[Esai] Bersepeda; Upaya Menikmati Kota dalam Mode Lambat (www.thisissoutheastasia.com, 20 Oktober 2022)
November 09, 2023Beberapa waktu lalu, jurnal sains Nature melansir data dari ilmuwan Stanford University tentang beberapa negara di dunia dengan penduduk termalas berjalan kaki. Negara Indonesia menduduki peringkat pertama. Saya tidak terkejut, karena saya termasuk di dalamnya. Artikel berikutnya menyusul, tentang alasan warga Indonesia kenapa malas jalan kaki. Ada yang bilang karena cuaca yang panas, infrastruktur yang tidak memadai, dan karena segalanya kini sudah dimudahkan dengan adanya teknologi. Saya lebih sepakat karena jalan kaki bukan bagian dari kultur kami saja. Berbeda dengan Jepang dan Hongkong yang sudah mendidik warganya sejak usia dini untuk biasa berjalan kaki.
Tujuh hari terakhir saya mulai
giat bersepeda. Alternatif gerak tubuh selain jalan kaki. Bersepeda adalah
sebuah rencana yang sudah cukup lama saya ingin wujudkan namun baru terjadi
bulan Juli kemarin. Alasan saya satu,
Dan lagi, belakangan, barangkali
tiga tahun terakhir, masyarakat Indonesia terkena demam bersepeda, terlebih di
masa pandemi Covid-19. Alasannya jelas, banyak dari mereka mulai menyadari
pentingnya hidup sehat, meningkatkan imun tubuh, dan mencari hiburan atau hobi
baru. Bukan hanya masyarakat umum, tetapi kalangan artis, tokoh publik, dan
bahkan pejabat turut meramaikan dan mengampanyekan untuk giat bersepeda.
Hal baiknya, kebiasaan bersepeda
bisa menjadi solusi bertransportasi dan menjadi alternatif demi mengurai
kemacetan dan mengurangi polusi udara yang selama ini disumbang oleh pengguna
mobil dan motor. Kita sudah semestinya membangun kesadaran untuk mengurangi
penggunaan kendaraan bermotor. Tubuh kita harus lebih banyak bergerak dengan
mengayuh sepeda, berjalan kaki, dan membiasakan diri menggunakan transportasi
umum.
Saya lahir dan besar di kota yang letaknya berada di ujung barat laut Pulau Jawa, di tepi Selat Sunda. Kota Cilegon dikenal sebagai kota industri. Walaupun kota kami kecil, tetapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Cilegon tahun 2022 ini cukup besar, yakni sekitar 1,78 triliun per tahun. Sebutan lain bagi Kota Cilegon adalah kota baja mengingat kota ini merupakan penghasil baja terbesar di Asia Tenggara. Sayangnya, fasilitas untuk pesepeda masih jauh dari kata layak.
Tata kotanya pun jauh dari kata elok, walaupun di pemerintahan saat ini ada usaha untuk memperbaiki tata kelola kota, tetapi akan terlihat sekali perbedaannya ketika kita, misalnya, membandingkan dengan kota Tangerang Selatan, salah satu kota di Provinsi Banten, yang jaraknya 85 kilometer dari Cilegon. Mulai dari menataan lampu jalan di trotoar, tiang listrik yang sembarangan dengan kabelnya yang semerawut, dan lagi, di kota Cilegon belum ada jalur khusus pesepeda.
Boro-boro jalan untuk pesepeda, hak pejalan kaki saja seringkali diambil alih
oleh warung-warung pinggir jalan. Belum lagi tata bangunan dan toko-toko di trotoar
yang tidak ada nilai seninya sama sekali, tidak enak dipandang mata.
Selain itu, keputusan saya membeli sepeda di tahun ini karena berbarengan
dengan rumah baru saya yang sudah selesai direnovasi. Ada proyeksi besar di
kepala saya bahwa setiap
Rumah pertama saya menjelang usia 30 tahun. |
Kalau saya sudah mahir menggowes,
saya ingin melakukan perjalanan ke Kota Serang dengan mengendarai sepeda.
Biasanya, menggunakan sepeda motor dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit, saya
penasaran, berapa waktu yang saya butuhkan untuk sampai ke sana dengan sepeda.
Luas wilayah Kota Cilegon hanya 175,5 km2. Barangkali dengan sepeda kamu bisa mengitarinya seharian─saya pernah melihat story Instagram teman saya yang sering bersepeda setiap harinya 100 km. Gila!
***
Pada hari pertama, saya sangat
bersemangat. Bahkan ketika paket sepeda yang saya pesan via marketplace sampai
di sore hari─saya memang pesan online─saya buru-buru menghubungi keponakan yang
sudah lebih dahulu memiliki sepeda untuk membantu saya merakit sepeda tersebut.
Rasanya, saya ingin hari itu lekas pagi.
“Pulang Jam berapa?” tanya saya
melalui pesan WhatsApp. Sebelumnya saya memang sudah mengatakan kalau saya
sedang memesan sepeda dan minta tolong untuk dirakitkan, saya tak punya
alat-alat tempur-nya. Ega, nama
keponakan saya, menyanggupinya, dan punya waktu luang sepulang bekerja.
“Bakda Magrib baru sampai rumah,”
balasnya singkat. Lalu saya mengatakan kalau pukul 20.00 WIB saya akan
mengunjungi rumahnya dengan membawa sepeda yang baru setengah dirakit. Bila kau
pesan sepeda via daring, 80% sepedamu sudah dirakit. Kau hanya perlu merangkai
bagian ban depan, stang, rem depan belakang, dan juga shifter.
Apa hanya saya yang mengalami ketika sedang menunggu sesuatu, waktu entah kenapa berjalan lebih lambat? Saat itu saya hanya mesti bersabar menunggu tiga jam tetapi rasanya seperti sepuluh jam. Namun selama apa pun, saya toh akhirnya bisa melaluinya. Pukul 20.00 WIB, saya pergi ke rumah Ega dan membawa sepeda seberat 14 kilogram itu.
Beruntungnya
jarak rumah kami hanya sepelemparan batu, saya hanya perlu berjalan kaki
melewati dua rumah untuk sampai di rumah Ega. Konon, dibanding berat sepeda
kebanyakan, sepeda saya termasuk ringan. Saya sengaja memang memilih sepeda
United tipe Fixie Slick 700 hybrid, tipe klasik, berbeda dengan tipe sepeda
yang sedang ngetren pada umumnya, sehingga ringan dibawa untuk jalanan beraspal
maupun medan tanah seperti pegunungan.
Singkat cerita kami mengeluarkan
sepeda dari kardusnya. Lalu tak butuh waktu lama, sepeda saya sudah tampak
wujudnya seperti gambar, walaupun ada beberapa spare-part tidak sesuai, seperti
ring pedal dan bonus lampu belakang yang dijanjikan tidak ada. Saya sudah
merelakan itu karena begitulah risiko yang kita hadapi bila berbelanja via
online, tetapi masalah baru muncul. Yakni ketika shifter selesai dipasang, ia
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Setiap akan pindah gigi, selalu gagal.
“Nggak bunyi ceklek,” kata Ega
meniru suara bagaimana seharusnya shifter itu bekerja.
“Ada-ada saja, ya. Terus gimana,
dong?” kata saya bingung. Sebab, saya sama sekali awam soal ini.
“Coba minta ganti sama penjualnya.
Atau dibawa ke bengkel di Jombang Kali,” ucap Ega. Saya setuju mencoba cara
kedua.
Setelah sepeda berhasil dirangkai oleh Ega. |
Terakhir saya dibelikan sepeda
oleh orang tua saat selesai disunat, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar
(SD). Itu pun membelinya menggunakan uang upah atau persenan dari saudara dan
tetangga yang menjenguk dan mendoakan kesembuhan saya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada 136,13 juta unit kendaraan bermotor pada tahun 2020 di Indonesia. Tercatat, pulau Jawa menyumbang jumlah terbanyak mencapai 81,88 juta unit atau 60,15% dari total nasional. Berdasarkan jenisnya, jumlah kendaraan bermotor paling banyak di Indonesia adalah sepeda motor pada tahun lalu. Jumlahnya mencapai 115,02 juta unit.
Sementara itu, data terbaru di tahun 2021, tercatat sepeda motor di
Kota Cilegon sebanyak 174.582 unit yang digunakan. Pengguna sepeda masih jauh dari angka itu. Sepeda motor pun memberikan
kenyamanan berkendara dan tidak perlu repot-repot mengayuh seperti sepeda. Kamu
hanya tinggal menyalakan mesin lalu menarik gasnya. Selain itu, harga motor pun
semakin terjangkau, bahkan bisa kredit dan dicicil. Untuk jarak tempuh yang
cukup jauh, menggunakan sepeda akan memakan waktu lebih lama tentunya. Sejauh
ini, alasan saya memilih sepeda motor memang masuk akal.
Keesokan paginya, pagi sekali,
saya sudah bangun. Tidak seperti biasanya memang. Sebelum punya sepeda, seusai
salat Subuh saya akan melanjutkan tidur. Namun berbeda dengan pagi itu. Saya
sudah bersih-bersih, mengganti pakaian, lalu mengeluarkan Black Slebew─nama
panggilan sementara untuk sepeda saya─dari kandangnya. Saya pamit kepada orang
rumah
Hal pertama yang saya rasakan ketika
berada di atas sepeda adalah rasa tidak nyaman ketika duduk di atas jok sepeda
yang ramping ini. Boleh dikatakan, bokong saya cukup besar, butuh penopang yang
lebih besar, suatu hari sepertinya saya bakal mengganti jok sepedanya. Bisa
jadi, ini alasan kenapa orang-orang lebih senang mengendarai sepeda motor.
Saat pertama mencoba, saya sedikit
gugup. Apalagi pengaturan joknya dibuat tinggi. Digowesan pertama saya nyaris
jatuh lantaran belum menemukan titik penyeimbangnya. Belum lagi giginya yang
tidak bisa dipindahkan, betul-betul jauh dari kata nyaman. Itu pula alasan saya
ingin cepat-cepat memperbaiki sepeda ini di bengkel.
Pukul 06.30 WIB saya sudah berada
di depan kedai bubur ayam. Saya melewati jalan belakang, yang walaupun jalannya
penuh lubang di sana-sini, saya tetap memilih melaluinya. Pagi yang penuh
dengan “penyiksaan” diri sendiri. Bahkan saya harus sabar menunggu pejalan kaki
yang hendak mengantarkan anak-anaknya pergi ke sekolah. Belum lagi para
pedagang nasi uduk dan menu sarapan lain di kiri dan kanan jalan. Pagi yang
riuh.
Smartwatch yang saya kenakan di
pergelangan tangan kiri dan sudah terintegrasi ke ponsel memberitahu saya bahwa
sudah 2 kilometer lebih saya menggowes sepeda. Angka yang bagus bagi seorang
pemula seperti saya. Saya mengapresiasi diri saya sendiri.
Lantaran napas mulai tidak
teratur, saya berhenti sejenak untuk sekadar mengisi perut yang kosong. Saya
sarapan bubur ayam di kedai yang mulai ramai itu.
Saya agak kesulitan memarkirkan
sepeda. Pertama karena tidak ada tempatnya, lokasi kedai bubur itu di depan
pelataran sebuah ruko yang masih tutup. Kedua, sepeda saya tidak memiliki
standar samping, jadi saya harus mencari tiang atau dinding untuk
menyandarkannya. Awalnya memang jadi perhatian orang-orang, khususnya pelayan
bubur, saya melihat ia memerhatikan sepeda saya dengan saksama.. Akhirnya saya
sandarkan pada tiang yang menyangga atap bagian depan ruko itu.
“Satu porsi, Mas. Jangan pakai
daun bawang,” kata saya ringkas.
“Baik, Mas,” jawabnya sopan. Ia
menuangkan teh hangat dalam gelas kecil lalu menyodorkannya pada saya.
“Benar dengan Herman Bike?” tanya
saya setelah sebelumnya mengucapkan salam.
“Iya, betul. Ada yang bisa
dibantu?”
“Bengkel hari ini buka jam berapa,
ya?” kata saya lagi tidak berbasa-basi. Ia mengatakan pukul 07.30 WIB buka.
Satu jam lagi, pikir saya. Lalu saya mengatakan akan mengunjunginya. Ia
mempersilakan.
Pesanan bubur ayam saya sampai.
Lekas saya lahap tanpa ba-bi-bu. Lelah juga menggowes sepeda dalam keadaan
gigi/gear konstan di nomor keempat. Padahal, saya membayangkan menggowes sepeda
dengan ringan, ini justru malah berat lantaran shifter tidak berfungsi. Namun,
ada yang berbeda. Bubur ayamnya terasa lebih nikmat saat disantap, barangkali
karena saya dalam keadaan capek ditambah tubuh mudah berkeringan, beruntungnya
pagi itu terasa begitu sejuk.
Setelah pasang keranjang dan pulang kemaleman. |
Pukul 07.00 WIB saya mulai menggowes
sepeda lagi. 30 menit waktu yang cukup untuk saya sampai ke bengkel, pikir
saya. Kalau di map, jarak tempuhnya kurang lebih 2,5 kilometer. Terdengar
dekat, tetapi sebetulnya, rute dan medan jalan yang kudu dilalui cukup berat
bila dengan sepeda, karena banyak jalan menanjak dan mesti melalui jalanan
rusak.
Saya menyalakan lagi smartwatch yang sempat saya
jeda. Saya mengingat-ingat jalur mana yang mudah untuk dilalui sepeda, yang
tidak banyak jalan menanjaknya tentu saja. Kaki saya mulai terasa pegal linu.
Terlebih di bagian paha dan lutut. Kulit luar rasanya seperti diregangkan
sampai batas maksimal, perih sekali. Namun saya yakin ini hanya efek awal,
semua pemula pasti merasakan hal yang sama ketika awal bersepeda atau melakukan
olahraga apa pun.
Saat bersepeda, saya melintasi
kota lewat
Terlepas dari itu, rupanya banyak
hal yang selama ini luput dari pandangan. Ketika sedang mengendarai sepeda
motor maupun mobil, fokus saya hanya pada jalan lurus di depan. Namun, ketika
bersepeda, saya jadi lebih detail melihat rumah, bangunan baru, pembukaan lahan
yang sebelumnya seingat saya rumah-rumah lama lalu dirobohkan atau lapangan
sepak bola. Kafe-kafe satu per satu tumbuh bak jamur di musim penghujan. Waktu
terasa cepat sekali berlalu. Dengan bersepeda, semuanya jadi terasa lebih
lambat.
Orang-orang di setiap permukiman
terus bertambah, jalanan yang biasanya lancar, kini mulai macet, padahal ada di
jalan alternatif. Perlahan-lahan desa telah tumbuh menjadi perumahan dan
toko-toko industri. Kota telah masuk terlalu dalam ke sudut-sudut perkampungan
yang dahulu asri tetapi sekarang telah hilang wujud aslinya. Dahulu saya ingat,
saat masih SMP, jalan belakang ini biasa saya dan teman-teman lewati. Jalan
beraspalnya belum begitu lebar, masih banyak jalan tanah dan lapangan luas yang
dipenuhi rumput ilalang dan bocah bermain sepak bola, sekarang hal itu sudah
sulit ditemukan. Bila kau ingin bermain sepak bola ya mesti sewa lapangan
indoor yang megah itu.
Sebetulnya, saya kurang setuju
bila para developer mendirikan perumahan di wilayah perkampungan semacam ini. Di
sebuah kota yang besar, kita perlu menjaga satu titik atau beberapa lokasi agar
tetap asri seperti sediakala; indah dan khas pedesaan di masa lalu. Tetapi
lagi-lagi, perubahan zaman tidak pernah bisa ditolak. Satu-satunya hal yang
tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
Seketika saja mood saya berubah.
Ditambah earbuds bluethooth saya memutarkan lagu mellow dari Choi Yu Ree
berjudul Wish yang menjadi soundtrack
dari serial drama korea Hometown
Cha-Cha-Cha yang tayang di Netflix.
Hal paling mendasar yang saya
pelajari bahwa salah satu cara agar bisa menikmati serunya bersepeda adalah
dengan menjaga stabilitas suasana hati (mood) kita. Sebab, mesin sepeda adalah
tubuh kita sendiri.
Berbeda misalnya ketika kita
membawa mobil atau motor, saat mood kita buruk, mesin mobil dan motor akan
tetap bekerja sebagaimana mestinya, bahkan kecepatannya bisa kita atur sendiri.
Kalau sepeda, bergantung pada bagaimana perasaanmu hari itu, sedang stabil atau
tidak, sedang baik atau buruk, sedang buru-buru atau santai. Cuaca juga
memengaruhi emosimu, karena tubuh akan semakin lengket berkeringat, panas
matahari membuatmu hilang fokus. Intinya, semakin mood-mu baik, maka itu akan
berpengaruh pada mental dan emosimu. Namun bila mood-mu berantakan, maka jarak
satu kilometer pun akan terasa begitu jauh
Sama halnya dengan perasaan saya yang tak menentu pagi itu. Saya
membayangkan sepeda saya sudah dalam keadaan prima, tetapi malah memaksa saya
mesti ke bengkel pagi hari. Ada perasaan jengkel, tetapi apa mau dikata.
Akhirnya saya memilih untuk menepi
sesaat dan membiarkan pandangan saya berkeliling ke sekitar. Rupanya tubuh saya
butuh rehat lebih lama.
Saya lihat lagi smartwatch di
pergelangan kiri, jam digitalnya menunjukkan angka 07.30 WIB, sementara
perjalanan saya masih jauh untuk sampai ke bengkel. Perkiraan saya betul-betul meleset
pagi itu.
Namun bisa saya pastikan, ketika
kalian membaca esai saya ini, saya sudah sangat mahir bersepeda.
Taman Cilegon, 04 Agustus 2022
________________
*) Esai ini pernah dimuat website www.thisissoutheastasia.com dalam versi berbahasa Inggris.
0 komentar