[Cerpen] Potongan Kue Pertama (Mercusuar, Balai Bahasa Sulawesi Tengah, 03 Juli 2021)
November 09, 2023Image by istockphoto.com |
Pria di atas panggung masih asyik bernyanyi diiringi kawan band-nya. Pelanggan kafe yang lain tampak ikut bernyanyi dan larut dalam irama. Sementara kau, menatap jauh entah ke mana saat itu. Aku diam-diam memerhatikan sejak musik pertama dimainkan. Bahkan, ketika seorang pelayan ingin mengantarkan pesananmu, kau sempat diam beberapa lama untuk kemudian menanggapinya dan meminta si pelayan menaruh pesananmu di atas meja.
Kau tahu, hal inilah yang aku cari ketika sedang berada di kafe. Mencari sesuatu yang berbeda di antara kerumunan. Menelusuri orang-orang yang sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa terganggu dengan suasana sekitar. Aku tak paham alasannya kenapa kau datang sendiri ke kafe yang jelas-jelas jarang sepi pengunjung ini, tapi yang pasti, saat itu ketiga kalinya aku menjumpaimu di hari yang sama; dengan perasaan yang sama dan keraguan yang sama. Bahkan untuk sekadar melempar sapa saja aku tak punya daya.
Musik berganti. kali ini seorang perempuan yang telat datang, ia masih bagian dari band itu, turut menyumbang suara. Aku selalu ingin memiliki kekasih yang pandai bernyanyi. Di pikiranku, di suatu hari kelak, bila nanti memiliki istri, aku ingin ia, setiap pagi atau sore atau malam, bernyanyi untukku. Paling tidak, kalaupun kami tak begitu baik dalam berdiskusi, ia masih punya sesuatu untuk aku banggakan pada diri sendiri dan kawan kantorku. Kau tahulah, sekarang ini, pasangan kita ataupun diri kita sendiri sering dibanding-bandingkan dengan tetangga atau orang lain baik oleh keluarga atau teman-teman. Paman dan tantemu, minimal satu kali saja, pasti pernah melakukan hal menyebalkan itu. Entah membanggakan anak-anaknya atau keponakan-keponakannya. Kalaupun kemudian kita tak sesuai keinginan mereka, pasti tanpa ragu mereka akan mempermalukan kita di hadapan orang lain.
Kau biasa mengangkat cangkir kopimu dengan tangan kiri. Aku hapal betul,
bahkan aku tahu kopi apa yang kau pesan. Tentu karena aku pernah bertanya pada seorang
pelayan.
“Kau ingat perempuan yang setiap Jumat malam duduk di sana?” tanyaku, dan
pelayan mengangguk ketika ia berhasil mengingatnya. “Minuman apa yang biasa ia
pesan?”
“Caffé latte, Mas.”
Oke, saya pesan satu.”
Sayangnya, Jumat malam itu kau tak datang. Padahal aku sudah memesankan
satu cangkir caffé latte untukmu, untuk membuka percakapan antara kita. Caffé
latte adalah espresso atau kopi yang dicampur susu dan memiliki busa yang tipis
di bagian atasnya. Aku selalu mengibaratkan bahwa senyummu adalah busa itu.
Tipis, tapi harus ada di atas caffé latte sebagai pemanis. Aku tahu, kau pernah
tersenyum di awal perjumpaan kita, tapi aku sadar itu hanya senyum basa-basi.
Sebuah senyum yang terpaksa diberikan kepada orang asing yang tak sengaja pandangannya
saling bertemu.
Baru di Jumat malam berikutnya, yakni malam ini, kau datang dengan penampilan yang jauh lebih anggun dan telat dua jam dari biasanya. Kau memakai dress merah polos selutut dengan dua garis putih di masing-masing lengannya. Tak seperti biasanya, kau mengatur gaya dudukmu sedemikian rupa, bahkan kau tampak hati-hati ketika akan menyilangkan kaki kirimu ke atas kaki kananmu. Aku tak bermaksud tak sopan, tapi sebagai penulis memang ini kerjaanku. Memerhatikan sesuatu sedetail mungkin. Maaf kalau aku lancang, sejak pertemuan pertama, aku telah memutuskan untuk menjadikanmu sebagai tokoh utama dalam novel yang sedang aku kerjakan.
Malam ini wajahmu murung. Rambut yang biasa kau gerai, kali ini tampak berbeda. Kau gulung ke atas gaya cepol khas rambut wanita Jepang. Lalu bagian belakang rambut kau biarkan jatuh sepundak. Sejujurnya, aku lebih suka kau yang apa adanya. Tapi tak masalah, aku tetap kagum padamu meski aku melihatmu malam ini seperti ada yang tak beres. Apalagi ketika kau buru-buru melepas kedua sepatu highheels-mu dan melemparkannya ke sembarang arah. Kau memijit tumitmu yang jelas menunjukkan ketidaknyamananmu. Ini kali pertama aku melihatmu memakai sepatu tinggi itu. Biasanya kau pakai sepatu kets atau slop dengan setelan celana jeans dan hoodie.
Seorang penyanyi perempuan yang sering telat datang itu, kali ini sudah bernyanyi. Malah aku tak melihat pria yang biasanya datang lebih awal. Si perempuan menyanyikan lagu idontwannabeyouanymore dari Billie Eilish, seorang penyanyi dan pencipta lagu asal Amerika Serikat yang sedang naik daun. Beberapa lagunya bertema kelam dan sendu. Tapi kupikir memang itu daya tariknya, aku juga mendengarkan beberapa lagunya setiap pulang dari kantor.
Kau, yang belum kutahu namanya, kali ini menoleh ke atas panggung. Aku dibuat terkejut saat penyanyi mendendangkan lirik, “told a tight dress is what makes you a whore” kau menangis sejadi-jadinya. Pengunjung lain sempat melemparkan pandangan ke mejamu yang duduk sendirian. Tapi kupikir kau tak peduli. Kau tampak meledakkan apa yang selama ini kau pendam. Aku paling tak bisa melihat perempuan menangis. Tanpa pikir panjang aku lekas bangkit dari kursiku dan menuju mejamu. Aku bertanya ada apa kau diam. Lalu saat aku coba duduk di sampingmu, seketika kau meraih tubuhku dan memelukku seerat-eratnya.
Aku tak tahu apa yang dipikirkan pengunjung kafe malam ini, tapi yang jelas, mereka kini mengalihkan pandangannya dari kita. Bisa jadi mereka berpikir akulah orang yang bertanggung jawab atas air matamu yang tumpah. Tapi mari menjadi orang yang tak peduli. Anggaplah malam ini hanya ada aku dan kamu.
Lagu Billie telah habis dinyanyikan. Kini si perempuan memilih lagu lain yang lebih energik. Aku tak tahu lagu siapa yang ia nyanyikan sekarang tapi yang jelas, ia memilih lagu itu karena merasa berdosa telah membuat seorang perempuan di sudut meja menangis gara-gara lagu muram yang sebelumnya ia nyanyikan.
“Sorry,” katamu ketika tangismu mereda. Kau memberi jarak secepat yang kau bisa. Aku tak masalah, justru aku senang akhirnya bisa melihatmu sedekat ini.
“Tak perlu sungkan. Lepaskan saja,” kataku belaga santai. Padahal jantungku berdegup kencang. Bisa jadi kau tadi mendengarnya sendiri ketika mendekapku.
Kali ini diam merajai waktu di antara kami. Kau merunduk dengan sesenggukan yang berusaha kau redam. Sementara aku tampak seperti pria tolol—atau memang benar tolol—yang tak bisa memulai percakapan bahkan dalam kondisi seperti ini.
“Aku Priyo. Sepertinya aku mesti kembali ke meja—”
“Aku Selly, terima kasih sudah peduli,” katamu lekas menggamit tanganku. Jabatan tanganmu begitu hangat menjalar sampai ke hatiku. Aku mengangguk bak seorang pria jantan yang berhasil menaklukkan segala rintangan.
“Kau tampak cantik malam ini. Tapi kalau boleh aku berkata, kau
lebih baik tampil seperti Jumat malam sebelumnya. Auramu lebih memancar. Maaf
kalau lancang,” kataku spontan. Kau menatap aku sesaat, kupikir kau akan
menamparku—dan aku akan terima—tapi kemudian aku melihat senyum itu di wajahmu.
Persis seperti busa di atas secangkir coffé latte, hanya saja kali ini busanya
jauh lebih tebal dari biasanya.
“Kau sepemikiran denganku, aku telah bodoh mau menuruti permintaan Fahmi, pria gila yang banyak mengatur itu. Aku turuti apa pun maunya tapi saat aku berikan segalanya, ia malah berselingkuh dariku,” ucapmu mengundang air mata. Wajah cantikmu kini harus basah lagi. Sesaat aku menangkap amarah di kedua matamu saat kau menatap perempuan yang sedang menyanyi di atas panggung itu—atau mungkin hanya perasaanku saja.
Aku tak segera menimpali ceritamu. Tanganku malah refleks menyentuh wajahmu dan menghapus air mata yang mengalir itu. Kau meraih tanganku.
“Kau perempuan beruntung. Percayalah. Andai kau tidak memergoki dia berselingkuh, selamanya kau hanya tahu satu sisi dari kekasihmu itu, sisi baiknya saja.” Kali ini kau terdiam. Aku memanggil pelayan dan memesan dua gelas coffé latte. Kau tampak terkejut memandangku.
“Dari mana kau tahu?”
“Tunggu sampai novelku terbit, agar kau tahu cerita utuhnya,” kataku menggodamu.
“Kau penulis?”
“Hampir. Ini akan jadi buku pertamaku. Sungguh aku tak sabar,” kataku
bangga.
“Aku juga tak sabar ingin membacanya.”
Minuman pesananku telah diantar ke meja kita. Kita bersulang untuk hal-hal
palsu di hidup ini. Kau mengangguk setuju mendengar kalimatku barusan. Tapi aku
dikejutkan kemudian ketika penyanyi mendendangkan lagu selamat ulang tahun dan
seorang pelayan datang membawakan kue untukmu.
“Ini hari ulang tahunmu?” tanyaku. Kau mengangguk dan mengucapkan terima
kasih kepada pelayan itu. Entah bagaimana mereka tahu hari ulang tahunmu?
“Selamat ulang tahun, Bu Selly. Semoga kafe Ibu terus ramai dan buka cabang
di mana-mana!” ucap si penyanyi, semua bertepuk tangan dan bertukar tawa. Para
pelayan baris menjabatmu. Bahkan ada yang memberimu kado ulang tahun. Tunggu
dulu, apa aku melewatkan sesuatu?
“Selamat ulang tahun, Bu Selly. Semoga Jumat malam berikutnya, kau tidak lagi duduk sendirian di meja ini,” kataku setengah mengejek. “Kau pemilik kafe ini, ya?” kau tak menjawab. Barangkali karena kini aku tampak dungu di matamu, pahadal semua sudah begitu jelas. Kau terkekeh dan kuanggap itu sebagai ejekan balik.
Kau bergegas memotong kue ulang tahunmu. Tanpa kuduga, kau membawa potongan pertama kue itu ke hadapanku. “Terima ini, sebagai janji Jumat malam lagi kamu duduk bersebelahan denganku di meja ini,” katamu menahan sipu. Suara riuh dalam kafe tak terbendung. Lagu selamat ulang tahun terus berulang-ulang terngiang di kepalaku, bahkan saat Jumat malam berikutnya tiba, dan aku duduk sendirian di mejamu, menanti kedatanganmu sampai kafe hendak tutup.
Cilegon, 04 Maret 2021
*) Cerpen ini termaktub dalam buku saya "Sahut Kabut" (Indonesia Tera, 2022)
0 komentar