[Ulasan Film] Penyalin Cahaya: Suara Korban Pelecehan yang Dibungkam Kekuasaan
November 02, 2023Official Poster |
Film ini resmi tayang secara global di Netflix mulai tanggal 13 Januari 2022. Tapi euforianya terasa sejak beberapa bulan lalu dan sudah jadi perbincangan sejak diputar di banyak festival dan memborong piala citra di FFI 2021 kemarin.
Saya puas banget akhirnya semalem bisa nonton langsung dan merasakan apa yang teman-teman rasakan. Wajar belaka kalau katanya di JAFF kemarin usai penayangan penonton memberikan standing applause untuk film ini.
Berkisah tentang mahasiswi cerdas bernama Suryani. Ia seorang web desiger, penerima beasiswa dari kampus, dan tergabung di sebuah teater Mata Hari. Suatu hari mereka memenangkan festival antar kampus dan mewakili Indonesia untuk tampil di Kyoto, Jepang. Sebelum keberangkatan, mereka mengadakan pesta pembubaran panitia sekaligus selebrasi kemenangan.
Keesokan harinya, ketika Sur akan memperpanjang beasiswanya, para dosen penguji menemukan foto selfie Sur tengah mabuk dan tersebar di media sosialnya. Gara-gara itu pengajuan proposal beasiswanya ditolak. Tak terima, Sur menyelidiki siapa yang melakukan itu semua. Dari sanalah cerita sesungguhnya berjalan.
Penyalin Cahaya memiliki premis yang sederhana, dituturkan secara dekat, tetapi dibebani isu yang lumayan berat. Tentang kekerasan dan pelecehan seksual. Saran saya, bagi kalian yang punya pengalaman atau trauma masa lalu sebagai korban, baiknya siapkan mental atau jangan menonton. Karena ada beberapa adegan yang bikin kesal, marah, sakit hati, dongkol, depresi, dan segala emosi negatif ketika menontonnya, bahkan bagi saya yang tidak pernah mengalaminya langsung.
Wregas Bhanuteja sebagai sutradara sangat berhasil menampilkan itu semua dalam film berdurasi 2 jam 10 menit ini. Keputusannya untuk tidak menayangkan film ini di bioskop sangatlah tepat. Akan ada scene yang kemungkinan bakal dipotong dan mengurangi pesan dari cerita itu sendiri.
Para pemain tampil dengan sangat memukau. Mereka betul-betul memberikan performance terbaiknya semaksimal mungkin. Saya nyaris sulit membedakan apakah mereka sedang akting atau "menjadi" para tokohnya itu sendiri.
Persahabatan antara Sur (Shenina Cinnamon) dan Amin (Chicco Kurniawan) terasa natural sekali. Belum lagi hadirnya Anggun (Dea Panendra) sebagai pemeran pembantu yang menguatkan jalannya cerita. Ia sosok yang harus hadir bagi para penyintas yang butuh orang terpercaya untuk mendengarkan ceritanya.
Dan baru ini saya menyaksikan akting Jerome Kurnia (Tariq) yang sempat dikira antagonis, ternyata bukan. Aktingnya pun nggak kalah bagusnya sama seperti yang lain.
Selama ini, korban pelecehan seringkali dibungkam, Sur muncul untuk melawan ke semena-menaan itu. Ia menjadi petarung sendirian, menghadapi predator seks yang gila dengan segala fetishnya. Saya dibuat tercengang ketika tahu siapa pelakunya dan bagaimana cara dia melakukan pelecehan terhadap para korbannya. Kampus, dalam film ini yang mestinya hadir sebagai lembaga yang adil dan berpihak pada korban, justru seperti ingin lepas tangan dan tidak mau terlibat dalam penyelesaian kasusnya.
Film yang sangat emosional sekali dan sarat akan nilai dan pesan. Saya mengenal Wregas lewat karya-karya film pendeknya, salah satunya Lemantun. Itu film yang sampai kapan pun meninggalkan bekas di dada saya. Dan itu pula yang terjadi usai menonton film Penyalin Cahaya ini.
Meski ada isu yang dibawa, Wregas tetap menyampaikannya sebagai karya seni film. Sebagaimana film bekerja, ia menampilkan gambar yang cantik, penuh simbolik, dan puitik. Tidak digelontokan mentah-mentah begitu saja.
Simbol-simbol yang muncul pun elegan dan detail sekali. Kudu jeli agar bisa menangkap maksudnya. Kisah medusa, fogging, mesin fotokopi, dan lainnya. Bahkan, setelah menonton film ini, slogan 3M: "menguras-menutup-mengubur" saya jadi punya interpretasi sendiri. Sialan!
Apalagi bagian akhir cerita, manis sekali. Ketika Sur protes dengan para korban lewat adegan yang begitu teatrikal. Walaupun dada terasa sesak, tetapi penonton tetap dimanjakan dengan keindahan sebuah film, layaknya kelar membaca karya sastra yang bagus sekali!
Saya kemudian paham kenapa film ini diganjar banyak sekali piala FFI 2021 kemarin. Sebab, secara utuh, film ini nyaris tidak ada cacat cela.
Cilegon, 14 Januari 2022
0 komentar