang atas pasangan sahabat
kecilku, mereka tampak serasi.
“Teh
atau kopi?”
“Air
putih saja, Mas.”
Aku
kembali ke dapur dan membawakan satu nampan berisi beberapa gelas kosong dan
seteko air panas.
“Bayu,
kamu tak coba tawari mereka minuman juga?” Hampir aku menjatuhkan nampan ke
lantai sewaktu melihat dua orang yang dibawa Daniel. Sialan! Aku mencium aroma
balas dendam di sini.
“Rupanya
mesin waktu bekerja jauh lebih baik dari yang kukira,” aku menjabat erat tangan
mereka. “Levi orang yang tepat untukmu, Delia.” Ini sempat terjadi sekitar satu
tahun lalu. Persis. Hanya saja; tokoh, latar dan perannya bertukar. Aku
mengajak Tyas, mantan kekasih Daniel ke pesta pernikahannya, meskipun Tyas
tidak ia undang. Dari sekian mantan kekasihnya, cuma Tyas yang berhasil bikin
Daniel menangis seharian di indekosnya, setelah diajak putus. Aku puas bukan
main melihat wajah Daniel yang pucat pasi di pesta pernikahannya waktu itu. Dan
sepertinya, sekarang wajahku yang berganti warna.
“Teh
atau kopi, kamu ingat?” bisik Daniel menggodaku.
“Oh,
iya, silakan. Teh atau kopi?”
“Kamu
pasti tahu mana yang aku mau, Bay.” Delia menang telak. Aku merasa dipojokkan
di rumahku sendiri. “Oh, iya, kami akan menikah awal Juli nanti. Semoga kamu
mau menerima undangannya.” Delia menyodorkan selembar kertas merah muda
padaku—warna favoritnya, aku yakin dia yang memilih warna untuk undangannya
itu.
“Bukan
hanya kuterima, aku pasti akan datang Delia,” kataku ditegar-tegarkan.
“Selamat, Lev!” kali ini aku memberikan tinju kecil di bahu kirinya. Lalu
menyilakan mereka duduk di sofa.
Aku
tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Delia. Alasan aku pindah rumah
pun agar ia tak bisa lagi mengunjungiku. Daniel berengsek! Ia bukan hanya
mempermalukanku di depan Delia, tetapi juga Levi. Aku pernah bertaruh sewaktu
kuliah dulu, kalau dari banyaknya mahasiswa di kelas, aku jamin Levi yang
menikah paling akhir. Sayangnya hal itu malah berbalik padaku.
“Bay,
aku harap kamu tidak marah padaku. Ini hanya salah satu upayaku agar kamu
semangat lagi menjalin hubungan.”
“Apakah
topik semacam ini yang biasa dibicarakan orang ketika berusia duapuluh enam?”
“Di kantor,
temanku yang sebaya dengan kita bahkan sudah memiliki anak.”
“Dan teman penulis
yang sebaya dengan kita bahkan sudah bercerai dua kali.”
“See?”
“Apa?”
Daniel
geleng-geleng. Kemudian ia berkata, “guys,
Jumat kemarin Tuan Bayu berulang tahun. Ada yang lupa memberi ucapan?”
Ah, bullshit! Apa yang diinginkan Daniel
sebenarnya. Ia hanya akan membuat suasana tak lagi nyaman. Sejak sekolah dasar,
ia memang si mulut besar. Tapi aku heran kenapa masih berkawan baik dengannya.
“Selamat ulang
tahun, Bay. Semoga segera menyusul kami, ya,” senyum itu.... Delia, setiap kali
aku melihat wajahmu, aku sulit sekali untuk menjalin hubungan dengan perempuan
lain. Ingin sekali aku jawab begitu, tetapi ketika aku membuka mulut, yang
keluar hanya sebaris kalimat, “entahlah, aku tidak sedang buru-buru. But anyway, terima kasih, Delia.”
Levi mengangkat
gelas kopinya. Lalu ia berkata, “bersulang untuk kebahagiaan, Bayu!” Daniel, Delia
dan Melanie kompak mengucap, “cheers!”
dalam satu nada. Aku berusaha mengimbangi mereka.
“Thanks, guys. I appreciate it. But, come on, i’m a happy person. Really....”
“Kita bermaksud
baik, Bay. Kamu pasti tahu itu. Kamu sudah mapan, apa lagi yang kamu tunggu?”
“Kamu harus segera
punya pasangan, Bay,” Delia menambahi. Aku menatap bola mata indahnya untuk
beberapa detik.
“Segera? Hmm...,
seharusnya kita tidak membicarakan ini. Sorry.”
Mendadak aku kecewa dengan mereka. Lebih tepatnya pada diriku sendiri. Tak
semestinya aku sekeras itu pada Delia. Ia bukan siapa-siapa lagi bagiku.
“Maaf, Bay,” sesal
Delia. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman kecil.
“Silakan dicicipi
kuenya. Aku harus mengecek email
dulu. Sebentar saja. Buat diri kalian rileks, ya.”
Aku menaiki tangga
menuju ke kamar tidur. Aku lupa kalau Raymond, penerjemah bukuku berjanji
mengirimkan hasil terjemahannya hari ini. Ia meminta aku untuk mengoreksi
bab-bab awal. Ini kali kedua kami bekerjasama. Entah, aku belum terpikir untuk
menikah. Ada banyak sekali impianku dalam karir kepenulisan ini yang belum
terwujud. Fokusku masih ke arah sana.
Beberapa menit
setelah aku masuk kamar, Daniel mengetuk pintu sambil masuk sebelum aku
persilakan.
“Kamu kesal
padaku?”
“Sudah berapa
tahun kita berteman? Pertanyaan macam itu tak perlulah keluar dari mulutmu.”
“Jujur, ini ide Melanie.
Dia hanya—”
“Sampaikan terima kasihku padanya. Aku senang diperhatikan.”
Sepertinya Daniel
dan Melanie benar, aku harus segera menikah. Kebahagiaan yang aku rasakan ini
mesti pula dirasakan orang lain. Berbagi kebahagiaan adalah kebahagiaan.
“Kalian benar. Aku
mesti segera mencari pasangan. Kemarin-kemarin, setiap kali aku pulang ke rumah
orang tua, baik Ibu, Ayah, kakak bahkan nenekku, mereka selalu saja memaksa aku
untuk menikah. Aku sudah duapuluh enam dan kenapa pilihan hidupku harus orang
lain yang memutuskan?” aku berdiri dari kursi dan memandang ke luar jendela.
“Sejak dulu, aku tak suka disuruh-suruh. Barangkali kamu sudah tahu salah satu
alasan aku memilih menjadi penulis.”
“Aku tahu, bahkan
aku sangat tahu, Bay. Hal positifnya, orang-orang di sekitarmu hanya
menginginkan yang terbaik untukmu. Mungkin cara penyampaiannya saja yang
membuatmu tidak nyaman. Aku pribadi minta maaf, ya.”
Aku mengangguk dan memeluk Daniel seolah sudah puluhan tahun tidak bertemu. Tepat setelahnya, teleponku berdering. Aku meminta Daniel menunggu sebentar.
“Benar dengan Mas
Bayu Eda?” seseorang bertanya di ujung sambungan telepon.
“Iya, aku sendiri.
Maaf, dengan siapa aku bicara?”
“Perkenalkan saya
Robert Ronny, CEO Paragon Pictures.”
“Ya, Pak Robert,
salam kenal kembali. Ada perlu apa, ya? Boleh aku tahu?”
“Saya sudah
membaca novel-novel, Mas Bayu. Ada satu novel yang membuat saya tertarik untuk
memfilmkannya. Bisa kita bicara lebih lanjut soal ini?”
Aku terdiam untuk
beberapa saat. Daniel memandangku dengan tatapan penuh tanya. Aku menghela
napas lalu mengembuskannya. Aku segera menjawab, “Bisa, Pak. Tapi maaf sekarang
aku sedang meeting. Akan segera aku
hubungi setelah ini, bagaimana?”
Pak Robert setuju. Lalu ia memutus sambungan teleponnya. Belum aku ceritakan apa yang baru saja terjadi, aku kembali memeluk erat Daniel penuh luapan emosi. “Satu lagi mimpiku bakal terwujud, kawan,” bisikku menahan haru.[]
—untuk kamu yang berulang tahun
Cilegon, 26 April
2019
*) Cerpen ini pernah tayang di Kompas.id dan termaktub dalam buku berjudul sama terbit tahun 2019.
Baca: Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? (Penerbit Epigraf, 2019)
0 komentar