[Cerpen] Beruk Gantarawang; Si Baplang dan Kutukan yang Menyertainya (Majalah Bahana Brunei, Julai - Ogos 2020)
November 09, 2023Image by istockphoto.com |
Aku berlari ke sebuah semak-semak di
bawah pohon rindang yang tadi jadi tempat istirahat mandor kami. Bicara soal
mandor, ke mana si Baplang itu sembunyi? Aku sampai lupa mengintai langkahnya.
Aku juga sudah tidak bisa menemukan Badrun. Yang masih jelas bisa kulihat dari
gubuk ini hanya tiga orang buruh yang kerasukan itu.
“Taneuh urang teu bisa dibeuli, indit dararia! Geura mabur kaditu! Ulah coba-coba daratang deui kadie!”[1] Teriakan warga menyebar rata ke tempat galian. Mesin dan alat berat milik perusahaan mereka lempari dengan apa pun yang mereka genggam di tangan.
Gubuk tempat tiga orang malang itu pun jadi sasaran empuk. Ada warga yang membawa korek api dan bensin. Ingin aku berlari keluar dari kampung ini tapi entah apa aku akan selamat dari amuk mereka kalau sampai tertangkap. Warga akhirnya menemukan Iwan, Jali, dan Arief yang bertingkah aneh. Tawa warga kampung puas sekali, aku bisa mendengarnya jelas meski dari jarak yang lumayan.
“Deuleu, kan, kokolot geh moal cicingeun. Kabeh nu diruksak pasti aya balesanna!”[2] Tiga orang buruh malang itu jadi bulan-bulanan warga. Mereka ditertawai dan dikitari sambil dipermainkan. Aku kesal! Mestinya para keparat dari perusahaan ada di sini. Mereka kudu merasakan bagaimana berada dalam situasi genting macam ini!
Selagi aku menyusun strategi untuk kabur dari kepungan warga, aku melihat si kumis Baplang muncul dari dalam tanah galian. Apa sejak tadi ia bersembunyi di sana?
Kaki-kakinya membawa ia berlari lintang-pukang ke tempat persembunyianku. Gawat, warga bisa melihat ia berlari ke sini. Aku mesti bagaimana?
Si Baplang sudah makin dekat. Tubuhnya yang tambun membuat langkahnya tak lebih lebar dari lompatan babi hutan.
“Di situ kau rupanya. Awas, minggir!” ia mendorong aku dari semak-semak. Sementara warga sudah mengendus persembunyiannya. Tak ayal mereka melempari kami dengan batu dan bambu. Aku berusaha menghindar namun akhirnya habis juga keberuntunganku.
Brukk!
Sebongkah batu mendarat ke keningku. Sesaat suasana hening. Lalu sewaktu kubuka mata semua tampak berputar. Tangan kananku memegang dahi, lalu saat aku lihat, darah segar mengalir darinya. Mataku kemudian kunang-kunang saat warga sudah semakin dekat.
Tapi, aku tak melihat ke mana Si Baplang pergi. Ke mana ia lenyap? Terakhir aku hanya melihat ia melompat di semak-semak. Sisanya hanya gelap yang kulihat. Kepalaku terasa berat melebihi dua sak semen yang biasa kupanggul di punggung.
***
Aku terbangun dengan kepala yang masih pening. Suasana rusuh dan riuh tadi seketika lenyap. Aku berada di sebuah tempat yang sangat asing. Apakah ini akhirat?
Sewaktu aku mau berdiri, seseorang dari belakang menepuk bahuku.
“Dari mana kau berasal? Apakah kau tersesat di sini?” Aku tak mengenal ia siapa. Aku betul-betul terkejut mendapati wajahnya berwarna merah padam, dengan tanduk di kedua sisi kepalanya. Ke mana Badrun anakku? Anak satu-satunya dan hanya ia yang aku miliki. Aku menyesal mengajaknya bekerja ketika semestinya ia melanjutkan sekolah.
“Pergilah segera sebelum kau dan bangsamu binasa,” Lelaki berjubah di hadapanku memperingati, setengah mengancam.
“Bagaimana caranya keluar dari sini? Aku sedang berada di mana?”
“Dunia para roh. Negeri gantarawang. Tempat makhluk-makhluk terkutuk berkumpul. Hanya manusia dengan perilaku dan pikiran tersesat yang bisa masuk ke sini dan tidak akan bisa kembali.” Aku sungguh takut. Bagaimana kalau aku terjebak di sini?
“Lihat kerumunan di bawah sana, lelaki itu datang bersamaan denganmu. Bawa ia pergi dari sini. Gerbang gantarawang ada di sana. Cukup menyebut nama Tuhanmu maka kau akan bisa kembali ke tempatmu semula.” Kutatap lekat-lekat, apakah lelaki yang ia maksud adalah Badrun?
“Kau ingat dengan empat manusia yang
bertingkah aneh siang hari itu?” Aku mengangguk. Menyimak kalimat apa yang akan
ia sampaikan berikutnya. “Para leluhur dan roh di Negeri Gantarawang ini merasa
terusik dengan keberadaan kalian. Kalian para perusak, datang hanya untuk
menghancurkan tempat kami. Empat orang tadi hanya sebuah peringatan. Kalau
kalian tak lekas pergi maka para roh penghuni kampung ini akan murka. Lekas
sampaikan pada bangsamu itu!”
Aku menyesali kenapa sampai aku
terlibat sejauh ini. Dalam hati aku terus menyebut asma Allah. Lalu aku berlari
ke arah gerbang yang ia tunjukkan tadi. Lelaki yang berada di kerumunan sana
aku yakin bukanlah Badrun. Ia tak pernah memakai pakaian serba hitam semacam
itu di tubuhnya. Ia malah mirip seekor beruk(?)
“Bapak! Bangun, Pak. Bapak!” Sayup-sayup
aku mendengar suara. Kubuka perlahan mataku yang berkunang-kunang. Kulihat
sekitar tampak diselimuti kabut. Apakah tadi aku hanya bermimpi?
“Pak, Bapak. Ini Badrun. Sadarlah!”
aku mendengar isak-tangis. Saat aku benar-benar sadar, ternyata ia Badrun
anakku. Lekas ia memelukku.
“Taneuh
adat mah teu meunang diopenan, teh meunang dikukumaha, teu meunang digali
sembarangan, kunaen urang kota sarakah jasa?”[3]
Amukan warga mulai terdengar lagi. Tubuhku dibantu Badrun untuk duduk dan bersandar pada sebuah pohon rindang. Suara-suara protes tadi masih menggaung, terus meninggi hingga ke langit. Kami selamat, pikirku.
Lalu, di depan gubuk yang terbakar,
aku melihat warga menyumpah-serapahi seseorang yang meringkuk tanpa pakaian.
Kuperhatikan baik-baik siapa ia yang berjongkok di sana? Mulanya kukira tiga
orang teman Badrun. Tapi dugaanku salah. Dalam pandanganku, sosok yang berada
di tengah kerumunan itu adalah seekor beruk. Persis. Ia beruk yang aku lihat di
Negeri Gantarawang....
Depok-Cilegon, 31 Juli 2019
________________________
*) Cerpen ini dimuat Majalah Bahana Brunei Darussalam dan termaktub dalam buku antologi "Pengakuan Jalak Rarawe" (FSM, 2019) dan buku saya "Sahut Kabut" (Indonesia Tera, 2022) dengan judul "Si Baplang dan Kutukan yang Menyertainya".
[1] “Bumi kami tak dapat dibeli. Pergilah
kalian! Pergilah ke muasal kalian! Jangan coba-coba kembali lagi ke sini!”
[2] “Lihat saja, leluhur tidak akan tinggal diam. Semua yang dirusak pasti ada balasannya.”
[3] “Tanah
adat tak boleh diganggu. Tak boleh diapa-apakan. Tak boleh digali sembarangan.
Kenapa orang kota begitu tamak?”
0 komentar